Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi itu rumah keluarga Dinata masih terasa sunyi. Matahari baru naik, sinarnya mengintip lewat celah jendela ruang tengah. Bekas tahlilan semalam sebagian sudah dibereskan, hanya ada gelas kosong dan karpet yang belum digulung.
Zhea berdiri di dekat pintu, menggendong Zheza yang masih setengah mengantuk. Tasnya sudah diselempangkan, wajahnya lelah namun mantap. Ia sengaja tidak membuat suara terlalu keras. Ia tahu Zavier masih tertidur di kamar setelah semalam marah-marah.
Langkah Rindu dari arah dapur terdengar lembut. "Zhea ... kamu mau pulang sekarang, Nak?"
Zhea tersenyum kecil, tapi matanya tampak cemas. "Iya, Ma. Maaf buru-buru. Aku harus pulang pagi ini."
Arin muncul tak lama kemudian, rambutnya masih acak-acakan. "Kak Zhea mau pulang? Kok cepat banget? Nggak sarapan dulu?"
Zhea menggeleng sambil merapikan selimut kecil Zheza. "Nggak usah, Rin. Terima kasih. Kakak benar-benar harus pergi."
Arin mendekat, memegang lengan Zhea. "Jangan pulang dulu, Kak ... tolong. Kakak pasti capek. Istirahat di sini aja dulu." Nada Arin terdengar memohon. Ia jelas tidak mau Zhea pergi dalam keadaan seperti ini.
Zhea terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Rin ... Ma ... aku harus ketemu sama pengacara pagi ini. Ada banyak hal yang aku ingin bicarakan dengan pengacara mengenai perceraianku dan Zavier."
Rindu mengerutkan dahi. "Pengacara? Kok mendadak banget?"
Zhea menatap keduanya bergantian, lalu berkata dengan suara pelan tapi tegas, "Nggak mendadak, Ma. Aku dan pengacaraku udah janjian dari kemarin siang. Dan pengacaranya minta aku datang pagi ini."
Arin langsung menggeleng keras. "Kak! Tapi sekarang kita lagi berduka. Apakah tidak bisa perceraiannya ditunda--"
Zhea mengangkat tangan halus, menghentikan. "Nggak bisa, Rin. Semakin lama ditunda ... semakin ribet nanti."
Ada keheningan beberapa detik. Zhea menatap Zheza yang mulai bergerak dalam pelukannya, lalu lanjut berkata lebih lirih, "Aku juga harus serahkan semua bukti perselingkuhan Zavier dan Elara ke pengacara."
Rindu terkejut. Arin membeku di tempatnya.
"Kamu ... kamu yakin, Nak?" Suara Rindu pecah, bukan karena marah, tapi sedih melihat rumah tangga anaknya makin berantakan. "Mama kira karena kepergian Papa ... kamu dan Zavier bisa baikkan?"
Zhea menelan ludah. "Yakin, Ma. Itu mustahil. Tujuan hidup kita sudah berbeda. Selingkuh adalah kesalahan yang tak bisa kumaafkan."
Arin memejamkan mata, menahan emosi. "Kak ... aku tahu Kak Zavier salah. Tapi apa harus sekarang banget?"
Zhea mengangguk pelan. "Iya. Harus sekarang."
Rindu akhirnya menghela napas panjang, seolah menyerah pada kenyataan. "Kalau itu memang yang terbaik buat kamu dan Zheza ... Mama nggak akan melarang."
Arin menggigit bibir, lalu memeluk Zhea erat. "Aku berharap Kak Zhea selamanya jadi kakak iparku, tapi takdir berkata lain. Semoga proses perceraiannya berjalan lancar ya, Kak. Hati-hati ..."
Zhea tersenyum tipis sambil membalas pelukan itu. "Kamu juga, Rin. Jaga Mama."
Setelah itu, ia merapikan posisi Zheza, membetulkan tasnya, dan membuka pintu dengan hati yang berat.
