Kecelakaan menjadikan tertulisnya takdir baru untuk seorang Annasya Atthallah. Berselang dua bulan setelah kecelakaan, gadis yang biasa dipanggil Nasya itu dipinang oleh orang tua lelaki yang merupakan korban kecelakaan.
Airil Ezaz Pradipta, terpaksa menyetujui perjodohan yang diam-diam dilakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang kurang dari seorang Nasya. Namun dirinya yang divonis lumpuh seumur hidup menjadikan Airil merasa tidak pantas bersanding dengan perempuan yang begitu sempurna.
Lelaki yang dulunya hangat itu berubah dingin ketika bersama Nasya. Mampukah Nasya meruntuhkan tembok es itu dan melelehkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9
"Sebelum kecelakaan terjadi Tuan Airil baru selesai menghadiri meeting di hotel miliknya. Saat itu hanya dia yang ada di sana, Tuan Arraz dan Nona Nefa menghadiri meeting di GENTA Group." Jelas Seno pada kliennya, mereka bertemu di sebuah cafe yang tidak jauh dari kantor Nasya.
"Kalau ini direncanakan oleh lawannya yang sedang mengincar GENTA Group juga, bukankah mobil Arraz dan Nefa yang disabotase. Karena itu sangat memungkinkan."
"Permainannya tidak seperti itu, mereka mengincar pemimpin tertinggi untuk dilumpuhkan. Dengan begitu jajaran dibawahnya kehilangan pemimpin, dan ada celah untuk masuk."
Nasya menegakkan tubuh dan mengangguk mengerti, "apa ini ada hubungannya dengan Vans Franky?"
"Kita tidak bisa mengatakan pemimpin Vanguard itu sebagai dalangnya karena kita belum memiliki bukti."
"Saya sudah transfer, tolong bantu selidiki Franky." Ujar Nasya tidak bisa berlama-lama.
"Senang bekerjasama dengan Anda," Seno tidak mengantarkan Nasya keluar. Kliennya ini sangat berhati-hati ketika bertemu dengan lawan jenis.
"Sayang sekali perempuan sebaik itu disia-siakan," Seno bergumam sendiri.
Seringnya berhubungan dengan banyak kasus, Seno bahkan bisa menebak perasaan kliennya dalam sekali tatap.
"Jangan coba-coba menyelidiki rumah tanggaku!"
Seno tergelak membaca pesan yang dikirimkan kliennya, "menarik."
...🍀🍀🍀...
Nasya meraup wajah berulang kali. Menghela napas panjang sesering mungkin untuk mengisi paru-parunya dengan lebih banyak oksigen. Walaupun pernikahannya harus kandas, setidaknya ia sudah melakukan sesuatu.
"Mikirin apa?"
Nasya melepaskan tangannya yang sedari tadi menutupi wajah.
"Abi," istri Airil itu tersenyum menggelengkan kepala. Mana mungkin Nasya mengungkapkan segala keresahannya pada sang abi.
"Kamu mungkin bisa bohongin Abi, tapi tidak dengan tatapan mata ini." Adnan menepuk pipi putrinya lembut.
Ia kebetulan berangkat ke kantor, sekalian saja menemui putrinya yang tidak pernah pulang ke rumah setelah menikah.
"Abi bahagia Nasya menikah dengan Airil?" Tanya Nasya serius, menatap hangat wajah pria yang sudah berumur lebih dari setengah abad.
"Tentu saja Abi bahagia, dan Abi harap Nasya juga bahagia." Jawab Adnan dengan senyuman manis.
Nasya memutar kursi membelakangi Abi Adnan, "bagaimana kalau kami tidak bisa mempertahankan pernikahan ini?" Tanyanya sambil mengusap wajah dengan mata yang berkaca-kaca.
"Apa Abi terlalu egois memaksa Nasya menikah," Adnan beranjak mendekati putrinya.
"Harusnya Abi tanyakan ini sebelum Nasya menikah," bibir Nasya tersenyum namun matanya meneteskan cairan bening.
"Terkadang para orang tua berpikir pilihannya yang terbaik untuk putra-putrinya. Tapi dalam kenyataan mungkin tidak sesederhana itu."
"Abi berpikir perjodohan itu baik karena Abi dan Ummi pernah mengalaminya. Dan pada akhirnya kalian bisa saling mencintai. Tapi itu semua tidak berlaku pada setiap perjodohan. Bahkan banyak perjodohan yang kandas sehingga mengorbankan anak-anak mereka yang tidak bersalah."
Pria itu mengangguk. "Maafkan Abi," sesal Adnan.
Nasya menghapus air matanya dan kembali tersenyum. "Bagaimanapun akhirnya nanti, Nasya sudah berusaha membuat Abi dan Ummi bahagia. Meskipun takdir pernikahan Nasya tidak seindah harapan kalian."
"Abi akan dukung apapun keputusan Nasya kedepannya," Adnan memeluk putrinya merasa bersalah.
