Arjuna Hartono tiba-tiba mendapat ultimatum bahwa dirinya harus menikahi putri teman papanya yang baru berusia 16 tahun.
“Mana bisa aku menikah sama bocah, Pa. Lagipula Juna sudah punya Luna, wanita yang akan menjadi calon istri Juna.”
“Kalau kamu menolak, berarti kamu sudah siap menerima konsekuensinya. Semua fasilitasmu papa tarik kembali termasuk jabatan CEO di Perusahaan.”
Arjuna, pria berusia 25 tahun itu terdiam. Berpikir matang-matang apakah dia siap menjalani kondisi dari titik nol lagi kalau papa menarik semuanya. Apakah Luna yang sudah menjadi kekasihnya selama 2 tahun sudi menerimanya?
Karena rasa gengsi menerima paksaan papa yang tetap akan menikahkannya dengan atau tanpa persetujuan Arjuna, pria itu memilih melepaskan semua dan meninggalkan kemewahannya.
Dari CEO, Arjuna pun turun pangkat jadi guru matematika sebuah SMA Swasta yang cukup ternama, itupun atas bantuan koneksi temannya.
Ternyata Luna memilih meninggalkannya, membuat hati Arjuna merasa kecewa dan sakit. Belum pulih dari sakit hatinya, Arjuna dipusingkan dengan hubungan menyebalkan dengan salah satu siswi bermasalah di tempatnya mengajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Wawancara
Arjuna menghapus keringat di wajahnya. Dia sedikit berlari menuju lantai 2. Tepat pukul 8, Arjuna menunggu di depan ruangan yang bertuliskan kepala sekolah.
“Mau bertemu dengan siapa, Pak ?” Seorang guru yang kebetulan melintas bertanya pada Arjuna.
“Saya ada janji bertemu Pak Slamet, Pak. Saya dengan Arjuna,” sahut Arjuna kalem.
“Ooo Pak Arjuna temannya Pak Dono, ya ?” Guru pria itu langsung tersenyum.
“Saya sendiri, Pak,” sahut Arjuna sambil mengangguk.
“Kenalkan saya Wahyu, guru matematika yang akan digantikan oleh Pak Arjuna,” Pak Wahyu mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan Arjuna.
“Panggil saya Arjuna atau Juna saja, Pak. Dan saya masih belum tahu apa diterima menjadi pengganti Bapak.”
Pak Wahyu pun manggut-manggut.
“Sepertinya dugaan saya tidak akan meleset, kalau kamu pasti diterima,”ujar Pak Wahyu sambil tertawa.
“Silakan langsung ketemu Pak Slamet. Ketuk saja pintunya. Beliau pasti sudah menunggumu. Semoga lancar ya,” Pak Wahyu menepuk bahu Arjuna sambil melanjutkan langkahnya.
Arjuna hanya mengangguk. Berhadapan dengan Pak Wahyu yang sudah berumur hampir 60 tahun membuat Arjuna merasa seperti hubungan murid dengan guru.
Mengikuti saran Pak Wahyu, Arjuna mengetuk pintu kaca ruangan kepala sekolah.
Dari balik pintu yang baru terbuka, terlihat seorang pria dengan postur tubuh tinggi besar, sama tiggi dengan Arjuna hanya badanny lumayan genuk. Arjuna menebak kalau usia Pak Slamet saat ini di sekitar 45-50 an.
“Arjuna, ya ?”
“Iya Pak,” Arjuna kembali membungkukan sedikit badannya.
Arjuna pun mengikuti Pak Slamet masuk ke dalam ruangan. Namun tidak seperti bayangan Arjuna, keduanya malah duduk di sofa berhadapan. Suasana sedikit santai, membuat Arjuna mampu melepaskan urat-urat ketegangannya.
Pak Slamet pun mulai mengajaknya berbincang layaknya tamu biasa. Arjuna kembali merasa seperti nostalgia dengan masa sekolahnya. Sama seperti Pak Wahyu tadi, Arjuna merasakan seperti sedang berbincang dengan mantan gurunya.
“Kamu yakin akan berani menerima tantangan ini ?” Mata Pak Slamet menelisik tatapan Arjuna, memastikan kesungguhan niat pemuda di depannya.
