Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri Terungkap
Ardi menatap tajam ke sekeliling gudang. Polisi baru saja mengevakuasi mereka dari ruangan itu, tetapi Rian berhasil kabur. Alia masih terguncang, napasnya tersengal ketika Ardi menuntunnya keluar. "Kamu baik-baik saja, Alia?" tanyanya penuh perhatian, memeriksa wajahnya yang pucat.
"Aku... Aku tidak tahu, Ardi. Semua ini terasa begitu cepat dan menakutkan," jawab Alia, suaranya hampir berbisik.
"Percayalah, ini akan segera berakhir," sahut Ardi dengan tenang.
Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Polisi menunjukkan sebuah barang bukti pada mereka, selembar kertas kusut yang ditemukan di lantai gudang. Tulisan tangan Rian tampak mencolok: “Belum selesai. Temukan aku di tempat terakhir.”
Ardi merasakan dadanya sesak. "Tempat terakhir? Maksudnya apa, Alia?"
Alia memandang kertas itu dengan bingung, tetapi ada kilasan pengakuan di matanya. "Ada satu tempat... yang sering kami kunjungi dulu. Tapi aku tak pernah menyangka dia akan mengungkitnya lagi."
"Kamu tahu tempatnya?" tanya Ardi, matanya menyiratkan keingintahuan dan rasa waspada.
Alia mengangguk pelan. "Ya, itu sebuah taman tua di pinggiran kota. Di sana... Rian sering bercerita tentang hidupnya yang sulit. Aku dulu mengira dia hanya mencari simpati. Sekarang aku tahu, itu lebih dari sekadar cerita."
Ardi menggenggam tangan Alia erat. "Kita harus lapor polisi dan biarkan mereka yang menangani."
"Tapi Rian tidak akan membiarkan orang lain mendekati tempat itu, Ardi. Hanya aku yang bisa masuk tanpa membuatnya marah. Aku merasa ini satu-satunya cara agar dia mau menyerah tanpa perlawanan."
Ardi mengerutkan kening, jelas tidak setuju dengan rencana itu. "Alia, aku tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Kamu tahu itu, kan?"
"Ardi, ini mungkin cara terakhirku mengakhiri semuanya dengan damai. Setidaknya, beri aku kesempatan untuk berbicara dengannya," pinta Alia dengan lembut, tapi tegas.
Ardi mendesah panjang. "Kalau begitu, aku ikut. Kita lakukan ini bersama-sama."
Mereka tiba di taman tua di pinggiran kota saat matahari mulai terbenam, menyinari taman itu dengan cahaya oranye keemasan yang muram. Langkah mereka bergema di jalan setapak yang sepi, dipenuhi daun-daun kering yang berguguran. Suasana di taman itu mengingatkan Alia pada kenangan-kenangan lamanya bersama Rian, ketika dia masih percaya bahwa Rian hanyalah teman yang kesepian.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Ardi, memecah keheningan.
"Aku hanya bertanya-tanya, bagaimana bisa Rian berubah sejauh ini. Dulu dia begitu tenang, tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan seperti ini," jawab Alia, suaranya penuh keraguan.
"Orang bisa berubah karena banyak hal, Alia. Kadang luka masa lalu membuat mereka jadi orang yang tak terduga," kata Ardi sambil menatap taman yang semakin gelap.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menghentikan mereka. Dari bayangan pohon besar, Rian muncul, wajahnya tersembunyi di balik topi. Alia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Rian," panggil Alia, suaranya bergetar.
Rian tersenyum tipis. "Akhirnya kamu datang, Alia. Aku tahu kamu akan mengerti."
"Aku di sini untuk berbicara, Rian. Mari selesaikan ini dengan baik-baik. Kamu tidak perlu terus menyiksa dirimu sendiri atau orang lain," kata Alia, berusaha tenang.
Namun, ekspresi Rian berubah sinis. "Kamu benar-benar tidak mengerti, Alia. Semua ini bukan sekadar soal rasa sakit. Ini tentang keadilan. Kamu dan Ardi mengambil sesuatu dariku."
Ardi melangkah maju, memasang sikap tegas. "Rian, lepaskan Alia dari obsesi ini. Kamu tahu ini tidak akan mengubah apa-apa."
Rian menatap Ardi dengan tatapan penuh dendam. "Kamu tidak tahu apa-apa, Ardi. Kamu tak pernah mengalami kehilangan yang kurasakan."
Alia merasakan ketegangan yang semakin memuncak di antara keduanya. "Rian, dengarkan aku. Dulu kita teman baik. Aku ingin membantu, bukan menjauhkanmu."
Tiba-tiba Rian mengeluarkan sebuah benda dari saku jaketnya. Alia dan Ardi mundur dengan hati-hati, menyadari bahwa situasinya semakin berbahaya.
"Kamu selalu mencoba menyelamatkanku, Alia. Tapi sekarang, lihatlah. Tidak ada yang bisa menyelamatkan kita dari ini," ujar Rian dengan nada yang getir.
Polisi yang mengawasi dari kejauhan menyadari ketegangan itu, bergerak perlahan mendekati mereka. Ardi menyadari bahwa ini kesempatan untuk memberi isyarat kepada polisi, tetapi gerakannya terhenti ketika Rian tiba-tiba melangkah mundur, melemparkan sesuatu ke tanah, dan menciptakan ledakan kecil yang mengejutkan mereka semua.
