Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Harum sudah menyelesaikan pekerjaannya. Mencuci piring bekas sarapan, mencuci baju serta menjemurnya. Setelahnya, ia bersiap untuk memasak.
Harum berencana memasak soto. Sang ibu mertua yang memberitahukannya bahwa Hangga menyukai soto tanpa santan.
Saat membuka kulkas, Harum mendesah kecewa karena stok daging ayam di kulkas sudah habis. Ia duduk di teras menunggu tukang sayur, tetapi hingga pukul sepuluh, tukang sayur yang ditunggu tidak kunjung melewati rumahnya.
“Kayaknya abang sayur lagi libur jualan, Teh,” kata Ebah, seorang ART tetangga sebelah rumah.
“Selain abang sayur yang itu, apa enggak ada penjual sayur lagi, Teh?” tanya Harum.
“Ada, tapi jauh. Ada di kampung belakang perumahan ini,” sahut Ebah.
“Teh Ebah tahu tempatnya? Bisa kasih tahu saya, ke mana jalannya?” kata Harum antusias. Ia bertekad untuk membuat soto kesukaan Hangga.
“Kalau dari sini, yang perempatan depan itu belok kiri terus jalan sampai ketemu tiga perempatan lagi baru belok kiri lagi. Nah, di paling ujung nanti ada lapangan bola. Sehabis lapangan itu namanya kampung Kunyit, di sana ada penjual sayur. Enggak jauh kok, dari lapangan bola,” terang perempuan yang rambutnya dikuncir kuda.
“Oh, gitu. Terima kasih ya, Teh, informasinya,” kata Harum sembari tersenyum. Informasi dari Ebah sangat berharga baginya.
“Teteh mau beli sayur ke sana?” lontar Ebah.
“Iya, soalnya stok ayam di kulkas sudah habis.”
“Naik apa ke sananya?”
“Jalan kaki saja.”
“Kalau jalan kaki capek, Teh. Tempatnya jauh banget.”
Demi Hangga, jarak yang jauh tidak menjadi masalah. Jangankan jalan darat, jalan laut atau pun udara pasti akan ditempuh Harum selagi ia mampu.
“Enggak papa, jauh juga yang penting sampai.” Harum tersenyum pada gadis yang kemungkinan usianya lebih muda dari Harum.
Setelah mengunci pintu, Harum pergi menuju lokasi penjual sayur dengan berjalan kaki. Rupanya benar yang dikatakan Ebah, tempatnya sangat jauh.
Harum melirik jam tangan berbentuk gelang hadiah dari bapak mertuanya. Saat berangkat tadi, waktu di arloji menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh. Sudah dua puluh menit berjalan, ia belum melihat ada warung sayur.
Jangankan warung, lapangan bola saja belum kelihatan. Tadi kata Ebah, warungnya tidak jauh dari lapangan bola.
Perjalanan yang jauh menuju penjual sayur sama sekali tidak membuatnya mengeluh. Justru ia sangat semangat. Membayangkan Hangga akan menyantap soto buatannya dengan lahap, membuat semangatnya naik berkali-kali lipat.
Akhirnya Harum sampai juga ke warung yang tampak sudah sepi dari kerumunan ibu-ibu. Mungkin karena hari sudah siang, sudah lewat jamnya ibu-ibu belanja sayur. Butuh waktu tiga puluh lima menit bagi Harum untuk sampai ke warung tersebut.
Harum segera membeli kebutuhan dapur yang diperlukannya. Beruntung daging ayam yang menjadi pokok tujuannya masih ada di warung tersebut. Bayangkan jika sudah berjalan jauh, ternyata daging ayam tersebut telah habis terjual. Alangkah kasihan kaki Harum.
Setelah selesai membeli kebutuhan dapurnya, Harum kembali pulang dengan berjalan kaki. Saat dalam perjalanan pulang, ia melihat beberapa anak tengah bermain kejar-kejaran di jalan dekat lapangan. Bertepatan dengan munculnya sebuah motor sport yang melaju kencang.
Seorang anak hampir saja terserempet motor jika Harum tidak segera menariknya. Naas, aksinya itu justru membuat Harum terjatuh di tanah berbatuan.
Anak-anak kecil itu mengerubungi Harum dan membantunya berdiri. Pengendara motor itu juga turut berhenti untuk menolong Harum.
“Mbaknya ndak apa-apa?” tanya pria pengendara motor itu setelah melepas helm dan turun dari motor, lalu buru-buru menghampiri Harum.
“Enggak apa-apa,” sahut Harum tanpa melihat pria pengendara motor tersebut.
Pria yang mengenakan kaus warna putih yang dilapis jaket hijau army dan celana jeans itu berjongkok di hadapan Harum. “Maaf aku ndak sengaja. Tadi aku buru-buru,” sesalnya.
Harum tidak menyahut. Ia merasakan punggung tangannya perih. Benar saja, ada luka lecet di sana, mungkin karena tergores batu atau kerikil. Luka goresan itu mengeluarkan darah, meskipun tidak banyak. Harum meniup-niup lukanya untuk mengurangi perih.
“Mbaknya berdarah.” Pria itu hendak meraih tangan Harum untuk memeriksa lukanya, namun segera ditepis oleh Harum.
“Jangan sentuh saya!” salak Harum.
Harum yang sedari tadi menunduk memperhatikan lukanya, kini mengangkat wajah menatap pria yang berjongkok di depannya.
