Indira dan Devian sama-sama dihadapkan pada kondisi traumatik yang sama. Sama-sama harus menelan pil pahit perselingkuhan. Indira memergoki pacarnya, Gilang berselingkuh dengan teman sekampusnya dan Devian dengan tragisnya melihat Mamanya berselingkuh dengan mata kepalanya sendiri, dirumahnya. Perasaan itu yang akhirnya bisa lebih menguatkan mereka untuk saling bantu melewati kenangan buruk yang pernah mereka alami.
Dan, takdir lebih punya rencana untuk lebih menyatukan mereka dalam sebuah pernikahan yang tidak mereka inginkan. Menikah di usia muda dan tanpa berlandaskan rasa cinta. Namun, Indira tidak pernah menyangka bahwa rasa nyaman yang ditawarkan oleh Devian pada akhirnya bisa membuat Indira tidak mau melepaskan Devian.
Akankan hubungan mereka baik-baik saja? Ataukah banyak konflik yang akan mereka hadapi dan semua itu berhubungan dengan rasa trauma mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caroline Gie White, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PUTUSNYA INDIRA
"Indi.. Kamu kenapa sih sama aku?" Gilang mensejajarkan langkahnya dengan Indira yang baru memasuki lobby kampus keesokan harinya.
"Aku biasa saja, Kak. Memangnya aku kenapa?"
Gilang menangkap lengan Indira lalu menariknya ke sisi lobby kampus yang sepi.
"Kamu kenapa? Kamu gak pernah jawab telepon aku, baca ataupun balas chat aku, bahkan kamu sudah gak pernah chat aku, kasih kabar ke aku. Aku tuh khawatir sama kamu."
Indira mendengus sinis lalu melepaskan tangan Gilang di lengannya. "Maaf, Kak, aku lagi banyak tugas."
"Gak mungkin kamu banyak tugas sampai kamu cuek sama aku. Pasti ada alasan lainkan?"
"Terserah kamu mau percaya atau gak." Indira ingin berbalik pergi namun Gilang masih menahannya.
"Aku minta maaf ya kalau aku ada salah sama kamu. Dan please, jangan perlakukan aku kaya begini, Ndi. Aku sayang banget sama kamu."
Indira tersenyum sinis. "Kamu memangnya salah apa sampai kamu minta maaf sama aku?"
"Ya aku gak tahu, Sayang. Aku cuma merasa aku salah dimata kamu makanya kamu bersikap seperti ini."
"Kamu saja gak tahu kamu salah apa, jadi apa gunanya minta maaf."
"Kalau gitu kasih tahu aku, kenapa kamu berubah? Kamu sudah gak sayang sama aku? Oh aku tahu, pasti Devian yang sudah bicara macam-macam tentang aku, iyakan?"
"Jangan bicara seolah-olah kamu itu korban dan jangan pernah libatkan orang lain."
"Ma.. maksud kamu?"
Indira pun berbalik pergi, tanpa menghiraukan panggilan Gilang.
Pasti benar karena Devian. Dia pasti mau hubungan gue sama Indi berantakan. Lo tunggu saja nanti, Yan.
***
Gilang menghalangi langkah Devian lalu memintanya mengikutinya ke tangga darurat yang memang jarang dilewati.
"Lo bicara apa sama Indi tentang gue? Sampai dia acuh sama gue."
"Gue gak pernah ngomong macam-macam tentang lo."
"Lo pasti bohong. Cuma lo yang dekat sama Indi, dan gue tahu banget perasaan lo ke dia, jadi pasti ini rencana lo untuk membuat hubungan gue sama Indi berantakan."
"Lo sudah introspeksi diri sendiri belum?"
"Maksud lo?"
"Mungkin Indi berubah karena lo sendiri."
"Gue gak mengerti sama omongan lo."
"Mungkin ini yang bisa menyadarkan lo."
Devian mengeluarkan ponselnya sambil tersenyum sinis lalu memperlihatkan sebuah video yang membuat Gilang sangat terkejut.
"Lo.. kenapa lo punya video itu?"
"Sayangnya, gue sendiri sih yang merekamnya. Ini lokan? Dan cewek itu.. Lusi."
Gilang ingin mengambil ponsel Devian namun kalah cepat.
"Percuma kalau lo mau ambil video ini. Indi sudah lihat."
"Itu gak seperti yang lo pikir. Gue sama Lusi gak ada hubungan apa-apa."
Devian mendengus sinis.
"Malah gue yakin, kalianlah yang punya hubungan di belakang gue."
"Gue sama Indi memang punya hubungan, hubungan sahabat tanpa embel-embel seperti lo dan Lusi."
"Gue sama Lusi gak ada hubungan apa-apa!"
"Oh ya? Terus apa lo juga bisa menjelaskan foto ini?" Devian kembali memperlihatkan sebuah foto dari ponselnya.
"I.. itu.."
"Asal lo tahu, foto ini diambil oleh Indi sendiri."
Gilang kembali membelalakkan matanya.
"Jadi lo sekarang tahukan, penyebab sikap Indi berubah."
Gilang terdiam.
"Jangan pernah bersikap seolah-olah lo adalah korban dengan menyalahkan orang lain."
Devian beranjak pergi yang sebelumnya sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Gilang yang masih terdiam.
***
Gilang menangkap lengan Indira ketika dia baru saja keluar dari kelas dan membawanya sedikit menyingkir dari riuhnya teman sekelas Indira yang juga keluar dari dalam kelas.
"Kamu apa-apaan sih, Kak? Aku masih ada kelas lagi."
"Aku tahu penyebab sikap kamu berubah ke aku."
"Bagus dong, jadi aku gak perlu menjelaskan apa-apa lagi."