“Kalau soal berani, tidak ada yang membuat saya takut kecuali Tuhan, Pak. Tapi kalau yakin, sejujurnya saya tidak terlalu yakin, karena tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk menjadi guru.”
Arjuna menjawab apa adanya tanpa memikirkan kalau jawabannya ini mungkin membuatnya tidak diterima.
Pak Slamet malah tertawa mendengar ucapan Arjuna dan mengangguk-anggukan kepala.
“Mengajar anak-anak SMA memang perlu kebesaran jiwa dan keahlian khusus, karena mereka tidak mau dibilang anak-anak tapi belum cukup matang disebut dewasa.”
“Hhmm… Saya mengerti, Pak,” Arjuna tersenyum tipis. “Belum lagi anak-anak yang bersikap sok jagoan,” gerutu Arjuna pelan.
Pak Slamet mengerutkan dahi, sesaat beliau tertawa lagi.
“Kamu pasti ketemu dengan Pricilla di bawah tadi, ya ?” Tanya Pak Slamet di sela tawanya.
Arjuna gantian mengerutkan dahi. Siapa pula Pricilla. Sepertinya ia hanya sempat berbincang dengan dua mahluk penghuni SMA dengan nama Cilla dan Jovan.
“Cilla, Pak Jun. Dia langganan terlambat dan tamu kehormatan ruang BK,” Pak Slamet tekekeh. “Anaknya pintar dan sebetulnya baik hati, hanya saja suka cari perhatian.”
“Repot kalau terlalu berlebih cari perhatiannya, Pak,” tanpa sadar, Arjuna mendengus kesal.
“Mungkin dia membutuhkan guru muda yang mengerti dirinya seperti kamu, Juna. Eh maaf, kamu nggak keberatan kan kalau saya hanya panggil nama.”
“Tidak apa-apa, Pak.” Arjuna tersenyum. “Saya malah senang, seperti berbicang dengan guru-guru SMA saya.”
Pak Slamet kembali mengganggukan kepala sambil tertawa. Arjuna ikut tertawa pelan.
Selesai berbincang Pak Slamet, Arjuna diminta menuju ruangan BK. Tepat saat itu terdengar bel panjang tanda istirahat berbunyi.
“Cari saja Bu Retno, bilang padanya kalau kamu disuruh sama saya mengikuti psikotes,” pesan Pak Slamet saat mengantar Arjuna sampai ke pintu.
Arjuna mengangguk dan pamit lalu keluar dari ruangan Pak Slamet. Pandangannya langsung disambut oleh riuhnya anak-anak yang mulai keluar untuk istirahat.
Arjuna menengok kiri kanan karena bingung ke arah mana dis harus berjalan. Saat melihat beberapa guru mulai berjalan ke arah ruang guru yang letaknya tidak jauh dari situ,, Arjuna sedikit bernafas lega.
Arjuna masih berdiri dekat pintu ruangan kepala sekolah. Dia yakin kalau Dono pasti akan melintaa di depannya juga. Tapi menghitung sampai guru kelimabelas, tidak ada tanda-tanda Dono akan melintas di situ. Arjuna pun berniat menuju ruang guru, dan mencari Dono sebelum bertemu dengan Ibu Retno.
Belum sampai langkahnya di depan pintu ruang guru, mahluk aneh yang berdebat dengannya tadi pagi, sudah berdiri sambil bertolak pinggang dan menatap tajam ke arahnya.
“Masih belum pulang, lo ?” Suaranya sedikit mengejek sambil mencibir pada Arjuna.
“Jaga kesopanan kamu, ya !” Sahutan Arjuna tersengar tegas. “Biar bagaimana saya ini calon guru kamu.” Arjuna pun membalas tatapan tajam Cilla.
Dan ternyata Cilla tidak sendirian. Ada dua siswi
lain yang langsung mendekatinya dan berdiri di belakang Cilla.
“Baru calon guru, kan ? Belum guru beneran ?” Cilla memajukan wajahnya mendekat ke arah Arjuna membuat pria itu tersentak kaget dan mundur dua langkah ke belakang.
Terdengar suara tawa sinis Cilla saat melihat wajah Arjuna dan tubuhnya yang langsung mundur.