Pria itu tergemap karena reaksi Harum dan menatap perempuan bergamis hitam dengan jilbab merah muda itu tanpa berkedip.
“Maaf, aku ndak bermaksud untuk ....”
“Enggak apa-apa,” potong Harum cepat sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya. “Lagipula ini hanya luka ringan,” lanjutnya.
“Mbaknya tinggal di mana? Mari aku antar pulang,” tawar pria tersebut.
“Enggak usah terima kasih,” tolak Harum.
Kemudian ia berdiri dengan dibantu beberapa anak kecil yang masih berada di dekatnya.
Harum yang merasa baik-baik saja berniat untuk melanjutkan langkahnya pulang. Namun, baru dua langkah berjalan, ia merasakan nyeri di kakinya. Sepertinya insiden jatuh itu juga membuat kakinya terkilir.
“Biar aku antar mbaknya pulang ya,” ujar pria itu saat melihat langkah Harum yang terhenti.
“Enggak usah, terima kasih.” Harum kembali menolak.
“Sepertinya kaki mbaknya juga sakit. Apa bisa jalan sampai rumah dengan keadaan kaki begitu?”
“Insyaallah bisa, rumah saya dekat kok,” sahut Harum cepat.
Sekilas Harum memandang pria yang kini tengah berdiri memperhatikannya. Pria tersebut bertubuh tinggi sedang. Kalau diukur, tingginya mungkin di bawah Hangga. Kulitnya putih dengan mata agak sipit. Rambutnya potong cepak ala Keanu Reeves saat bermain di film Speed.
Yang paling menjadi atensi Harum adalah cara berbicara pria tersebut. Pria itu menggunakan Bahasa Indonesia, namun dialek kedaerahannya sangat kental. Dari cara bicaranya, Harum menebak pria tersebut berasal dari Suku Jawa.
Pria itu memperhatikan Harum yang kembali melangkahkan kaki dengan terpincang-pincang.
“Ah, aku ndak yakin kamu bisa pulang dengan kaki pincang kayak gitu. Kalau pun bisa, pasti akan kesakitan. Ayo, biar aku antar saja,” kata pria yang belum diketahui namanya itu.
“Mas, bisa tolong belikan plester dulu,” ujar Harum saat pria itu mulai mengiringi langkahnya.
“Plester?”
“Ya, untuk ini.” Harum menunjuk lecet di punggung tangannya.
“Oke. Mbaknya tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Aku beli plester dulu.”
Setelah bertanya kepada kumpulan anak yang masih berada di TKP tentang letak warung, pria itu melesat bersama motor sport Honda tipe CBR 150R warna hijau lengkap dengan helm teropong yang juga berwarna hijau.
Sepertinya pria itu penyuka warna hijau. Batin Harum.
Setelah pria penyuka warna hijau itu pergi, Harum melanjutkan langkahnya. Ia sengaja menyuruh pria tersebut membeli plester sebab tidak ingin diantarkan pulang oleh pria yang wajahnya lumayan ganteng itu.
“Bismillah.” Harum berucap lirih.
Menenteng kantong keresek, dengan langkah terpincang-pincang menahan ngilu di kaki, ia mengayun pelan langkahnya.
Pukul sebelas siang, matahari menyengat begitu terik. Ditambah gamis warna hitam yang dikenakannya, membuatnya semakin kegerahan hingga mengucurkan peluh di tubuhnya.
“Ya, Allah beri hamba-Mu kekuatan.” Harum berdoa dalam hati.
Dari arah berlawanan, ada sebuah motor Beat warna putih melaju.
"Neng,” sapa pengendara motor itu saat berpapasan dengan Harum.
Harum yang berjalan menunduk, kemudian mengangkat kepalanya. “Bu RT. Mau ke mana, Bu?” sapa Harum dengan ramah.
Dua minggu tinggal di kediaman Hangga, belum banyak warga perumahan yang ia kenal kecuali beberapa ART tetangganya dan Bu RT.
“Saya mau ke warung. Tukang sayurnya libur jualan,” sahut ibu yang memakai daster gombrang model kelelawar dipadukan dengan jilbab instan panjang warna kunyit.
“Iya, Bu. Ini saya juga baru pulang dari warung.”
“Neng Harum jalan kaki?”
“Iya, Bu.”
“Kalau begitu, saya antar pulang Neng Harum dulu.” Ibu bertubuh gemuk itu memutar arah motornya.
“Eh, enggak usah, Bu,” kata Harum sungkan.
“Sudah, enggak apa-apa. Jauh loh, kalau jalan kaki. Ibu lihat Neng juga kakinya lagi sakit. Ayo, Neng!” Perempuan berusia empat puluhan itu memutar arah motornya.
Meski sungkan karena khawatir merepotkan, Harum memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Tidak enak untuk menolak tawaran Bu RT yang sudah memutar arah motornya. Lagi pula kakinya memang terasa ngilu.
Dan yang lebih membuatnya khawatir adalah jika pria pengendara motor itu lebih dulu kembali dan menemukannya lalu memaksa untuk mengantarkannya pulang.
“Terima kasih banyak, Bu RT. Jadi enggak enak karena merepotkan,” ucap Harum saat naik ke boncengan.
“Enggak apa-apa. Kita ‘kan harus saling membantu,” sahut Bu RT itu ramah.
Harum bersumpah, jika nanti ada pemilihan RT, ia akan kembali memilih suami Bu RT itu sebagai RT-nya. Janji Harum dalam hati.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu