NovelToon NovelToon
Cerita Dua Mata

Cerita Dua Mata

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Identitas Tersembunyi / Kaya Raya / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: R M Affandi

Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling menemukan hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan,dan ada dilema yang harus diputuskan.

Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.

Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.

Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.

Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter Kelima Buku Itu

"Mata itu menipumu. Sayap halus yang berayun menjamah angin, hanyalah daun mati yang bercorak Kupu-kupu. Terlihat hidup karena jiwamu yang benar-benar kosong!

Pada jam istirahat, aku duduk di bangkuku yang ada di sudut belakang kelas, dengan tatapan kosong menatap keluar jendela. Suasana yang riuh oleh teman-temanku terasa jauh dari pikiranku yang tenggelam dalam lamunan. Buku catatan terbuka di depanku, namun pena yang kupegang hanya terdiam di atas kertas.

Di saat itu, Razis datang menghampiriku. Ia yang tadinya keluar di saat bunyi lonceng yang berdenting sepuluh menit yang lalu, kembali ke kelas itu dan duduk di kursi kosong yang ada di samping kiriku. Aku memang hanya sendirian menghuni meja di pojok paling belakang lokal itu.

“Apa yang sedang kau pikirkan Fan?” tanyanya sambil menggeser kursi kayu semakin dekat.

“Semua menjadi semakin sulit. Apa yang dulu kita bicarakan, rasanya tak mungkin bisa kulakukan,” jawabku menutup kembali buku catatan di mejaku, seperti menutup dua bayangan yang ada di pikiranku saat itu.

“Apa maksudmu?

“Aku telah menemui Rani Zis, dan kami sudah semakin dekat sejak pertemuan itu. Aku benar-benar menyukainya. Aku yakin, Rani juga memiliki rasa yang sama terhadapku.

“Itu kan bagus!” Senyuman tergambar di pipi Razis yang sedikit berlekuk. “Kenapa kamu malah murung?” sambungnya masih tersenyum.

“Bagaimana dengan Vika?” tanyaku penuh beban.

Razis menghapus senyum di wajahnya. Jarinya mulai bermain di dagunya yang mulai ditumbuhi bulu halus. “Seperti yang kukatakan waktu itu. Jika rasa cinta memang nggak bisa tumbuh di hatimu, akhiri saja hubunganmu.

“Tapi itu nggak semudah yang kita pikirkan Zis! Setelah melihat wajah Vika pagi ini, aku nggak yakin sanggup melakukan itu. Aku hanya melupakan hari ulang tahunnya, tapi dia sudah terlihat sangat hancur. Apa yang terjadi jika aku benar-benar melupakan hubunganku dengannya?

“Dia akan terluka, Itu pasti! Tapi luka itu akan sembuh seiring berjalannya waktu. Semua akan baik-baik saja. Hanya saja, jangan terlalu memaksa. Lepaskanlah dia perlahan-lahan.

“Pelahan-lahan?

“Ya! Perlahan-lahan. Seperti memindahkan sebatang tanaman mawar dari pot lama ke pot yang baru. Kamu harus mencabutnya secara perlahan, tahap demi tahap. Gali lah tanah tempat tumbuhnya sedikit demi sedikit, dan pastikan uratnya tercabut dengan sempurna. Jika kau langsung mencabutnya dengan tergesa-gesa, tanganmu akan terluka karena durinya, dan mawar itu juga akan sulit tumbuh di tempat yang baru.

Saran dari Razis kembali menghuni sudut lain di alam pikirku. Kata-katanya selalu membuahkan pikiran yang baru di benakku. Dia hadir bagai Dewa Amor yang mengajarkan aku tentang bagaimana menjalani hubungan perasaan.

“Tetaplah jalani hubunganmu dengan Vika. Jangan langsung meninggalkannya saat ini, tapi menjauhlah secara perlahan-lahan nanti. Dengan sendirinya waktu akan membuat Vika menyadari bahwa dirimu bukan seperti apa yang ada di pikirannya. Sebesar apapun cintanya padamu, namun dia tetap manusia. Setiap manusia akan menemui titik jenuhnya,” tandas Razis menyempurnakan sarannya.

Denting lonceng sekolah kembali berbunyi. Besi tua yang tergantung di depan kantor SMA-ku telah dipukul dua kali, pertanda proses belajar segera dimulai. Razis kembali kebangkunya, dan aku masih merenungi kata-katanya hingga pelajaran hari itupun berakhir.

Vika kembali menemuiku di hari itu. Ia yang telah berdiri di pintu kelasnya, kembali menghentikan langkahku yang lewat di depannya. Razis yang saat itu berjalan beriringan denganku, hanya tersenyum melihat gelagat Vika, kemudian terus berlalu meninggalkan kami berdua.