Perdebatan itu tidak berlanjut lagi karena Dono menepuk bahunya dari belakang. Dia memberi isyarat pada Cilla untuk pergi.
Cilla dan kedua temannya pun mengerti dan membalikan badan mereka. Namun baru 3 langkah, Cilla yang jalan paling belakang, berhenti dan membalikan badan.
“Gue ganti doa biar elo diterima,” Cilla menyeringai. “Sepertinya menyenangkan juga punya lawan yang seimbang.” Cilla tertawa lau menjulurkan lidahnya sebelum meninggalkan Arjuna dan Dono.
“What ?” Arjuna terpekik pelan. “Lawan yang seimbang ? Mahluk aneh yang nggak punya sopan santun. Udah gue bilang kalau calon guru di sini, masih aja ngomong pakai gue elo,” dengus Arjuna dengan wajah sangat kesal.
Dono tertawa sambil menepuk bahunya.
“Jangan sebel-sebel apalagi benci sama Cilla, nanti malah benar-benar cinta. Apalagi dia gadis populer di sekolah.”
“Iya populer karena dia cari-cari perhatian melulu, kan ? Tadi Pak Slamet ada cerita sedikit sama gue tentang itu anak. Tapi gue yakin kalau tuh anak terkenal karena suka cari masalah.” Arjuna masih mengomel dan raut wajahnya masih terlihat kesal.
Dono tertawa melihat Arjuna jadi baper. Belum juga jadi guru dan bertemu dengan satu orang murid unik model Cilla. Bagaimana kalau Arjuna sudah resmi jadi guru dan menghadapi banyak anak lainnya yang semodel dengan Cilla ? Bisa-bisa Arjuna jadi lebih cepat terlihat tua.
“Habis ini elo disuruh ngapain ?”
“Ketemu Bu Retno, ikut psikotes.”
Belum sempat Dono melanjutkan obrolan mereka, guru perempuan yang tadi bertemu dengan Arjuna, langsung mendekat. Wajahnya terlihat malu-malu saat mulai berbicara dengan Arjuna.
“Pak Arjuna mau ikut psikotes ya ?” Suara mendayu bagaikan perempuan yang habis dirayu, langsung membuat Arjuna menghela nafas.
“Iya, Bu. Dengan Bu Retno, ya ?” Arjuna langsung menjawab dengan nada biasa dan berusaha tersenyum. Bu Retno bukan perempuan pertama yang tersipu-sipu saat berhadapan dengan mantan CEO tampan ini.
“Pak Arjuna boleh makan dulu, nanti jam 10 langsung ke ruangan saya. Di sana,” Bu Retno menggerakan badannya miring ke arah seberang mereka.
“Baik, Bu,” Arjuna masih bersikap sopan. Dalam hati dia merutuki Dono yang terlihat sedang senyum-senyum.
Bu Retno pun pamit menuju ke ruang guru masih dengan wajah tersipu-sipu.
“Selamat Bro,” Dono menepuk bahu Arjuna sambil terkekeh. “Belum juga resmi jadi guru, udah langsung dapat 2 ikan. Satu murid populer, satu lagi guru termuda.”
Arjuna hanya menggerutu dengan suara yang tidak jelas.
“Ayo makan, isi perut elo dulu. Jangan sampai pingsan dalam pelukan Bu Retno,” ujar Dono sambil tergelak.
“Sialan lo !” Omel Arjuna sambil mengikuti langkah Dono yang masih teetawa.
Menyadari kalau dirinya tampan dan banyak wanita berusaha mencari perhatiannya, bukan hal yang aneh bagi Arjuna mendapati wanita yang bersikap seperti Bu Retno di depannya.. Bukan hanya sekali dua kali Arjuna menghadapinya, dan baginya cuma Luna yang bisa bikin hatinya melehoy. Justru Pricilla, siswi yang menganggapnya sebagai lawan debat, adalah wanita pertama yang tidak berusaha mencari perhatiannya apalagi bersikap malu-malu.
Memikirkan soal wanita, Arjuna jadi rindu pada Luna. Hitungannya sudah seminggu sejak pesannya tidak terbalas, hanya dibaca saja.
“Apa kamu nggak kangen sama aku, Luna ?” Batin Arjuna.