Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Semilir angin meniupkan rambut pirangnya yang agak panjang. Jika dia tidak menyapaku terlebih dulu, mungkin aku tidak akan pernah mengenalinya.
"Wajahmu tidak berubah," ucapnya.
"Tetap cantik," sambungnya.
Apa aku tidak salah dengar? Ini kali pertama dia memujiku itu. Biasanya dia lebih sering meledekku. Entah pendek atau cengeng.
"Kamu juga, terlihat ...." Aku menghentikan ucapan.
"Tampan?" balasnya.
"Aneh! Kenapa kamu memanjangkan rambut?"
"Kamu tidak suka dengan rambutku?"
"Bukan begitu. Tapi aku memang lebih suka jika rambutmu seperti dulu. Lebih rapih."
"Oh oke."
Kami pun akhirnya mengobrol sambil berjalan mengelilingi kampus. Banyak hal yang dia ceritakan selama kuliah di Inggris, sampai bekerja di sebuah perusahaan di Perancis.
"Kenapa kamu menonaktifkan semua sosial media?" tanyaku.
"Aku tidak suka bermain sosial media."
"Oke. Lalu, kenapa ponselmu tidak aktif."
"Ponselku hilang," balasnya.
"Sini ponselmu!" Carlos mengulurkan tangannya, ingin meminjam ponselku. Setelah kuberikan, tangannya menari-nari di atas layar.
"Ini nomor baruku," ucapnya sambil mengembalikan ponselku.
"Owh, Ok! Semoga tidak hilang lagi," balasku tersenyum.
Kami pun berjalan ke arah taman, sambil membawa beberapa box kecil makanan. Lalu mencari tempat duduk yang masih tersedia. Obrolan pun berlanjut setelah kami mendapatkan tempat duduk.
"Apa kamu masih tinggal di Bonn?" tanyanya.
"Tidak. Aku sudah pindah ke Bremen."
"Itu kota yang indah."
"Yap."
Obrolan kami terus mengalir. Tanpa sadar langit sudah berwarna jingga, tanda matahari sudah kembali ke peraduannya. Ternyata kami sudah duduk mengobrol selama berjam-jam.
"Aku harus segera pulang," ucapku seraya bangkit.
"Biarku antar," tawarnya.
"Tidak perlu, jaraknya terlalu jauh."
"Tidak apa-apa, aku juga ingin tau tempat tinggalmu."
Aku menggelengkan kepala.
"Jangan sekarang, mungkin di lain waktu saat kamu ada di Jerman."
"Aku tidak mungkin membiarkan kamu pulang sendirian."
Carlos terus memaksa mengantarku, padahal jarak antara kota Bonn ke Bremen cukup jauh. Bisa memakan waktu kurang lebih 4 jam.
"Aku memaksa," ucapnya.
Akhirnya aku pun menyerah, sikapnya yang keras kepala sangat sulit ditaklukan. Kami pun berjalan ke luar kampus, menuju tempat Carlos memarkirkan mobilnya.
*
Perjalanan yang cukup panjang di malam yang agak gelap. Kami lebih banyak diam, karena dari tadi siang sudah banyak sekali mengobrol. Sesekali aku melirik ke arahnya, wajahnya tampak tenang padahal mobil melaju cukup kencang.
"Carlos," panggilku.
"Ya?"
"Tidak perlu terlalu cepat."
"Maaf." Carlos menurunkan kecepatan mobil.
Entah kenapa, jantungku berdetak lebih kencang, saat kami saling beradu pandangan. Mata birunya sukses meluluhkan hatiku.
"Apa?" tanyanya sambil menoleh ke arahku. Seketika itu aku pun menjadi salah tingkah.
"Perhatikan jalan!" balasku tersipu malu.
"Maaf."
"Kenapa kamu terus meminta maaf?" tanyaku.
"Ya, karena aku salah, Kan?"
Tiga tahun tak bertemu, ternyata sikapnya tak berubah. Dia selalu meminta maaf jika kutegur.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kami pun tiba di tempat tinggalku. Sebuah apartemen kecil di pinggir kota.
"Terimakasih," ucapku seraya turun dari mobil.
"Tunggu!" Carlos pun ikut turun.
"Kamu tidak usah mengantarku ke dalam."
Carlos berlari kecil menghampiriku yang masih berdiri di samping mobilnya. Tiba-tiba ... dia memelukku.
"Hari ini adalah musim panas terbaik sepanjang hidupku," bisiknya.
Pelukannya terasa sangat nyaman sekali, membuatku tak ingin melepaskannya.
