Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 35: Hilya Melihat Sesuatu
Malam itu dia sepetinya enggan untuk pulang. Tara tidak bisa memperlihatkan sisinya yang seperti itu kepada Hilya. Ya, saat ini dia amat sangat marah. Nyawanya terancam hanya karena sebuah lukisan. Berkali-kali dia mengutuk Romario yang memberinya wasiat seperti ini. Tapi setelah emosinya meluap dia beristigfar, memohon ampun atas tidak terkendalinya amarahnya.
Akhirnya Tara pulang juga di saat jam sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Ia berjalan pelan masuk ke dalam kamar, dan tidak ia duga Hilya sudah duduk diatas sajadahnya sambil memutar tasbih. Sedangkan bundanya, sudah tidak ada di kamar itu.
" Mas, baru pulang?" ucap Hilya saat melihat Tara duduk di ranjang.
" Iya, maaf ya aku pergi nggak bilang kamu."
Hilya tersenyum lalu menganggukkan kepala. Meskipun Hilya tidak tahu apa urusan yang membuat suaminya harus pergi malam-malam dan baru kembali pada dini hari, tapi dia tetap percaya bahwa hal itu pasti penting. Ia ingat waktu itu Tara pernah mengatakan bahwa banyak hal yang harus diselesaikan makanya kepulangannya ke Jakarta terkesan buru-buru.
" Tidurlah Mas, pasti Mas capek."
Tara bergeming mendengar suara Hilya yang lembut. Ia bangkit dari duduknya dan memeluk Hilya. Ucapan maaf kembali ia lontarkan dari bibirnya, ia sungguh merasa bersalah karena pergi tanpa pamit.
" Mas, aku nggak apa-apa. Aku tahu Mas pasti nggak tega bangunin aku, makanya Mas sampai minta Bunda buat tidur di sini nemenin aku karena Mas takut aku nyariin Mas kan? Dan Mas, aku nggak akan ngekang kamu. Aku bukan tipe wanita yang rewel yang harus tahu kemanapun suamiku pergi, semua itu karena aku percaya sama kamu Mas. Soalnya kamu pernah bilang kan kamu ada urusan mendesak, jadi apapun yang sedang kamu lakukan pasti terkait urusan itu. Dan aku, cuma bisa doain supaya semua urusanmu dimudahkan."
Tara tergugu mendengar setiap ucapan dari Hilya yang benar-benar terasa menyejukkan. Sekarang dia sungguh merasa cintanya terhadap Hilya semakin bertambah.
" Nggak sayang, doamu sungguh berarti buatku. Tunggu ya, tunggu aku selesein semuanya. Dan aku minta kamu tetap percaya padaku seperti apa yang kamu katakan tadi. Apapun yang kami dengar diluar jangan percaya jika bukan keluar dari mulutku sendiri."
Hilya yakin ada maksud dari ucapan suaminya. Meskipun saat ini belumlah terlihat apa itu, tapi ia yakin kata-kata untuk dia percaya akan membuatnya mengerti.
Masih ada waktu sebelum adzan subuh berkumandang. Hilya meminta Tara untuk tidur sejenak. Ia melihat wajah suaminya yang kuyu dan matanya yang begitu lelah. Hilya merasa tidak tega. " Pasti apa yang saat ini sedang dilakukin sulit dan nguras tenaga. Tidurlah Mas, semoga urusanmu segera selesai, aamiin."
Tidak sampai lima menit, Tara sudah terlelap. Hilya mengusap lembut wajah suaminya itu. Sebenarnya ia ingin menemani Tara, tapi ada hal lain yang ingin Hilya kerjakan.
Ia menggeser duduknya menjadi lebih maju ke sisi depan ranjang. Dari kemarin, dia penasaran dengan lukisan yang dibawa suaminya. Ia merasa pernah melihat tempat itu, tapi entah dimana.
Ingin melihat lebih jelas, Hilya berdiri, menarik kursi dan naik kesana untuk melihat lukisan itu dari dekat. Ia mengamati setiap detail dari lukisan tersebut. Dirinya bukanlah seorang pengamat seni, dia juga tidak begitu paham dengan seni, namun dia merasa bahwa lukisan itu seperti ada sesuatu yang lain.
Hilya kemudian mengambil ponselnya dan menyalakan senter di sana. Pencahayaan yang hanya remang-remang dikamar tentu tidak akan sempurna untuk bisa mengamati si lukisan.
" Apa ini ya, kok kayak ada tulisan berbayang di belakangnya. Kalau emang Mas Tara yang lukis, seharusnya dia tahu tentang itu. Coba nanti aku tanyain kalau udah bangun."
Hilya kembali turun darai kursi. Sambil menunggu adzan subuh, ia memilih untuk pergi ke dapur. Dan sesuai dugaan bahwa saat ini ibu mertuanya sudah ada di sana.
