Sunday 22.22
Dulu pernah sekali dua kali berpikir, apakah berteman dengan dia adalah sebuah kesialan sejak kecil. Bahkan setelah keluar dari perut Bu Aiman, ibuku, dia orang ketiga yang tertangkap di mataku setelah ayah dan ibu. Ya, aku dan dia lahir dengan waktu dan tempat bersamaan, namun dari Rahim yang berbeda.
Aku tinggal di sebuah rumah yang terletak di pinggiran desa Semarang, dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun dan udara segar yang mengalir menyegarkan. Rumahku memiliki halaman yang luas dengan taman kecil di depan rumah yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga warna-warni. Di belakang rumah, terdapat kebun sayur yang dikelola dengan baik oleh ibuku, memberikan aroma segar yang menyenangkan di udara.
Jika ditanya kesukaanku apa, aku menyukai lingkungan rumahku, terasa damai dan tenteram, jauh dari keramaian kota besar. Desaku tempat tinggal yang menawarkan keheningan yang sesekali hanya terganggu oleh suara riuh rendah anak-anak bermain di sekitar atau suara gemericik air sungai kecil yang mengalir di dekatnya. Orang-orangnya saling mengenal satu sama lain dan memberikan suasana kekeluargaan yang hangat dan ramah.
Di tengah siang, aku sedang memanjakan tubuh di atas rumput kecil taman belakang rumah. Di bawah matahari, aku merasakan kehangatan yang pelan-pelan menyerap ke kulit. Mataku pun sudah hampir tertutup. Tiba-tiba ada teriakan kencang dari arah berlawanan.
"Ah! Ulat bulu, ulat bulu!"
Aku langsung terlonjak, berasa terkejut dari mimpi paling asyik.
"Apaan, sih? Ulat bulu doang, Eja, nggak usah dijadiin sehisteris itu," gerutuku sambil menyisir rambut yang kusut gara-gara tiduran. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru mengambil daun di sebelah untuk menyingkirkan si ulat. "Nih, udah aku buang. Tenang aja, Eja," ucapku sambil menunjuk daun tadi. Eja cuma melihat daun itu layaknya tatapan baru melihat hantu.
"Makasih," bisiknya pelan.
Aku hanya geleng-geleng, mikir, 'Bisa ya, ada cowok se-letoy Reza Ramadan.'
Jujur, sebenarnya banyak hal tentangnya yang sangat di luar nalar. Sesuatu yang seharusnya gampang untuk dihadapi semua laki-laki, tapi Eja justru menganggapnya sebuah kesulitan. Lalu siapa lagi yang membantu menyelesaikannya? Kalau bukan aku, saudari tak serahim yang baginya adalah darah dan udara untuk seorang Eja, sangat dibutuhkan.
Nama panjangnya Reza Ramadan. Kalian tahu kenapa dipanggil Eja? Karena dia mempunyai lidah tulen menjiwai Jawa. Huruf F dibaca P, contoh, Syifa menjadi Syipa. Huruf Z dibaca J, contohnya, namanya dan namaku sendiri. Dia selalu menyebut dirinya menjadi Eja, dan namaku Eliza menjadi Elija. Lidah Jawa sekali, bukan?
Aneh tapi nyata. Eja itu si fobia segala hal. Takut tanah basah, ulat, kaki tanpa sandal, bahkan rambut kering alias gimbal, sekiranya nampak tidak terawat, dia takut. Aku tahu pasti ada alasan di balik semua rasa takutnya. Tapi waktu itu usia kita masih menginjak 11 tahun, yang pastinya sulit buatku memahaminya.
Akan aku ceritakan satu per satu tentang Eja. Namun mungkin kupersingkat karena tidak mau buku ini habis menceritakan ratusan dramanya yang terlalu sia-sia untuk dituliskan. Karena masih banyak orang terpenting dalam hidupku yang akan kuceritakan nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Kustri
awal yg unik
2024-08-15
0
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
2024-05-30
0