NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20 menit bersama Eja

Ini akan menjadi kali pertama aku keluar kota. Yang pasti, tidak semudah memetik sayur untuk meminta izin kepada Ayah dan Ibu. Kulihat dari ruang tamu, mereka kini sedang menikmati udara malam sambil membicarakan apa pun yang terpikirkan. Rasanya senang sekali melihat mereka selalu seperti ini sejak dulu.

"Ayah, Ibu," aku datang turut duduk di bawah, menyandarkan kepala pada paha Ibu yang terlipat.

"Kamu menginap di atelier kemarin?" tanya Ibu langsung menginterogasi, pasalnya aku belum mengabari rumah sama sekali bahwa aku bermalam di atelier."Iya, Bu, banyak kerjaan," jawabku sambil memijat kaki Ibu.

Tanganku adalah senjata saat ini, dengan pijatan super kebanggaan Ayah dan Ibu sejak kecil. "Buk, Yah, besok sore Eliza mau ke Jogja," kataku

tiba-tiba merusak suasana. Kalau bukan sekarang, aku tidak punya waktu yang tepat untuk bilang ke mereka.

"Ngapain ke Jogja?" tanya Ayah.

Aku menggeser pantat, duduk di lantai, di antara Ayah dan Ibu yang nyaman di sofa kecil depan rumah. Kini tanganku memijat kaki kanan Ayah dan kaki kiri Ibu sambil tersenyum lebar tanda akan merayu.

"Ada pameran galeri," jawabku berbohong. Jujur, beberapa jam lalu aku terdiam lama di atas kasur, memikirkan apa yang akan aku katakan pada Ayah dan Ibu agar aku diizinkan ke Jogja. Aku bukan tipe anak yang suka membohongi orang tua, tapi jika mengatakan yang sebenarnya, mereka pasti marah, bahkan kecewa, dan melarang keras aku pergi ke Jogja. Bisa jadi juga mereka melarangku ke atelier lagi.

"Harus ke pameran galeri?" Ayah tiba-tiba berdiri, memetik daun kering bunga kamboja di depan rumah.

"Harus, kan karya Eliza bakal dipasang di sana," kataku meyakinkan. Kalau dilihat dari wajah Ibu, memancarkan aura 'iya', tapi Ayah belum merespons dan malah fokus ke bunga kambojanya.

"Ayah, cuma sebentar kok," rayuku penuh yakin, seolah tidak ada kebohongan."Mana ada keluar kota cuma sebentar," tukas Ayah tidak percaya.

Ibu tersenyum. Dulu pernah hal ini terjadi di tempat yang sama, hanya saja waktunya yang berbeda.

    Dulu aku pernah izin ikut berkebun di luar kota. Alhasil, Ayah tidak mengizinkanku, yang akhirnya aku harus diam di rumah. Tapi kali ini, aku tidak menerima penolakan. Usiaku sudah terbilang dewasa, bukan lagi remaja, apalagi anak-anak yang harus dilarang-larang pergi ke sana-sini.

"Ayah gak mau anaknya sukses?" tanyaku mengecam.

"Sudahlah, Yah. Eliza juga sudah besar, biarkan saja dia pergi. Lagipula, Eliza gak sendiri," Ibu membantuku merayu Ayah. Memang, Ibu yang terbaik.

"Eliza sama orang-orang yang bisa Ayah percaya kok. Ada Ebra. Ayah ingat gak cowok yang waktu itu ikut memindah pot besar di belakang rumah? Sekuat itu dia, Yah. Misal ada yang macam-macam ke Eliza, dia yang nonjok. Apalagi Ayah ingat Baskara gak? Yang... yang tinggi kekar. Wow, ada yang berani gangguin Eliza, mati di tangan Baskara." Aku mengatakan sedemikian rupa kalimat agar Ayah bisa yakin. Tapi beliau hanya diam. Mungkin mendengar, hanya saja enggan menanggapi.

"Oh, Ayah ingat Evan? Cowok Jawa, badannya tinggi, yang pernah janji jagain Eliza. Dia juga ikut loh, Yah," aku melanjutkan penggalan kalimat rayuanku. Kemudian Ayah menghela nafas panjang, meliriku sinis.

"Awas kalau macam-macam di sana," ancam Ayah lalu masuk ke rumah. Aku langsung berdebar. Itu berarti Ayah mengizinkanku.

"Ah, makasih Ayah. Love you. Eliza bawain oleh-oleh yang banyak deh," aku berteriak kegirangan. Ibu sampai menggelengkan kepala heran melihatku.