Indira ingin berbalik namun Gilang tetap menahannya.
"Dengar penjelasan aku dulu, itu semua gak seperti yang kamu pikir, Ndi, aku sama Lusi gak ada apa-apa."
"Dan itu juga bagus, Kak, tapi maaf, aku gak percaya. Aku lebih percaya sama mata aku. Jadi mulai detik ini, kita sudah gak ada hubungan apa-apa lagi."
"No, don't say that. Jangan ngomong kaya gitu. Aku sayang banget sama kamu, Ndi."
"Aku juga sayang banget sama kamu, Kak. Tapi kamu sudah merusak kepercayaan aku." Indira melepas tangan Gilang lalu pergi menyusul teman-temannya.
Gilang pun hanya bisa menatapnya semakin menjauh.
Indira berjalan memasuki kelas untuk mata kuliah selanjutnya. Lalu tanpa dia duga, Devian menangkap bahunya dan mendorongnya menuju bangku paling belakang setelah memberi isyarat kepada Farel dan Viana.
"Tahan sampai mata kuliah ini selesai ya. Setelah ini, lo bisa melepaskan semuanya." Bisik Devian saat mereka sudah duduk.
Indira mencoba tersenyum lalu terdiam. Devian meraih tangan Indira dan menggenggamnya di atas pahanya. Dan tanpa Devian duga, Indira merespon genggaman tangannya dengan menyisipkan jemarinya di jemari Devian sambil menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya.
"Indira!!"
Viana, Farel dan Devian menoleh dan melihat Gilang berlari ke arah mereka yang sedang menuju pintu keluar lobby kampus. Namun Indira cuek dan terus berjalan sampai pada akhirnya Gilang berhasil menyusulnya.
"Ndi, aku mau ngomong sama kamu."
Indira tetap diam dan terus berjalan. Viana pun menahan Gilang yang masih terlihat memaksa Indira.
"Setahu gue kalian sudah putus, jadi urusan kalian sudah selesaikan?"
"Ndi, please, aku mohon sama kamu, dengar penjelasan aku dulu."
Indira berhenti dan menatap Gilang dengan marah. "Viana benar. Kita sudah putus dan aku sudah gak peduli sama semua penjelasan kamu. Jadi aku mohon, mulai sekarang kita urus hidup kita masing-masing."
Indira merangkul Viana dan kembali berjalan. Gilang yang masih ingin menyusulnya hanya bisa terdiam ketika Farel dan Devian menahannya lalu menyusul Indira dan Viana meninggalkan Gilang yang terdiam.
"Ndi, lo balik sama Ian ya, biar Viana sama gue." Sahut Farel sewaktu mereka sampai di parkiran.
"Tapi, Rel.."
"Sudah sana, gue ada urusan dulu sama Farel." Timpal Viana yang diiringi anggukan kepala Farel.
Devian lalu merangkul Indira menuju mobilnya dan membukakan pintu untuknya.
"Kalian hati-hati."
Devian mengangguk lalu masuk ke dalam mobil dan pergi. Farel dan Viana pun menuju mobil Farel lalu ikut menyusul keluar dari kampus.
***
Devian memarkirkan mobilnya tidak jauh dari pantai. Dia menoleh dan melihat Indira masih melamun. Devian mengguncang sedikit bahu Indira yang membuatnya tersadar.
"Maaf kalau gue bawa lo ke sini."
Indira tersenyum. "Gak pa-pa. Kan lo paling tahu kalau pantai bisa buat pikiran dan hati gue tenang."
"Lo mau keluar atau di mobil saja?"
"Di mobil saja."
Devian lalu menurunkan semua kaca mobilnya yang membuat angin pantai masuk seketika. Mereka pun saling terdiam menatap pantai di depan mereka. Suara deburan ombak menjadi suara penenang buat Indira. Ditambah mendungnya awan membuat Indira merasa alam mewakili perasaannya saat ini.
"Makasih ya, Yan. Gue tahu lo yang kasih tahu Gilang tentang hubungan dia sama Lusi. Karena gue gak akan sanggup memberitahu dia langsung."
Devian tersenyum lalu menoleh dan menyeka airmata di pipi Indira. "Maaf gara-gara gue kalian jadi.. putus."
"Setelah gue tahu kenyataan yang sebenarnya, gue mau ini semua berakhir, Yan. Karena gue paling gak suka dikhianati."
Devian terdiam sambil salah satu tangannya mencengkram kuat kemudi mobilnya dan membuang pandangannya ke pantai.
"Ian.."
Devian tersadar lalu menoleh dan tersenyum. Indira melihat genangan airmata di kelopak matanya.
"Gue gak pa-pa kok, Ndi." Indira menyandarkan kepalanya di bahu Devian yang membuat Devian sedikit terkejut.
"Maaf ya, Yan. Pasti lo teringat lagi sama perceraian orangtua lo."
Devian pun tersenyum lalu mengelus kepala Indira. "Gue gak menyalahkan lo kok. At least lo tahu kalau gue pernah merasakan apa yang lo sedang rasakan. Pisah sama orang yang kita sayang."
Devian meraih tangan Indira dan digenggamnya. "Lo jadi orang selain Bokap dan Farel yang bisa menguatkan gue setelah peristiwa itu, jadi gue mau jadi orang yang juga bisa menguatkan lo disaat ini."
Indira tersenyum dan menyisipkan kembali jemarinya dijemari Devian yang lalu semakin mengenggamnya. Mereka pun terdiam menatap pantai dengan pikiran mereka masing-masing.
To be continued....
semangat yaa semoga booming
Cuma tambahan aja kak untuk dialognya di kurangi jd biar balance dengan penjelasan latar dll. Biar pembaca tidak bosan 🙏