Ardi dengan cepat menarik Alia, melindunginya dari pecahan kaca dan debu yang beterbangan. Saat mereka membuka mata, Rian sudah menghilang ke dalam bayangan taman.
"Dia kabur lagi," bisik Ardi dengan suara penuh frustrasi.
Namun, Alia tiba-tiba menyadari bahwa ada sesuatu yang tersisa di tempat Rian berdiri tadi. Sebuah kotak kecil dengan tulisan tangan Rian di atasnya: "Untuk Alia."
Dengan tangan gemetar, Alia membuka kotak itu dan menemukan kertas lain yang berisi pesan terakhir Rian. Tulisan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat, pesan itu berbunyi: "Temui aku di tempat yang kita sebut rumah."
Ardi memandang Alia penuh kekhawatiran. "Apa maksudnya? Rumah siapa?"
Alia terdiam, mencoba mengingat. Tempat itu bukanlah rumah dalam arti yang sesungguhnya, tetapi satu tempat lain yang dulu sering mereka kunjungi, satu tempat terakhir yang hanya dia dan Rian yang tahu.
"Ardi, aku tahu di mana tempatnya."
Ardi dan Alia duduk diam dalam perjalanan menuju lokasi terakhir yang disebut Rian sebagai "rumah." Jalanan kota tampak sepi, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Suasana sunyi dan dingin menyelimuti mereka, menambah intensitas ketegangan yang mereka rasakan. Ardi meremas setir dengan kuat, sementara pikirannya penuh dengan kekhawatiran.
“Apa yang sebenarnya ada di tempat itu, Alia?” Ardi memecah keheningan, matanya tetap fokus ke jalanan di depan.
“Itu sebuah gedung tua yang dulunya jadi tempat kami belajar dan berbagi cerita,” jawab Alia dengan nada penuh nostalgia. “Kami sering ke sana, tempat itu hampir seperti... pelarian bagi Rian.”
“Dan kamu merasa dia akan kembali ke sana sekarang?” Ardi mengernyit, mencoba memahami logika di balik tindakan Rian.
Alia mengangguk pelan. “Sejak dulu, dia selalu lari ke tempat itu saat merasa tertekan. Dia merasa itu satu-satunya tempat di mana dia benar-benar ‘terlihat’.”
Ardi menghela napas panjang. “Alia, kalaupun Rian ada di sana, dia sudah berulang kali menunjukkan bahwa dia bukan lagi teman yang kamu kenal. Ada risiko besar bagimu untuk mendekatinya.”
“Aku tahu, Ardi,” Alia menatap keluar jendela, memandangi bayangan bangunan kota yang melintas cepat. “Tapi aku tetap merasa, jika ada sedikit kemungkinan untuk membuatnya berhenti, aku ingin mencobanya.”
Mereka akhirnya sampai di gedung tua yang dimaksud. Bangunan itu sudah lama tak terawat, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang berdebu. Hawa dingin menusuk mereka ketika turun dari mobil, sementara suara angin yang berhembus menambah kesan misterius.
Ardi berjalan di belakang Alia, tetap waspada sambil memeriksa sekeliling. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah mereka memasuki wilayah yang penuh misteri. Alia memimpin mereka menuju ruangan di lantai atas yang dulu sering mereka kunjungi.
Ketika mereka membuka pintu, mereka terkejut menemukan ruangan itu masih dipenuhi dengan barang-barang lama, seperti tempat itu baru ditinggalkan sehari sebelumnya. Di dinding, ada foto-foto lama Rian, Alia, dan beberapa teman lainnya saat masa-masa kuliah.
“Dia benar-benar menyimpan semua ini,” gumam Alia, menatap foto-foto itu dengan tatapan kosong.
Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ardi dengan cepat menarik Alia ke samping, berlindung di balik lemari besar.
“Alia…” suara Rian menggema dari pintu masuk. Suaranya terdengar parau, namun penuh emosi. “Aku tahu kamu akan datang. Kamu selalu setia pada janji-janji kecil itu.”
Alia merasakan jantungnya berdetak kencang, seakan hendak pecah. Dia ingin berteriak, ingin keluar dan berbicara dengan Rian, tetapi Ardi menggenggam tangannya erat, memintanya tetap tenang.
“Aku tahu kamu di sini, Alia. Aku bisa merasakannya,” Rian berkata lagi, suaranya melemah namun terdengar penuh keputusasaan. Dia berjalan lebih dalam ke ruangan itu, matanya menyapu setiap sudut seakan mencari sisa-sisa kenangan yang pernah mereka miliki.
“Aku tak pernah menginginkan semua ini terjadi. Aku hanya… ingin merasakan bahwa aku juga punya tempat di hidupmu,” lanjutnya, suaranya hampir tak terdengar.
Alia tak tahan lagi. Dia menarik napas dalam, memutuskan untuk melangkah keluar dari persembunyiannya. Namun, sebelum dia sempat bergerak, Rian berbalik ke arah mereka, menatap langsung ke tempat persembunyian mereka.
“Jangan sembunyi lagi, Alia. Ayo kita selesaikan ini,” katanya, suaranya lebih tenang, tapi dengan tatapan yang sarat dengan perasaan yang tak terungkapkan.
Ardi melepaskan genggaman tangan Alia, menatapnya dengan tatapan yang menunjukkan bahwa dia tak akan membiarkannya sendirian, apa pun yang terjadi. Alia pun mengangguk pelan, lalu melangkah keluar dari balik lemari.