Aku memeluk Ibu dengan erat, rasa syukur memenuhi hatiku.Dengan izin yang sudah di tangan, aku merasa beban berat telah terangkat. Malam itu, di bawah langit yang berbintang, aku tahu petualanganku baru saja dimulai. Jogja, tunggu aku!

***

Malam itu aku duduk di kamar, di depan lemari pakaian yang penuh sesak dengan baju-baju berbagai warna dan gaya. Aku bingung harus memilih baju yang mana untuk dibawa ke Jogja. Padahal, ini kesempatan besar untuk menunjukkan sisi terbaikku. Pikiranku berputar-putar, membayangkan apa yang akan cocok untuk dipakai bila aku berkesempatan bertemu dengan Eja di sana.

Tiba-tiba, handphone-ku berbunyi. Sebuah notifikasi dari Instagram muncul di layar. "Eja membalas pesanku!" Aku hampir melompat kegirangan. Tapi, saat kulihat baterainya hanya tersisa beberapa persen, aku panik. Mengabaikan lemari yang masih terbuka lebar dan koper yang masih kosong, aku segera mencari charger.

Sambil menunggu handphone-ku mengisi daya, aku duduk di tepi tempat tidur dengan hati yang berdebar. Pesan dari Eja adalah sesuatu yang sudah kutunggu-tunggu. Ketika layar handphone menyala kembali, aku langsung membuka Instagram dan melihat pesan darinya. Senyumku merekah saat membaca kata demi kata yang dikirimkan Eja. Dia mengirim pesan bertumpuk.

@raden.reza: bagaimana kabarmu?

@reden.reza: ayah dan ibu sehat?

@raden.reza: katanya kamu sekarang jadi fotografer ya?

Gegap gempita di dalam hatiku membuatku sejenak melupakan segala kebingungan tentang baju apa yang harus dibawa. Ternyata Eja juga tau sekarang aku menjadi apa. Bayangan bertemu Eja di Jogja membuatku semakin bersemangat. Aku segera membalas pesannya, menulis dengan antusias.

@elizaaaa_s: aku okey, ayah dan ibu juga sehat, kamu sendiri gimana?

@elizaaaa_s: iyaa, ya begitulah, dulu aku juga pernah bilang suka memotret

Namun, ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Hampir saja lupa, ada hal penting yang ingin kutanyai mengenai berita Eja yang tengan menjalin hubungan dengan belerina ternama. Tapi jujur, hatiku mamang.

@raden.reza: syukurlah, seneng dengernya. Aku baik-baik saja, cuman tau sendiri situasi ayah ibuku.

Membaca pesan Eja barusan membuatku sedikit terpatahkan. Dulu anak itu sering mengungkapkan kesedihannya padaku saat ayah dan ibunya bertengkar ataupun bermasalah.kini aku hanya bisa mendengarnya lewat pesan.

@elizaaaa_s:oh, aku sudah baca beritamu di artikel.

Aku memberanikan diri melontarkan isi kepalaku. Namun aku dibuat menunggu beberapa menit setelah pesannya dibaca. Apa mungkin dia sedang memikirkan jawaban? Atau pertanyaan ini adalah sesuatu yang sensitive sehingga dia malas menanggapi. Jika aku batal kiri juga percuma, dia sudah terlanjur membacanya.

"Ah, benar juga, baju!" Aku tersadar dan menoleh ke arah lemari yang masih terbuka. Tapi, kini pilihanku terasa lebih mudah. Dengan semangat baru, aku memilih beberapa pakaian terbaik yang ada. Celana panjang berwarna pastel, beberapa atasan yang chic, dan tentu saja, kaos oversize favoritku yang selalu membuatku merasa percaya diri. Dari kecil aku memang lebih menyukai gaya berpakaian yang santai ditengah gempuran gaun, asalkan nyaman.

Setelah koper siap, aku kembali ke handphone, mengirimkan pesan terakhir pada Eja sebelum tidur.

@elizaaaa_s: nggak perlu dijawab, aku hanya bilang begitu karena kehabisan topik

@elizaaaa_s: oh, aku besok perji ke jogja, semoga bisa kebetulan ketemu, ya.

Malam itu, aku tidur dengan senyum tipis di wajahku, walaupun kepalaku penuh rasa bersalah karena membahas hal yang mungkin sensitive pada Eja sampai dia enggan menanggapi. Kini aku bernafas tenang, walau hanya 20 menit, aku merasa begitu lega bisa sebentar bertukar kabar dengan Eja.