Sebelum melangkah keluar, Zhea sempat melirik ke arah koridor, ke kamar Zavier yang masih tertutup rapat.
Tanpa suara, ia membatin. "Selamat tinggal keluarga Dinata. Terima kasih untuk lima tahun ini. Terima kasih Mama Rindu, Arin dan ... terima kasih Papa Soni. Semoga Papa bahagia di alam sana. Aku pamit, aku ingin memulai kehidupanku yang baru."
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan rumah itu dengan tekad yang lebih kuat daripada lukanya.
Cahaya pagi menerobos masuk lewat tirai kamar, membuat Zavier mengerjapkan mata. Kepalanya berat ... bekas emosi semalam masih tersisa. Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipis.
"Zhea ...?" gumamnya refleks. Biasanya di rumah mereka, Zhea masih ada di sampingnya dan Zheza tertidur di boks bayi. Tapi semua ingatan itu kini tinggal kenangan.
Zavier bangkit dan keluar kamar, langkahnya tergesa. Ia memanggil lagi, sedikit lebih keras.
"Zhea?"
Tak ada jawaban.
Ketika ia sampai di ruang tengah, ia mendapati Rindu sedang berdiri mematung menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Wajah ibunya masih sembap, tapi rautnya lebih tenang dibanding semalam.
"Ma," panggil Zavier langsung, tanpa basa-basi. "Zhea mana? Zheza mana?"
Rindu berhenti melipat, menatap anaknya perlahan."Mereka sudah pulang."
Zavier mengerutkan dahi, wajahnya langsung berubah. "Pulang? Kapan? Kenapa nggak bangunin aku?"
Rindu menarik napas panjang. "Dua puluh menit yang lalu. Memangnya kalau Mama bangunin kamu ... kamu mau ngapain sama Zhea?" Pertanyaan dibalas pertanyaan. Membuat Zavier mendengus pelan.
Suasana sunyi menerpa.
Sampai akhirnya Arin muncul dari dapur dengan gelas di tangan. "Ma, ini minum ..." Ia berhenti berkata ketika melihat Zavier berdiri gelisah. "Kakak kenapa? Gelisah bener," tanya Arin kesal.
Zavier menggigit bibir, lalu akhirnya berkata dengan suara serak tapi memaksa tenang, "Ada satu hal yang harus kalian tahu."
Rindu menatap putranya, firasat buruk menyelusup. "Apa?"
Zavier menarik napas panjang, lalu mengembuskannya cepat. Seperti ingin segera menuntaskan bom yang ia simpan. "Ma ... Arin ... minggu depan ... aku mau menikah sama Elara."
Keheningan menghantam ruangan.
Gelas di tangan Arin hampir jatuh.
Rindu berdiri mematung.
Kata menikah bergema di udara.
Rindu memegang dadanya, wajahnya langsung pucat. "Za ... Zavier ... kamu bilang apa barusan?"
"Aku mau menikah sama Elara," ulang Zavier, lebih keras seolah ingin terdengar yakin. "Seminggu lagi."
Arin membanting gelas ke meja, air tumpah ke mana-mana dan pecahannya bertebaran. "Kakak bener-bener udah gila!" bentaknya.
Zavier mundur selangkah, kaget. "Arin ..."
Arin sudah berjalan cepat dan mendorong dada kakaknya keras. "Baru sehari Papa meninggal! Rumah ini lagi berduka! Kakak juga belum resmi bercerai dari Kak Zhea! Terus Kakak dengan entengnya ngomong mau nikah sama si ember buluk itu?! Oh ... ini sungguh gila!" Arin tertawa sumbang di akhir ucapannya.
"Arin, lanca--"
"Tutup mulutmu, Kakak!" Arin meledak. "Kakak bener-bener nggak punya hati! Pantesan Kak Zhea ingin buru-buru bercerai dari Kakak ..." Arin menyesal karena tadi sempat meminta Zhea untuk menunda perceraian dengan Zavier.
