Diambang putus asa karena ditinggal sang kekasih saat hamil, Evalina Malika malah dipertemukan dengan seorang pria misterius. Adam Ardian Adinata mengira gadis itu ingin loncat dari pinggir jembatan hingga berusaha mencegahnya. Alih-alih meninggalkan Eva, setelah tahu masalah gadis itu, sang pria malah menawarinya sejumlah uang agar gadis itu melahirkan bayi itu untuknya. Sebuah trauma menyebabkan pria ini takut sentuhan wanita. Eva tak langsung setuju, membuat pria itu penasaran dan terus mengejarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Pertengkaran
Tak lama ia berbalik. Ia menatap Eva dari bawah yang sedang fokus membaca bukunya. Sayang sekali Eva sedang ujian, kalau tidak, pasti ia akan menuntut lebih. Ia sedang ingin diperhatikan dan dimanja. Apa ia harus mengatakannya? "Eva."
"Mmh?"
"Tolong dong, bantu aku usap-usap kepalaku." Adam tak tahan dan terpaksa merengek.
Eva mengangkat bukunya dan melihat ke bawah. Bulu matanya terlihat panjang bila melihatnya dari bawah. "Apa, Sayang?"
"Kenapa kamu tiba-tiba panggil aku "Sayang"?" Walaupun begitu Adam senang sebetulnya, hingga menerbitkan senyuman.
"Kenapa? Gak boleh?"
"Boleh. Malah suka." Senyumnya makin menawan di wajah tampannya.
Eva memperhatikan suaminya. "Apakah semua laki-laki seperti ini? Setelah menikah, segala sifat angkuh dan sombongnya itu hilang dan berganti menjadi kekanak-kanakan? Oh, bukan jadi anak kecil lagi tapi jadi kucing kecil, tepatnya." "Jadi mau apa tadi? Usap kepala?"
"Kamu ternyata pendengar yang baik." Adam mengiyakan. "Kalau tidak mengganggu, tolong usap-usap kepalaku sebentar," pintanya lagi.
"Bener ... seperti kucing kecil yang ingin dimanja." Eva kemudian mengusap-usap pelan kepala suaminya sambil tangan yang satu lagi memegang buku dan kembali membaca. Sesekali tangan itu berhenti demi untuk membalikkan halaman buku yang dibacanya.
Adam memperhatikan lagi wajah istrinya. Sentuhan lembut di atas kepala membuat ia mulai mengantuk. Ia semakin menikmati usapan lembut sang istri. Pria itu kemudian berbalik dan memeluk pinggang Eva sambil membenamkan wajahnya di perut sang istri.
Tentu saja Eva terkejut. "Mas?" Ia menunduk sambil mengangkat bukunya begitu sadar sang suami menempelkan wajahnya di sana. "Kamu ngapain?"
"Terusin, enak. Sekarang belakang kepalaku." Saat bicara, mulut Adam bergerak-gerak di perut Eva hingga membuat gadis itu kegelian.
"Mas! Jangan bicara di perutku, geli!" Eva berucap setengah menahan geli sambil terkekeh.
"Eh, iya, maaf." Adam menoleh. Ia menunjuk belakang kepalanya. "Lagi, di sini." Kembali ia menenggelamkan wajahnya.
Eva hanya geleng-geleng kepala. Namun, ia mengikuti permintaan Adam. Sebentar kemudian pria itu tertidur. Eva kini malah bingung karena ia ingin ke toilet. Ia terpaksa membangun "bayi besar" yang sedang tidur nyenyak di pangkuannya itu. "Mas ...." Eva menepuk-nepuk bahu suaminya. "Mas."
Adam mengeliat. Ia berbalik dan menatap istrinya. Matanya menyipit karena menatap langsung ke arah lampu di atas ruangan yang cahayanya menyilaukan mata. "Apa?"
"Aku mau ke kamar mandi."
"Oh, sebentar." Adam berusaha duduk hingga Eva bisa berdiri. Setelah itu ia kembali membaringkan tubuhnya di atas sofa tanpa memperhatikan lagi ke mana istrinya pergi. Sepertinya ia sudah sangat mengantuk hingga Eva keluar dengan hati-hati.
Untuk beberapa saat Adam menyadari sang istri tak kembali. Ia merasa heran. Ternyata, biar mengantuk, Adam menantikan Eva. Pria itu kemudian kembali duduk dan terdiam sejenak.
Ini sudah malam. Ke mana istrinya pergi? Apa kembali ke kamar? Ia menoleh ke arah meja kerja di mana beberapa buku kuliah Eva masih menumpuk di sana. Eva akan kembali, 'kan?
Adam pun bangun dan pergi keluar ruangan. Belum sempat ia ke kamar mandi yang letaknya dekat dengan ruang tamu, ia mendengar derai tawa dari arah dapur. Ia pun penasaran dan melangkah ke sana.
Ternyata di dapur masih ada orang yang sedang masak. Eva ternyata tengah mengobrol dengan Chef Aldi sambil makan sesuatu.
"Eva?"
Eva dan chef Aldi menoleh. Gadis itu menggerak-gerakkan tangannya memanggil sang suami. "Sini, Mas. Makan pisang goreng, yuk!"