Setidaknya dengan mengungkapkan perasaannya hati Nasya merasa sedikit lebih lega.
Nasya sengaja pulang lebih lambat dari biasanya, tidak melakukan apa-apa. Hanya menenangkan diri sejenak sebelum menghadapi suaminya.
Prinsipnya, berjuang saja sampai lelah. Dan ketika sudah lelah mengusahakan namun tidak ada perubahan, boleh pergi. Karena tidak akan meninggalkan penyesalan lagi.
Setibanya di apartemen Nasya melihat suaminya tertidur di sofa depan televisi. Wanita itu mendekat dan tersenyum kecil, pergi ke kamar mengambilkan selimut.
"Pasti capek kan pindah sana sini dengan pergerakan terbatas." Kadang Nasya kasihan melihat Airil yang mengandalkan kedua tangannya untuk berpindah ke tempat tidur. Namun untuk dibantu pun suaminya ini tidak mau.
"Aku yakin kamu bisa seperti dulu lagi," Nasya menyisir rambut suaminya yang tertidur dengan jari jemarinya.
"Airill!!"
Suara itu kembali mendatangi Airil. Saat tubuhnya terjepit, perempuan itulah yang yang mengomando orang-orang untuk menyelamatkannya. Ia tidak tahu siapa perempuan yang begitu panik membantunya agar bisa terbebas dari kecelakaan maut.
"Mas," Nasya menepuk-nepuk pipi suaminya yang gelisah sampai berkeringat.
"Aaargh!!" Airil membuka mata, napasnya terdengar berat dan memburu.
"Minum dulu Mas, kamu mimpi buruk." Nasya membantu menegakkan tubuh suaminya dan memberikan air putih.
Airil memejamkan mata bersandar di sofa. Menarik napas panjang untuk melegakan dadanya yang terasa sesak.
"Aku bantu ke kursi roda, kamu istirahat di kamar Mas.
Airil menggeleng tidak mau.
"Ya sudah aku mandi dulu, nanti aku buatkan makan malam."
"Kenapa pulang malam?" Airil menyelidik, menemukan mata sembab dari wajah istrinya.
"Aku banyak kerjaan Mas," cicit Nasya.
"Duduk," titah Airil.
Nasya menurut duduk di samping suaminya. Bersiap mendengarkan kalimat pedas yang akan keluar dari mulut manis itu.
"Siapa yang membuatmu menangis?" Tanyanya serius.
"Tadi kelilipan Mas," jawab Nasya berbohong sambil mengucek matanya.
Airil menangkap tangan itu, "aku bukan anak kecil yang bisa kau bodohi. Katakan siapa yang membuatmu menangis. Tidak ada yang boleh membuat mata ini menangis selain aku."
Entah kenapa Nasya merinding mendengar kalimat itu. Tubuhnya lemas seperti tidak memiliki tenaga.
"Jawab Nasya! Siapa yang membuatmu menangis. Atau kau ingin tidak aku perbolehkan keluar rumah lagi."
"Tadi jari kakiku yang bengkak kejepit kursi, Mas." Nasya tidak berbohong tadi jarinya memang kejepit tapi bukan itu yang membuatnya menangis.
"Bodohnya kamu tidak tahu apa yang membuatku menangis, Mas." Gumam Nasya membatin.
"Ceroboh!!" Airil mengangkat satu kaki Nasya ke pangkuannya lalu melihat jari kaki yang bengkak itu kemerahan.
"Selama tidak ada kata pisah, seluruh tubuh ini milikku. Kau harus menjaganya dengan baik!!" Peringat Airil.
Nasya mengangguk dengan senyuman bahagia. Entah kenapa dia bahagia mendengar pernyataan semu itu.
"Salep," Airil mengulurkan tangan. Nasya dengan cepat memberikannya.
"Kalau besok tidak sembuh kita ke dokter."
"Mulai lagi, yang harusnya ke dokter itu bukan aku." Batin Nasya yang hanya terucap dalam hati.
"Besok pakai sandal ini," Airil mengeluarkan sandal karet yang depannya tertutup. Meskipun tertutup tapi itu tidak akan membuat jari kaki Nasya terjepit.
"Makasih Mas," dalam hati Nasya ingin tertawa. Sandal karet berwarna pink itu seperti mulut buaya.
"Aku mencarikan yang bahannya empuk, tidak seperti yang dijual obral di pasaran."
"Terima kasih," ucap Nasya. Sekali lagi mengecup pipi Airil kemudian berlari ke kamar sebelum si empunya mengamuk.
"Hati-hati Nasya, mau kakimu juga lumpuh karena terjatuh!!"
Nasya menatap sendu sandal di tangannya. Sekarang ia mengerti kenapa Airil begitu takut ketika kakinya terluka.
Di ruang tengah Airil mengelus pipinya. Mulai terbiasa dengan kecupan yang Nasya berikan. Bahkan dia sengaja tidak mau makan seperti pagi tadi demi mendapatkan kecupan itu.
sabar ya sa
key diamm
sblm.terkmabat