Dua kali Kenan melakukan kesalahan pada Nara. Pertama menabrak dirinya dan kedua merenggut kesuciannya.
Kerena perbuatannya itu, Kenan terpaksa harus menikah dengan Nara. Namun sikap Kenan dan Mamanya sangat buruk, mereka selalu menyakiti Nara.
Bagaimana perjalanan hidup Nara?
Akankah dia mendapat kebahagiaan atau justru menderita selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZiOzil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9.
Hendra pulang ke rumah dengan langkah gontai, hari ini dia benar-benar lelah, emosinya sungguh diuji.
Melihat suaminya pulang, Windy langsung menghampiri, "Sebenarnya ada apa, Pa?"
Kenan hanya mematung tak jauh dari sang ayah dengan penasaran.
"Nara mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembersih kamar mandi," beber Hendra.
Windy dan Kenan terkesiap, mereka tak menyangka wanita tersebut sampai nekat begitu.
"Dia pasti sangat terpukul dan sedih sampai nekat ingin mengakhiri hidupnya," keluh Hendra sedih.
"Lalu bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Windy, dia ingin memastikan wanita itu masih hidup atau sudah mati.
"Dia sudah enggak apa-apa, untung Papa membawanya ke rumah sakit tepat waktu. Kalau terlambat sedikit saja, Papa enggak bisa bayangkan apa yang terjadi," terang Hendra.
Ekspresi wajah Windy berubah masam, dia tidak terlihat senang dengan berita itu. Tadinya dia berharap Nara mati saja agar sang putra tidak perlu bertanggung jawab dan menikahi wanita itu.
Hendra lalu menatap Ken, "Kau lihat? Akibat perbuatan kurang ajar mu, nyawa orang lain hampir saja melayang. Apa sedikitpun enggak ada rasa bersalah atau menyesal di hatimu?"
Kenan hanya tertunduk diam, sejujurnya dia merasa sedikit bersalah dan menyesal, tapi dia terlalu egois untuk mengakuinya pada orang lain.
"Papa jangan terus-terusan menyalahkan Kenan dan membuat dia terpojok!" protes Windy.
"Papa enggak menyalahkan dia, tapi Papa sedang menyadarkan dia atas kesalahannya! Dan Papa berharap dia mau bertanggung jawab!" pungkas Hendra kemudian berlalu pergi dari hadapan anak dan istrinya itu.
"Papa kamu benar-benar menyebalkan!" umpat Windy kesal, sementara Kenan hanya bergeming.
"Kenapa gadis kampung itu enggak mati saja sekalian! Bikin susah saja!" sungut Windy.
Kenan mengembuskan napas lalu berbalik pergi, dia sungguh lelah dan pusing mengahadapi masalah yang ada.
"Kamu mau ke mana, sayang?" Windy bertanya.
"Ke kamar, Ma. Mau istirahat," jawab Kenan tanpa memandang sang ibu, dia terus melangkah menaiki anak tangga dengan lesu.
Windy sungguh sedih melihat keadaan Kenan, dia tak ingin suaminya memaksa sang putra menikahi Nara dan menghancurkan impian anak semata wayangnya itu.
***
Keesokan paginya Hendra kembali ke rumah sakit, dan menyuruh Bi Ani pulang untuk berganti pakaian. Sebenarnya dia ingin mengajak Kenan menjenguk Nara, tapi Kenan tidak ada, entah ke mana putranya itu pergi pagi-pagi begini?
Hendra menatap Nara yang baru saja siuman, wanita itu masih terlihat pucat dan lemas.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Hendra.
"Baik, Pak," jawab Nara pelan, dia sebenarnya malu dan enggak enak karena sudah melakukan perbuatan bodoh yang akhirnya menyusahkan Hendra.
"Pak, saya minta maaf atas apa yang terjadi. Saya enggak bermaksud untuk menyusahkan bapak," ucap Nara dengan suara bergetar menahan tangis.
"Sudah enggak apa-apa, saya bisa mengerti perasaan kamu. Dan seharusnya yang minta maaf itu saya, saya sungguh menyesali apa yang telah Kenan lakukan terhadap kamu."
Nara bergeming dan akhirnya menangis, dia kembali teringat perbuatan menjijikkan Kenan yang dengan paksa merenggut harga dirinya.
"Saya tahu, maaf saja enggak cukup untuk menebus semuanya, perbuatan Kenan sudah keterlaluan," lanjut Hendra.
"Saya enggak tahu apa salah saya? Kenapa dia tega melakukan itu?" Nara berbicara sambil menangis tersedu-sedu.