***

Pagi itu aku bangun kesiangan. Mungkin tadi malam tidurku terlalu nyenyak karena kegembiraan dan kelegaan yang kurasakan setelah mendapatkan izin ayah dan balasan dari Eja. Ketika keluar kamar, aku melihat Baskara dan Ebra sudah ada di ruang tamu, berbincang dengan Ibu. Sementara itu, Evan berada di luar, membantu Ayah memetik daun kering dari pohon kamboja di halaman.

Ibu tersenyum melihatku keluar dari kamar dengan wajah yang masih sedikit kusut. "Tidurnya nyenyak banget sampai kesiangan begini," katanya dengan nada menggoda. "Kami sudah menyiapkan semua keperluanmu. Koper dan barang-barang penting lainnya sudah kami masukkan ke mobil."

Aku terkejut dan merasa lega mendengar itu, bebanku ternyta sudah dikerjakan ibu.  "Terima kasih, Bu Aiman tercantik," ujarku memenuji ibu, merasa berterima kasih dengan segala perhatian dan bantuannya.

Baskara dan Ebra hanya tersenyum sambil menyapa, “Pagi, Eliza!”

"hai !” Sapaku antusias. “Semangat banget kayaknya kalian.”

Evan masuk ke dalam rumah, wajahnya sedikit berkeringat karena aktivitas di luar. "Mobil sudah siap. Kita bisa berangkat kapan saja," katanya sambil tersenyum.

Aku buru-buru ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Setelah itu, kami semua berkumpul di ruang tamu, siap berangkat. Ayah menghampiriku dengan wajah serius tapi penuh kasih. "Ingat, Eliza, jaga diri baik-baik di sana. Dan kalau ada apa-apa, jangan ragu nelpon rumah."

"Iya, Ayah. Aku bisa hati-hati," jawabku sambil memeluk Ayah erat. Ibu juga memelukku dan memberikan beberapa nasihat sebelum kami berangkat.

Kami semua masuk ke mobil dan aku duduk di kursi penumpang depan, sementara Baskara mengemudi. Ebra dan Evan duduk di belakang, sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri. Saat kami mulai melaju, aku membuka handphone dan melihat ada pesan lagi dari Eja.

@raden.reza: itu berita lama jaaa, sekarang sudah nggak.

Aku mengerutkan dahi. Apa yang maksud Eja dia sudah tidak ada hubungan apapun dengan seorang ballerina yang ditulis di berita? Memang, perlu waktu yang lama buat memikirkan balasan se pendek ini? Hendak kubalas pesannya, aku terlanjur terpaku dan berpikir kemana-mana.

Sejak tadi aku juga tidak bisa berhenti memikirkan alasan sebenarnya aku pergi ke Jogja, bukan pergi untuk menghadiri pameran galeri seperti yang aku katakan kepada ayah dan ibu. Bagaimana kalau ayah tau sebenarnya, aku akan mengambil job dari seorang menakutkan, Roats, untuk memotret dan melukis pacarnya tanpa busana, yang kemudian dijadikan patung. Pekerjaan ini memang sedikit kontroversial, tapi bayarannya sangat tinggi dan kesempatan ini langka. Ayah pasti kecewa aku membohonginya.

Perjalanan kami diiringi dengan canda tawa dan obrolan ringan, meskipun ada sedikit rasa cemas tentang pekerjaan yang akan kami lakukan, aku mencoba untuk tetap tenang dan menikmati perjalanan.

Saat melintasi jalanan yang indah, aku menatap keluar jendela, membayangkan apa yang akan terjadi ketika kami sampai di Jogja. Proyek ini memang menantang, tapi juga membuka peluang besar dalam karir seniku. Aku tahu ini adalah langkah besar dan penting untuk masa depanku sebagai seniman.

"Bagaimana perasaanmu, Eliza?" tanya Baskara sambil melirikku.

"Aku gugup, tapi juga bersemangat," jawabku jujur. "Ini adalah kesempatan besar bagi kita semua."

Ebra tertawa dan menyahut, "Tenang saja, Eliza. Kami semua ada di sini, kan kita bisa bantu, pokoknya kamu harus ingat, ini bukan tugas mu saja."

Aku tersenyum dan merasa lebih tenang dengan dukungan mereka. Perasaan cemas perlahan memudar, tergantikan oleh antusiasme dan kegembiraan. Sambil memikirkan proyek besar ini, aku tahu bahwa perjalanan ke Jogja ini bukan hanya tentang pekerjaan, rasa inginku bertemu dengan Eja juga membara. Semoga saja.

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!