Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dibuang
Seira melangkah gontai dipapah Bi Sari memasuki halaman rumah. Ia tersenyum kala melihat mobil suaminya terpakir di sana. Mungkin mereka bisa berbicara baik-baik dan Seira akan mengatakan tentang kehamilannya.
Semoga yang dilakukan Mas Zafran hanyalah kesilapan semata. Aku harap suamiku itu akan meninggalkan Lita jika tahu tentang kehamilanku ini.
Sungguh asa yang melangit hingga tak ada praduga akan dijatuhkan dengan kejam. Debaran jantung tak lagi sama, rasa yang selalu menggelitik setiap kali akan bertatap muka dengannya, sudah jauh berbeda. Semua berubah setelah ia mendengar sendiri perselingkuhan suaminya.
Kulit pucat itu tidak menutupi kecantikan wajahnya. Apalagi ditambah senyum yang terukir di bibir meskipun hati rasa perih dan tercabik. Semua itu ia lakukan demi keutuhan rumah tangga, juga demi si jabang bayi yang di kandungnya.
Namun, senyum itu raib dengan begitu cepat, langkahnya juga terhenti disaat kaki hendak menapaki undakan tangga di teras. Sebuah koper dilempar dari dalam rumah tanpa perasaan, mendarat di teras dengan posisi terbalik.
Genangan air muncul kembali di kedua sudut matanya, bukan ini yang dia inginkan. Kenapa tiba-tiba jadi begini?
Langkah kaki mengetuk lantai rumah, Seira mereguk ludah melihat kemunculan sang suami. Tiada badai, tiada hujan, tapi wajah itu terlihat tak ramah. Oh, apakah salahnya? Pandangannya beralih pada sosok rupawan yang amat dihormatinya selama ini.
Tegukan demi tegukan ludah ia lakukan demi membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ada takut perlahan merambat ke dalam hatinya, rasa cemas mulai mengisi sedikit demi sedikit relung jiwa tempat bersemayam segala rasa.
Tatapan tajam Zafran jatuh pada maniknya yang berkaca, pantulan dari rasa gelisah tak dapat disembunyikan. Ia diam tak berkutik, melepas tangan dari pundak Bi Sari berdiri di atas kaki sendiri. Dia tahu seperti apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi apa salahnya?
"Ada apa ini, Mas? Kenapa koper aku kamu lempar?" tanya Seira dengan nada tenang meskipun hati menahan perih.
Zafran melangkah, posisinya yang berada di atas teras membuat Seira harus mendongak demi berhadapan dengannya. Kerutan di dahi wanita itu memperlihatkan kebingungan, tapi ia telah menyiapkan hatinya dengan semua kemungkinan yang akan terjadi. Juga rencana yang tiba-tiba muncul untuk ke depannya.
Zafran meneguk ludah, menatap terlalu lama wajah manis itu membuat hatinya goyah saat memberi keputusan. Ia tak ingin berlama-lama, secepatnya dilakukan dan semuanya akan berakhir baik-baik saja.
"Seira Maharani, mulai hari ini aku talak kamu, aku bebaskan kamu dari kewajiban-kewajiban sebagai istriku. Pergilah sesuka hatimu ke mana pun kamu mau, aku nggak akan melarang apalagi mencegah. Pergilah hari ini juga."
Duar!
Suara petir disambut gemuruh hebat menyentak semua orang. Tak ada mendung terlihat, langit tampak cerah sore itu, tapi tiba-tiba menampakkan kemurkaan.
Detak jantung tak lagi bisa diajak kompromi, petir dan gemuruh itu berasal dari hatinya. Ia memejamkan mata, setetes cairan bening jatuh membasahi pipi. Selama pernikahan mereka, itu adalah air mata pertama Seira. Hati yang sudah sakit semakin perih, bagai luka yang disiram air garam.
Bi Sari gelagapan, air matanya ikut jatuh merasakan kesedihan yang dialami sang majikan. Ia pandangi wanita itu, bergantian dengan laki-laki yang telah tega menjatuhkan talak untuknya.
"Tu-tuan, Non Sei lagi kurang sehat. Setidaknya biarin Non Sei istirahat di rumah sampai kesehatannya pulih. Kasihan, Tuan, Non Sei baru aja keluar dari rumah sakit," mohon Bi Sari sambil mengusap-usap punggung tegar milik wanita itu. Terasa bergetar menahan tangis yang hendak meledak-ledak.
Zafran gamang, ditatapnya wajah wanita itu, memang terlihat pucat dan menyedihkan. Apakah dia sudah menjadi laki-laki yang kejam hari itu? Wanita yang selama ini dia sanjung tinggi-tinggi, kini dia jatuhkan pada jurang kesakitan yang paling dalam.
Seira masih menahan gejolak emosi yang membuncah, ia harus kuat demi si buah hati yang dikandungnya. Rasa nyeri kembali berdenyut, si jabang bayi tak terima sang inang disakiti.
"Buat apa lagi? Dia bukan lagi istrinya Zafran, talak udah jatuh dan mereka bukan lagi suami istri. Udahlah, nggak usah melas-melas kayak gitu. Kayak nggak punya harga diri aja," sembur sang Ibu yang melangkah pelan keluar diiringi Lita yang berdiri di antara dua tiang pintu.