“Apa kamu marah sama aku Fan?” tanya Vika dengan nada sumbang.

Aku tak mengerti entah apa yang dipikirkan gadis manis itu. Aku yang sesungguhnya bersalah, namun dia yang meminta maaf kepadaku. Dia meminta maaf seakan-akan akulah korban dari hubungan yang mulai berantakan.

“Kamu mau maafin aku kan Fan?” tambahnya dengan sorot mata yang penuh harapan.

Aku tersenyum sambil merapikan jepitan kupu-kupu berwarna merah jambu yang selalu hinggap di rambut halusnya. “Kenapa kamu yang meminta maaf? Aku yang bersalah!” ucapku merasa terbebani mendengar kata maaf darinya.

“Aku yang bersalah!” jawabnya bersikeras. “Seharusnya aku mengerti kesibukanmu. Nggak sepantasnya aku meragukan ucapanmu. Aku terlalu memaksa perhatianmu!

“Sudahlah, sebaiknya kita pulang,” ajakku tak ingin mendengar kata penyesalan yang tak seharusnya ia ucapkan.

“Apa kamu masih sibuk hari ini?” tanyanya kemudian, mengikuti langkahku menuju gerbang sekolah.

“Kenapa?

“Temenin aku ke Puskesmas, bisa?”

“Puskesmas?

“Iya. Papa lagi dirawat di sana. Semalam saat mempersiapkan acara ulang tahunku, sakit jantung Papa kambuh lagi!” ungkapnya.

“Ayok!” ujarku tanpa bertanya lagi, semakin mempercepat jalanku. Aku tidak menyangka Vika sedang menanggung beban kecemasan di hatinya. Pantas saja wajahnya terlihat rapuh di hari itu. Aku yang seharusnya menguatkannya, malah menambah beban itu.

Tidak lama berjalan, aku dan Vika sampai di Puskesmas. Tempat pelayanan kesehatan itu hanya berjarak lima puluh meter dari sekolahku.

Di balik kaca ruang gawat darurat, aku melihat seorang pria paruh baya terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat dengan mata yang sedikit terbuka. Tubuhnya terhubung dengan berbagai kabel dan selang infus. Nafasnya terlihat berat, sesekali disertai dengan desahan lelah.

Vika duduk di tepi ranjang itu, menatap lekat wajah pria disampingnya yang tampak lelah. Tak ada yang dapat ia bicarakan, walau sorot matanya tampak sangat ingin menyapa pria yang ia panggil Papa itu.

“Di hari bahagianya, Vika malah mendapatkan kesedihan. Aku yang ia harap akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya di sekolah, tetapi malah melupakan hari itu,” pikirku menyesal dengan penuh rasa bersalah.

Tidak lama, seorang wanita masuk ke ruangan tempat Papa Vika dirawat. Wanita itu ialah mamanya Vika, orang yang selalu mengantar Vika setiap pagi ke sekolah dengan mobil sedan berwarna silver.

“Papa harus segera dibawa ke Rumah sakit yang ada di Padang! Kondisi Papa semakin lemah.” Pembicaraan Vika dan Mamanya terdengar dari luar.

“Mama sudah menghubungi gurumu dan meminta izin untukmu beberapa hari, selama Papa di Rawat disana,” tambah Mama Vika pada anak semata wayangnya itu.

Vika melihat ke arahku setelah mendengar ucapan Mamanya saat itu. Aku hanya bisa tersenyum menyambut tatapannya yang terlihat berat. Dua bola mata yang dulunya selalu ceria, tampak redup dan kosong. Di sudut-sudut matanya, ada kilauan air yang hampir jatuh.

Hari itu, di gerbang Puskesmas, aku melepas kepergian Vika ke kota padang. Mobil sedan berwarna silver miliknya melaju mengikuti ambulan yang menderu di depannya. Saat dua mobil itu mulai lenyap dari pandanganku, seorang gadis di seberang jalan Rumah sakit menarik perhatianku.

Gadis itu mengenakan seragam sekolah putih abu-abu, sama sepertiku, ditambah dengan jilbab putih yang membingkai di wajahnya yang cerah. Mata indahnya, terpaku pada buku yang terbentang di tangannya. Gadis itu tidak lain ialah Rani.

Bersambung.

1
Riani
lebih ke perasaan
wekki
semangat thor
Marissa
Rata-rata baca buku harian, tapi penasaran juga
Robi Muhammad Affandi: Terimakasihh dukungannyaa😁
total 1 replies
Marissa
ini cerita misteri apa cinta? /Grin/
Hietriech Ladislav
dah mampir nih 🫡 next mampir baca novel saya & beri komen
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!