"Pisang goreng?" Mata Adam seketika melebar. Ia mendatangi meja mereka.
"Iya, aku lapar, padahal aku belum selesai belajar. Untung chef Aldi mau buatin pisang goreng. Mau gak, Sayang?"
Chef Aldi tersenyum ketika Eva memanggil suaminya, "sayang". Ia segera berdiri dan memberi mereka ruang.
"Mau dong! Aku jadi lapar nih." Adam mengusap perutnya dan langsung menarik kursi yang berada di samping sang istri. "Sekalian teh hangatnya ya, chef. Tawar aja," ucapnya pada Aldi.
"Ok, siap." Chef Aldi kemudian meletakkan secangkir teh di hadapan Adam yang sedang asyik makan pisang goreng buatannya. "Oke, Pak. Sudah malam, Saya pamit tidur."
"Mmh."
"Enak 'kan, Mas?" Eva mengambil kembali satu potong pisang goreng di atas piring besar dan mengigitnya.
"Ini makanan sederhana yang enak di makan untuk teman minum teh."
"Jangan bilang sederhana. Ini cukup ngenyangin lho!"
Adam memperlihatkan giginya. "Suka-suka kamu aja. Aku ikut senang bisa makan ini sama kamu."
"Sudah badmood-nya?" Eva memperhatikan lagi wajah suaminya. Sepertinya pria itu sudah kembali seperti sedia kala.
"Mmh, lumayan. Kamu habis ini, masih belajar?"
"Iya, Mas. Soalnya aku anak baru jadi materinya masih banyak yang belum tau. Setidaknya bisa menguasai 70 persen saja dari yang ada, baru aku bisa bernapas lega."
"Tapi jangan terlalu malam ya. Mas nanti kembali ke kamar, soalnya."
"Iya, Mas. Mudah-mudahan cepet selesainya."
***
Ini untuk pertama kalinya Hana masuk ke gedung itu. Langit-langitnya tinggi dan ruangannya luas.
"Iya, Bu?" Sapa seorang resepsionis yang ia datangi.
"Bisa bertemu dengan Pak Adam?"
"Direksi?"
"Iya."
"Sudah bikin janji?"
"Belum."
"Maaf, Bu, tidak bisa. Ibu harus buat janji dulu."
"Tapi Saya temannya sekaligus dosen istrinya."
"Tetap tidak bisa. Ibu harus buat janji," ucap resepsionis dengan sopan.
"Tapi Saya tidak punya nomor teleponnya yang sekarang."
"Maaf ya, Bu. Itu bukan masalah Saya. Saya tidak bisa membantu."
Hana menghela napas. Seharusnya tadi sebelum ke kantor Adam, ia minta nomor telepon Eva agar ia bisa minta gadis itu menghubungi suaminya. Kalau begini 'kan jadi susah. Ia mengusap perutnya yang sudah cukup besar itu pelan. "Padahal aku mau minta dia menjadi tamu untuk kelas bisnis manajemen," ucapnya bermonolog.
"Kalau gitu ditulis aja, Bu. Nanti Saya tinggal sampaikan."
"Tapi aku gak bawa kertas dan pulpen."
"Ada nih, Bu." Resepsionis itu memberikan selembar kertas dan pulpen ke hadapan Hana.
Dengan menepis rambut panjangnya ke samping, ia kemudian menuliskan pesan untuk Adam beserta nomor teleponnya. Setelah itu menyerahkannya pada sang resepsionis. "Jangan lupa berikan ya, soalnya Saya butuh jawabannya segera."
"Iya, Bu."
***
"Kamu lihat anak kita, Lindon. Dia bahagia bersama Garan. Kurang apalagi anak itu bagimu, hah? Uang tidak bisa membeli cinta dan kebahagiaan. Kamu sendiri yang selama ini mengejarnya, apa yang sudah kamu dapatkan?" Reika, ibu Shanti yang duduk di hadapan Lindon, menatap ke arah yang sama dengan mantan suaminya. Mereka sedang memperhatikan meja di seberang di mana Shanti bertemu Garan, dan terlihat bisa mencurahkan seluruh isi hatinya pada pria itu, yang begitu perhatian mendengar keluh kesahnya.
"Ini karena rencananya gagal saja," kilah Lindon.
Mata Reika melotot. "Apa kamu tidak kapok juga, heh? Mau berapa lama lagi kamu di penjara agar kamu sadar? Apa kamu tidak tahu, fitnah kejimu itu sudah memakan korban?"
Lindon tertunduk. "Aku tidak ada niat untuk membunnuhnya. Aku hanya ingin orang tua Adam berpisah."
Reika gemas hingga mendorong kasar kepala bule itu dengan telunjuknya. "Dan kamu masih berpikir itu tidak salah!? Kapan kamu sadarnya, hah!? Kalau ingin kaya, ya harus kerja keras!"
Lindon langsung menangkap telunjuk Reika dengan wajah kesal. "Sudah aku bilang, aku tidak suka kamu mendorong kepalaku seperti tadi."
Bersambung ....
dari pada dimarahi Adam lebih bagus kasi tau😆