Zavier memutar wajah, mencoba menahan emosi, tapi Arin kehilangan kendali.
Ia memukul dada Zavier, berkali-kali, meski tenaganya tak seberapa. "Kakak egois! Egois! Kakak jahat!"
"Arin, berhenti!" Zavier menahan tangan adiknya.
"Enggak mau!" Arin menjerit, air matanya turun. "Kak Zhea pergi sambil gendong Zheza, dan Kakak bangun-bangun malah mengumumkan mau nikah sama perempuan yang hancurin rumah tangga kalian?! Ini bener-bener menyakitkan! Menyakitkan!"
Rindu tiba-tiba terduduk di kursi, kulitnya pucat. Tangannya gemetar memegangi dahi.
"Ma ..." Arin segera berlari ke ibunya. "Mama kenapa?!"
Rindu mengipas wajah dengan tangan yang gemetar. "Mama ... pusing ... mata Mama berkunang-kunang ..."
Zavier panik, langsung mendekat. "Ma ... Mama duduk dulu! Tarik napas!"
Rindu menatap Zavier dengan mata merah dan kecewa yang begitu dalam. "Zavier ..." Suaranya hampir hilang. "Apa kamu sudah tidak punya hati? Papamu baru dikubur kemarin. Kita semua masih berduka, tapi kamu ..." Air mata Rindu jatuh. "Kamu malah mau menikah dengan pelakor itu ..."
Zavier terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara.
Arin memegang tangan ibunya erat-erat. "Ma, jangan pikirin Kak Zavier. Biar dia hancur sama pilihannya sendiri."
Zavier menatap keduanya ... ibunya yang gemetar dan hampir pingsan, serta adiknya yang menatapnya seperti musuh.
Zavier menggeram pelan, rahangnya mengeras. "Sudahlah! Kalian selalu menyalahkanku. Tidak ada satu pun dari kalian yang mau mengerti aku!" bentaknya sambil menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja.
Arin yang masih terisak memelototi kakaknya. "Kakak memang salah! Keterlaluan! Kakak nggak punya hati!"
Rindu terhuyung, harus berpegangan pada sofa agar tidak jatuh. "Zavier ... Mama mohon ... tolong pikirkan lagi semuanya dengan kepala dingin dan baik-baik. Mama tidak mau punya menantu seperti Elara! Mama tidak akan merestui pernikahanmu!"
Ucapan itu membuat Zavier memejamkan mata sejenak. Ada rasa menusuk, tapi ia menepisnya cepat-cepat. "Keputusanku sudah bulat. Aku akan menikahi Elara."
"Kakak bener-bener udah nggak waras!" teriak Arin murka.
Zavier mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak berteriak balik. Semua kata-kata itu menusuk ego dan kepalanya yang sejak kemarin penuh tekanan. "Aku udah bilang," katanya dengan suara gemetar menahan marah, "Ini hidupku, ini pilihanku. Elara selalu mengerti aku. Dia selalu ada buat aku. Dia nggak kayak Zhe--"
"Cukup Kak!" Arin memotong, air matanya makin deras. "Kakak benar-benar bukan Zavier yang aku kenal dulu ..."
Suasana rumah menjadi sunyi mencekam.
Zavier menarik napas panjang, lalu membuangnya dengan kasar. "Terserah! Aku capek sama semua ini. Sama kalian yang cuma bisa menghakimi. Kalau memang nggak ada yang mau dukung aku, ya sudah." Ia melangkah cepat menuju pintu, membuka dengan hentakan.
"Zavier!" Rindu memanggil, suaranya serak penuh ketakutan. "Jangan pergi! Mama belum selesai bicara!"
Namun Zavier tidak menoleh. Tidak sekali pun.
Ia menutup pintu keras-keras, hingga seluruh rumah bergetar.