"Kamu yang sabar, ya. Saya sudah meminta Kenan untuk bertanggung jawab, dia akan menikahi kamu," terang Hendra.
Nara terkejut dan langsung menggeleng, "Enggak, Pak! Saya enggak mau menikah dengan dia!"
"Nara, dia sudah merusak masa depan kamu, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu," ucap Hendra.
"Tapi saya enggak bisa, Pak! Saya dan Kenan enggak saling mencintai, kami enggak mungkin menikah," bantah Nara.
"Nara, dengarkan saya! Saat ini hanya itu jalan yang terbaik untuk kalian, saya akan merasa bersalah jika membiarkan kamu hidup tanpa tanggung jawab dari putra saya. Dan perkara cinta, pasti akan tumbuh seiring berjalannya waktu."
Nara tertegun, dia memang sudah kehilangan kehormatannya akibat perbuatan bejat Kenan dan pemuda itu sudah sepatutnya bertanggung jawab, tapi hatinya tak bisa menerima begitu saja jika harus menikah dengan pemuda angkuh tersebut.
"Maaf, Pak. Saya tetap enggak bisa!"
"Nara, kamu ...."
Hendra tak jadi melanjutkan kata-katanya karena telepon genggam miliknya tiba-tiba berdering, Hendra mengernyit saat melihat ada panggilan masuk dari nomor Heri.
"Om kamu menelepon, saya jawab dulu!" Hendra langsung menggeser tombol hijau dan panggilan pun tersambung.
Wajah Hendra mendadak berubah tegang, dia menatap Nara dengan mata melotot sambil terus mendengarkan si penelepon menyampaikan sesuatu. Melihat ekspresi Hendra itu, Nara menjadi cemas dan penasaran, seketika perasaannya tidak enak.
Panggilan telepon itu pun terputus, wajah Hendra berubah sendu.
"Ada apa, Pak? Apa kata Om saya?" cecar Nara ingin tahu.
"Yang barusan itu polisi, mereka menelepon dari ponsel Om kamu dan mengabarkan jika Om serta Tante kamu mengalami kecelakaan bus di puncak, dan mereka ...."
"Mereka kenapa, Pak?" desak Nara semakin cemas.
"Mereka meninggal dunia," lanjut Hendra pelan.
Nara terhenyak, tangisnya sontak pecah. Hendra kian merasa iba dan prihatin pada wanita itu.
"Om, Tante, kenapa kalian juga meninggalkan aku?" ujar Nara lirih di sela-sela tangisnya.
"Kamu yang sabar, ya. Ikhlaskan mereka." Hendra mengusap bahu Nara.
"Saya cuma punya mereka, Pak. Cuma mereka satu-satunya keluarga yang saya miliki, dan sekarang mereka juga pergi. Sekarang saya sudah enggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini." Tangis Nara semakin menjadi-jadi.
"Kamu masih punya saya! Saya berjanji akan menjaga kamu seperti anak saya sendiri," sahut Hendra, dia juga merasakan kesedihan Nara, tapi dia tak bisa melakukan apa-apa. Semua sudah menjadi ketentuan dari sang maha kuasa.
Sementara itu di apartemen Jessi, Kenan sedang menatap tajam wanita cantik itu.
"Jawab jujur! Apa yang kau berikan padaku semalam?" tanya Kenan.
"Aku hanya memberi mu Coca Cola. Memangnya kenapa?" Jessi pura-pura tidak tahu.
"Kau bohong! Kau pasti mencampurkan sesuatu ke dalam minumanku, iya kan?" tuduh Kenan.
Jessi menggeleng, "Enggak, Ken! Kamu ini bicara apa? Aku enggak mencampur apa pun ke minuman mu!"
"Jess, aku merasa aneh setelah minum Coca Cola yang kau berikan. Aku yakin pasti ada sesuatu di dalam minuman itu." Kenan masih bersikeras.
"Kamu ini kenapa, sih? Pagi-pagi datang ke sini hanya untuk menuduhku yang tidak-tidak!"
"Jess, aku tahu kau itu wanita seperti apa! Kau sanggup melakukan apa pun yang kau inginkan, jadi wajar kalau aku curiga padamu."
"Kenan! Aku enggak seburuk itu!" bantah Jessi.
"Baiklah, kalau kau enggak mau mengaku. Tapi kalau aku sampai tahu kau berbohong, kau akan menyesal!" ujar Kenan kemudian pergi meninggalkan apartemen Jessi.
"Sial!" umpat Jessi kesal, rencananya gagal dan sekarang Kenan marah padanya.
***
beruntung papa Hendra bersikap tegas