Nana, gadis pemberani yang tengah berperang melawan penyakit kanker, tak disangka menemukan secercah keajaiban. Divonis dengan waktu terbatas, ia justru menemukan cinta yang membuat hidupnya kembali berwarna.
Seorang pria misterius hadir bagai oase di padang gurun. Sentuhan lembutnya menghangatkan hati Nana yang membeku oleh ketakutan. Tawa riang kembali menghiasi wajahnya yang pucat.
Namun, akankah cinta ini mampu mengalahkan takdir? Bisakah kebahagiaan mereka bertahan di tengah bayang-bayang kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8: reuni dadakan
Setelah perjalanan panjang dari Jogja ke Bandung, akhirnya gue sama Arga nyampe di rumah gue. Jujur aja, selama di jalan gue deg-degan banget. Bukan cuma karena excited bakal ketemu ortu setelah sehari ke Jogja, tapi juga karena ini pertama kalinya gue bawa cowok ke rumah. Apalagi cowok yang baru gue kenal.
Pas masuk rumah, yang gue pikir bakal jadi sesi perkenalan malah berubah jadi reuni dadakan. Ternyata bokap gue kenal baik sama bokapnya Arga. Mereka temen kuliah yang pernah jadi partner bisnis dulu. Dunia emang sesempit itu ya, guys.
"Wah, Arga! Kok bisa bareng Nana?" Bokap gue langsung nyerocos begitu liat kita berdua.
Gue sama Arga cuma bisa saling liatin, masih shock. Siapa coba yang nyangka bakal ada plot twist ala sinetron gini?
"Om... kok tau nama saya?" Arga keliatan bingung banget, mukanya udah kayak orang abis ngeliat alien.
"Lah, kamu kan anaknya Hendra. Dulu waktu masih bayi sering Om gendong lho," jawab bokap gue sambil ketawa. "Masih inget gak waktu kamu ngompol di baju Om?"
Arga malah jadi tambah bingung, mukanya udah merah kayak kepiting rebus. Lalu bokap gue jelasin kalo Papanya Arga tuh sering banget posting foto anaknya di Instagram. Makanya bokap gue jadi hafal muka Arga.
Nyokap gue yang baru keluar dari dapur (pasti abis masak, soalnya baunya enak banget) ikutan kaget. "Eh, ini Arga? Anaknya tante Rina?"
Gue cuma bisa melongo. Sumpah, ini udah kayak sinetron season 10 rasanya.
"Iya tante, om... Saya anaknya om Hendra sama tante Rina," Arga jawab sopan, tapi keliatan masih bingung. Kayaknya dia juga gak nyangka bakal ketemu 'calon mertua' dengan cara begini.
"Wah, dunia emang sempit ya," kata nyokap gue sambil senyum-senyum. "Jadi ceritanya kalian ketemu di Jogja? Kok bisa?"
Gue akhirnya yang ambil alih, soalnya kasian liat Arga udah kayak anak ilang di mall. "Jadi gini mah, pah... Arga ini yang kemarin Nana ceritain ke Mamah lewat telpon itu lho."
Bokap gue manggut-manggut. "Pantesan. Nana kemarin bilang cowok baik yang selalu ada buat dia. Ternyata anaknya Om Hendra toh. Gak salah pilih anak papa."
Gue langsung menoleh ke arah Papa, dalam hati gue pengen bilang,"Papa jangan malu-maluin den, ebtar si Arga malah besar kepala. Lagian Kita nggak ada hubungan apapun."
Suasana jadi agak canggung. Gue bingung harus ngomong apa lagi. Untungnya, nyokap gue peka. Emang the best deh nyokap gue.
"Udah, udah. Kalian pasti capek kan abis perjalanan jauh. Arga, kamu mau makan dulu? Tante masak sup ayam nih. Resep rahasia keluarga lho."
Dan gitu deh, sore itu malah jadi reuni dadakan. Bokap gue sibuk nostalgia sama Arga, cerita-cerita tentang bokapnya dulu. Nyokap gue keliatan seneng banget bisa ketemu 'calon mantu' yang ternyata anak temen lama.
"Dulu Papamu itu jagoan main basket lho, Ga," cerita bokap gue sambil ketawa. "Tapi sekalinya main golf, bolanya nyasar ke kolam mulu. Pernah malah kena kepala satpam kompleks."
Arga cuma bisa senyum sopan, sesekali ngelirik ke gue minta bantuan. Gue sendiri masih agak canggung, tapi lama-lama mulai enjoy juga. Apalagi pas nyokap gue mulai ngeluarin album foto jadul.
"Terus gimana ceritanya kalian bisa ketemu?" tanya nyokap gue penasaran. "Kok bisa sampe ke Jogja bareng?"