" Pagi Bund."
" Aah pagi sayang, ini masih terlalu pagi. Kok udah bangun, apa jangan-jangan kamu nggak tidur lagi ya habis sholat malam tadi. Lalu Tara?"
" Iya Bund, mau tidur lagi nanggung juga. Di rumah juga gitu kok, Ehmm Mas Tara baru aja tidur."
Kaluna tersenyum simpul, ia melihat istri dari putra sulungnya sungguh pengertian. Kaluna bersyukur akan hal itu.
Hari ini baik Yasa maupun Visha ingin membawa bekal untuk makan siang dan juga camilan. Jika Yasa sedang banyak pekerjaan hingga sore maka Visha tengah mempersiapkan skripsi lebih awal. Ya Visha mengambil semester pendek. Dia benar-benar yang paling mirip dengan sang ayah.
" Iihh kok aku nggak diajak sih."
Tap tap tap
Visha yang baru bangun protes karena dirinya telat bergabung. Meskipun keluarga Dwilaga bisa dibilang keluarga yang punya banyak materi, namun kehidupan mereka sederhana. Tidak ada asisten rumah tangga di rumah mereka. Biasanya hanya ada orang bantu-bantu untuk membersikan rumah dan mencuci pakaian, tapi itu pun tidak datang setiap hari. Biasanya 2 kali dalam seminggu.
Ini malah menjadi hal yang menyenangkan bagi Hilya karena dia bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Awalnya dia sudah merasa bingung jika di rumah mertuanya tidak ada yang bisa ia lakukan.
Adzan subuh berkumandang, semua wanita kembali ke kamar mereka. Jika Visha bersiap sendiri, maka Kaluna dan Hilya harus lebih dulu membangunkan suami mereka untuk menjalankan kewajiban 2 rakaat.
" Mas, bangun dulu yuk. Subuhan, nanti kalau masih lelah Mas tidur lagi juga ndak apa."
Greb
Bukannya bangun, Tara malah menarik tubuh Hilya sehingga jatuh ke dalam pelukannya. Ia memeluk istrinya itu dengan sangat erat.
" Ughhh, rasanya capek banget," ucap Tara. Suara serak khas bangun tidur sedikit membuat Hilya merasa geli karena Tara berbicara tepat di sebelah telinganya.
" Nanti aku pijitin mau, tapi ayo bangun dulu."
Sraaak
Tara langung bangun dari posisi tidurnya. Ia mengangguk-anggukan kepalanya. Aaah inilah kenikmatan menikah, ada yang bisa membantunya meregangkan otot-otot yang kaku plus dapat sentuhan lembut, begitulah isi kepala Tara.
Hilya terkekeh geli, suaminya itu padahal baru saja mengeluh lelah, tapi tidak lama kemudian ia terlihat begitu bersemangat hanya karena akan dipijat.
Sebuah ruangan yang difungsikan untuk tempat ibadah di kediaman itu sudah dipenuhi oleh anggota keluarga Dwilaga. Mereka berlima tengah menjalankan kewajiban mereka sebagai umat beragama. Ibadah dilakukan secara khusyu dan tenang, lantunan ayat suci menggema karena suasana pagi masih begitu sunyi.
Salam tanda berakhirnya sholat diucapkan. Untaian doa di sebutkan dengan setulus hati agar sampai kepada Sang Pencipta.
" Nah, sekarang ayo pijitin Mas."
" Eh?"
Wajah Hilya memerah, Tara mengatakan hal tersebut ketika kedua orang tua Tara masih ada di dekat mereka. Sungguh ia tidak mengira suaminya sefrontal itu. Meskipun itu sah-sah saja tapi tetap Hilya merasa sangat malu.
" Bang, jangan ngerjain istrimu begitu."
" Bukan ngerjain Yah, tapi sedang membukakan pintu surga, kan ibadah."
Yasa langung melihat ke arah istrinya dengan tatapan yang bermakna ' kok anakmu jadi begitu?' Kaluna hanya tertawa sja melihat raut wajah suaminya. Terlebih saat Hilya sudah dibawa masuk ke dalam kamar.
" Bener-bener deh anak itu." Yasa menggeleng-gelengkan kepala melihat perubahan sikap putra sulungnya. Ini benar-benar sisi lain dari Tara yang belum pernah Yasa lihat.
" Biarin, namanya juga masih newbie. kamu nggak inget gimana kamu dulu."
" Eh."
Ucapan Kaluna membuat Yasa seperti ditampar fakta. Merasa gemas dengan istrinya, ia pun mengangkat tubuh Kaluna sehingga membuat Kaluna terkejut.
" Mas mau apa?"
" Mengenang saat aku masih newbie."
" Ini udah terang."
" Nggak masalah., seronde masih aman."
TBC