Bi Sari terkejut, air mata wanita itu kembali jatuh bertubi-tubi. Ada manusia kejam seperti mereka. Ia menatap Zafran yang berpaling muka dari Seira. Sekilas pancaran kesedihan dapat ditangkap mata Bi Sari yang menua.
"Tuan, Non Sei harus ke mana kalo diusir dari sini? Rumahnya udah nggak ada, orang tua juga udah pergi. Cuma Tuan yang Non Sei punya sekarang ini, apa Tuan tega ngebiarin Non Sei terlunta di jalan dengan kondisi sakit kayak gini? Pakai hati Tuan, selama ini Non Sei nggak pernah membantah, apalagi membangkang. Kenapa Tuan tega sekali?" ungkap Bi Sari semakin memohon pada tuannya.
Mang Udin menatap pilu di kejauhan, tak tega rasanya melihat wanita sebaik Seira diperlukan tidak adil seperti itu. Yang mereka tidak tahu, di kejauhan sepasang mata mengintip tajam.
"Itu wajar, dia emang harus nurut sama suami. Eh, Sari, denger, ya! Aku pengen cucu, tapi udah lima tahun mereka nikah Seira nggak hamil-hamil juga. Buat apa Zafran mempertahankan perempuan mandul kayak dia. Udahlah, biarin aja dia pergi kalo kamu masih pengen kerja di sini," ucap Ibu semakin mengoyak jiwa Seira.
Namun, wanita itu tetap bungkam, terus menguatkan hati menerima cacian dari sang Ibu mertua. Zafran sedikit terkejut, tapi biarlah semua terkuak untuk memudahkan perpisahan mereka.
"Anda kejam, Nyonya. Non Sei itu menantu Anda. Asal Nyonya tahu, Non Sei sekarang la-"
Ucapan Bi Sari terhenti disaat tangan Seira menyentuh dan sedikit meremas tangannya. Ia menghela napas panjang sebelum membuka mata menatap wanita yang turut menangis dengannya itu. Tersenyum sambil menggeleng.
"Tapi, Non-"
Seira mengangguk pasti, menepuk tangan Bi Sari dengan lembut. Tak ada kelemahan yang ia perlihatkan di hadapan semua orang, apalagi senyum itu ... dia wanita hebat, bukan?
Pelan Seira memalingkan wajah pada laki-laki yang sekejap saja sudah menjadi mantannya. Ludah diteguknya kembali untuk menormalkan suara yang dirasa serat. Disapunya air di pipi, tak pantas ia menangis untuk orang-orang kejam seperti mereka.
"Baik, aku terima perpisahan ini kalo itu yang kamu mau, Mas. Aku juga akan pergi dan nggak akan ganggu hidup kamu lagi. Semoga kamu bahagia bersama perempuan yang sekarang kamu cinta. Untuk harta aku yang pernah kamu pakai, aku udah ikhlas. Makasih udah jadi suami yang baik selama ini, makasih juga karena Mas mau repot ngemas barang-barang aku. Aku pergi, Mas. Selamat tinggal!"
Seira menatap penuh kecewa, pandangan itu benar-benar meruntuhkan perasaan Zafran. Sisi lain hatinya amat tak tega, tapi kenyataan yang harus ia terima membuatnya harus berbuat tega.
"Yah, pergi aja kamu. Lagian sebentar lagi aku akan punya cucu dari perempuan lain. Bukan kamu ... oya, nggak mungkin kamu, 'kan? Karena kamu itu mandul," sarkas Ibu diakhiri dengan tawa mengejek.
Bi Sari meradang, ia hendak membuka mulutnya tapi gelengan kepala Seira tak mengizinkan. Berkerut dahi Zafran, ia menangkap sebuah rahasia yang sedang disembunyikan mantan istrinya itu.
Senyum Seira terkembang sempurna, menatap sang Ibu mertua sebelum beralih pandangan pada sahabatnya. Lita angkuh dan bersikap seolah-olah dialah pemenangnya.
"Semoga saja begitu, Ibu. Aku khawatir apa yang Ibu angankan, nggak sesuai sama kenyataannya," sindirnya tetap tenang tak terbawa emosi.
Lita menoleh geram, melepas tautan tangannya di perut tak terima.
"Apa maksud kamu? Kamu cuma iri, 'kan, sama aku?!" ejeknya tak tahu malu.
Seira tertawa geli, hal itu sontak saja mengundang rasa curiga dari Zafran.
"Aku tahu siapa kamu, Lita. Lagian kenapa aku harus iri sama kamu. Level kita beda jauh, buat apa iri? Rasanya nggak patut aku iri sama perempuan yang merebut suami orang. Aku pergi bukan karena kalah," ucap Seira.
"Yah, pastinya kamu iri karena aku lagi hamil anaknya Mas Zafran," sahutnya berpaling wajah dari Seira.
Lagi-lagi tawa Seira menggema, bukannya menangis wanita itu malah terus tertawa. Apakah dia tengah menyembunyikan lukanya lewat tawa itu?
"Ayolah, Bi. Kita pergi, buang waktu aja di sini," ajak Seira sambil berbalik tanpa mengambil koper miliknya.
"Hei, tunggu!"