"Carlos," ucapku pelan. Spontan dia melepaskan pelukannya.
"Maaf, membuatmu tidak nyaman."
"Sekali lagi terimakasih untuk hari ini," ucapku gugup, lalu masuk ke dalam gedung.
Saatku membalikan badan, ternyata Carlos masih berdiri di tempat yang sama. Dengan tatapan mengarah padaku. Ada perasaan aneh yang menyeruak di dalam hatiku. Apakah aku jatuh cinta padanya?
*
Semenjak hari itu, aku dan Carlos menjadi sering mengobrol via chat atau video call. Hubungan kami pun semakin dekat. Hampir setiap akhir pekan, dia menyempatkan pulang ke Jerman untuk menemuiku. Jika dia sibuk, giliranku yang datang ke Perancis.
Hari ini Carlos datang ke apartemenku. Ingin mengajakku ke suatu tempat yang menurutnya indah. Dia tidak menceritakan akan mengajakku ke mana. Yang jelas tempatnya bukan di Jerman, melainkan di Perancis.
Dari apartemenku, hingga naik pesawat dan sampai di Perancis. Dia tetap bungkam dengan rencananya.
"Kamu tunggu di sini!" perintahnya. Kemudian dia mendekati seorang supir taksi dan mengobrol.
"Ayo!" Carlos melambaikan tangannya, memintaku untuk menghampirinya. Dia membukakan pintu taksi dan memintaku masuk.
Di dalam taksi, aku hanya duduk berdiam diri sambil melihat keindahan malam natal di Perancis. Lampu warna-warni menghiasi jalan, menambah keindahan malam ini.
Sebuah ikon yang paling terkenal di kota Paris mulai terlihat. Menara Eiffel, yang dihiasi dengan lampu dominan berwarna merah dan putih. Saat taksi mulai mendekat ke sana. Kini aku tau, tempat yang Carlos tuju.
Tak lama, taksi pun berhenti. Carlos langsung mengajakku turun. Kami berjalan menuju pintu masuk ke area Menara Eiffel. Udaranya lumayan dingin, sekitar 5 derajat celcius. Carlos mengajakku berkeliling. Tangannya yang hangat terus menggenggam tanganku.
"Apa kamu kedinginan?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
Carlos menghentikan langkah, saat melihat ada bangku taman yang kosong. Kemudia dia memintaku duduk.
Tak ada kata yang terucap dari bibirnya. Dia terus menggenggam tanganku, sambil menatapku. Pandangan kami saling beradu. Mata birunya membuat jantungku berdetak makin kencang.
Kunaikan kedua alisku, sambil mengangkat sedikit dagu. Sebuah bahasa isyarat untuk menanyakan apa maksud semua ini. Namun, dia malah mengembangkan senyum manisnya.
"Aku cinta padamu," ucapnya.
Selama berbulan-bulan kedekatan kami. Baru kali ini dia mengutarakan cintanya. Tiba-tiba merasa gugup.
"A-ku juga," ucapku sedikit terbata.
Carlos melepaskan genggaman. Tangan kanannya berpindah ke kantung jaketnya. Seperti mengambil sesuatu. Sebuah kotak kecil berwarna merah.
"Maukah kamu menikah denganku," ucapnya seraya membuka kotak kecil itu. Di dalamnya terdapat sebuah cincin berwarna putih, dengan permata berwarna hijau.
Perasaanku semakin tak karuan. Kuulurkan tangan mendekati kotak kecil itu. Lalu menutupnya perlahan.
"Kenapa?" tanya Carlos. Wajahnya terihat sangat kecewa.
"Aku ingin sekali menikah denganmu, tapi ...," ucapku.
"Aku harus meminta izin dulu pada kedua orang tua dan adik-adikku," sambungku.
"Bukankah, mereka sudah ...."
"Meninggal. Ya, tapi itu sudah menjadi tradisi keluargaku. Jadi jika kamu ingin tetap menikahiku, maka tunggu aku kembali dari Indonesia."
"Baiklah. Kapan kamu kembali ke Indonesia?"
"Kuusahakan secepatnya."
Carlos mengusap-usap wajahku, sambil terus menatapku dengan senyumannya yang menawan. Kepalanya perlahan mendekat ke arahku. Sebuah daya tarik yang sangat kuat membuatku melakukan hal yang sama.
Kini wajah kami hanya berjara beberapa centimeter saja. Hanya dalam hitungan detik, Carlos sudah mendaratkan bibirnya di bibirku. Kami pun berciuman. Sebuah ciuman pertama yang sangat indah di malam natal.