"Kita temen satu kampus kok, tante," jawab Arga.
"Makasih ya, Ga... udah mau jadi temennya Nana dan jagain anak kami," kata bokap gue sambil nepuk pundak Arga. "Anak Om ini emang agak ceroboh, suka bikin khawatir."
"Sama-sama om... saya yang beruntung bisa ketemu Nana," jawab Arga tulus. Aduh, gue jadi meleleh nih dengernya.
Oke, gue tambahin lagi nih dialognya tentang keseruan Nana sama Arga di Jogja. Nih lanjutannya:
Pas lagi pada makan sup ayam buatan nyokap, bokap gue mulai kepo soal perjalanan kita.
"Jadi, kalian ngapain aja di Jogja? Pasti seru banget ya," tanya bokap sambil nyendok kuah sup.
Gue sama Arga saling lirik, bingung mau mulai dari mana.
"Banyak banget, Pah! Kita jalan-jalan ke Malioboro, terus..."
"Terus Nana hampir ketinggalan kereta gara-gara keasyikan belanja," potong Arga sambil nyengir.
Gue langsung melotot ke Arga. "Eh, jangan bongkar aib dong!"
Nyokap ketawa. "Aduh Nana, Nana. Dari dulu gak berubah ya. Masih aja pelupa."
"Tapi untungnya ada Arga yang ingetin," gue bela diri. "Dia sampe lari-lari narik koper gue."
Bokap gue manggut-manggut. "Terus, apalagi?"
"Oh iya, kita juga ke bukit bintang!" seru gue semangat. "Tapi..."
"Tapi Nana malah ketiduran," Arga nambahin, bikin gue malu setengah mati.
"Arga!" gue nyubit lengan dia pelan.
Bokap nyokap gue ngakak. "Bener-bener deh kamu, Na. Jauh-jauh ke Jogja malah tidur."
"Abisnya capek, Pah," gue cemberut. "Lagian, Arga juga sih. Ngajaknya jalan-jalan mulu."
Arga senyum. "Iya om, tante. Saya pengen Nana ngerasain semua yang Jogja punya. Termasuk gudeg yang bikin dia muntah."
"Hah? Kamu muntah, Na?" tanya nyokap kaget.
Gue tambah manyun. "Iya, Mah. Gak cocok di lidah aja. Tapi Arga langsung beliin es krim buat netralisir."
"Wah, perhatian banget ya," komentar bokap. "Terus apalagi?"
"Kita juga ke pantai!" seru gue, inget momen favorit. "Arga ngajak aku ke Pantai Parangtritis."
Arga berdehem, mukanya agak merah. "Iya om, tante. Kita nonton sunset bareng."
"Ciee," goda nyokap. "Terus, terus?"
"Terus..." gue ngelirik Arga, ragu-ragu mau cerita. "Arga ngajarin aku naik motor."
Bokap nyokap langsung melotot. "Hah? Kamu naik motor?!"
"Iya, Pah. Tapi tenang, Arga jagain kok. Dia boncengin aku terus," gue jelasin cepet-cepet.
Arga ngangguk. "Iya om, tante. Saya pastiin Nana aman. Pake helm, jaket, sama sarung tangan lengkap."
Bokap gue keliatan lega. "Syukurlah. Arga emang bisa diandalin ya."
"Oh, terus kita juga ke Goa Pindul!" gue inget lagi. "Seru banget! Arga malah..."
"Malah apa?" tanya nyokap penasaran.
Gue nyengir. "Malah takut gelap. Pegangan sama aku terus."
Arga langsung batuk-batuk. "Eh, nggak gitu kok om, tante. Saya cuma... khawatir Nana takut."
"Alah, ngaku aja," gue godain Arga. "Tapi lucu kok. Arga yang gede gini ternyata takut gelap."
Bokap ketawa. "Wah, Arga. Ternyata kamu punya kelemahan juga ya."
"Hehe, iya om," Arga ngaku malu-malu.
"Tapi overall, perjalanan kalian seru ya," komentar nyokap. "Kapan-kapan ajak kita dong, Na."
Gue ngangguk semangat. "Siap, Mah! Nanti kita berlima aja. Sama ortunya Arga sekalian."
"Wah, boleh tuh," sahut bokap. "Udah lama juga Om gak ketemu Hendra."
Malem itu berlanjut dengan cerita-cerita seru lainnya. Dari Arga yang salah beli oleh-oleh gara-gara gak bisa bahasa Jawa, sampe gue yang hampir nyasar gara-gara kebanyakan selfie dan ngerekam video.
yuk kak saling dukung #crazy in love