Di dalam, Arin langsung menangis tersungkur dalam pelukan Rindu.
Sementara di luar, Zavier berjalan menuju mobilnya dengan napas memburu ... antara marah, bingung, dan luka yang ia tutupi dengan ego.
Ia menyalakan mobil dan melesat pergi, seolah meninggalkan semua beban itu di belakang ... padahal tidak satu pun benar-benar pergi dari dirinya.
Zavier tiba di apartemen Elara, bahunya tegang, wajahnya masih membawa sisa amarah dari rumah. Ia mengetuk pintu dengan kasar. Tak butuh waktu lama sampai Elara membukanya.
"Babe?" Mata Elara membesar, terkejut melihat wajah kekasihnya yang kusut.
Tanpa menjawab, Zavier langsung menariknya masuk dan menutup pintu dengan hentakan. Napasnya berat. Elara menatapnya, bingung sekaligus khawatir. "Kamu kenapa?" tanyanya pelan, menyentuh lengan Zavier.
"Aku capek ..." suara itu pecah, bukan sedih, tapi benar-benar lelah dan marah. "Mama dan Arin nggak ada yang ngerti aku. Nggak ada satu pun."
Elara mendekat, kedua tangannya naik ke wajah Zavier. "Aku di sini. Aku yang ngerti kamu. Kamu cuma punya aku," bisiknya lembut.
Kata-kata itu seperti bensin yang disiram ke api dalam diri Zavier. Ia memeluk Elara dengan kasar, seolah ingin melupakan semua yang menyesakkan dadanya.
Elara membalasnya tanpa ragu, memeluk tengkuk Zavier dan menuntunnya ke dalam. "Babe ... lihat aku." Elara menyentuh pipi kekasihnya, matanya menatap penuh kemenangan dan kepemilikan. "Aku milik kamu. Dan minggu depan ... kamu resmi jadi milik aku."
Zavier menunduk, mencium bibir Elara dengan penuh emosi. Ciumannya bukan kasih sayang ... tapi pelarian, kemarahan, dan rasa ingin membuktikan sesuatu.
Elara menariknya menuju kamar, jemarinya saling terkait dengan tangan Zavier. "Mari kita lanjutkan kegiatan kemarin yang tertunda."
Lampu kamar meredup saat pintu tertutup di belakang mereka.
Pakaian keduanya sudah berjatuhan ke lantai. Dan selanjutnya ... yang terdengar hanya napas terputus-putus, bisikan-bisikan Elara yang memanjakan ego Zavier, dan bagaimana pria itu semakin tenggelam dalam pelarian yang ia kira adalah kebahagiaan.
Di luar jendela, matahari mulai naik. Dan Zavier tidak menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil ... membuatnya semakin jauh dari dirinya sendiri.
"Ela ... ohh ... Ela ..." Zavier menggeram rendah, menarik turunkan pinggang Elara yang berada di atasnya.
"Aku di sini, Babe. Aku selalu ada di sisimu. Menemanimu dalam suka mau pun duka." Gerakan Elara makin menjadi, membuat Zavier mendesah kencang dan terus menggaungkan nama 'Elara'.
____
Zhea menarik napas panjang, lalu membuangnya secara perlahan.
Aktivitas itu ia lakukan beberapa kali sebelum membuka laptopnya kembali.
Laptop yang berisi file-file kegiatan panas Zavier dan Elara. Ia membukanya bukan tanpa alasan, melainkan untuk memeriksa file itu sebelum diperlihatkan kepada pengacaranya.
"Huuhhh ..." Layar laptop yang tadinya gelap, kini berubah menjadi cerah. "Ya ampun ... aku lupa mengambil kembali tiga kamera tersembunyi yang kupasang di ruangan Zavier," gumamnya baru teringat akan hal itu.
Tiba-tiba, ia teringat pada kematian ayah mertuanya. "Aku jadi penasaran ... kata Arin, Papa meninggal karena jatuh di kantor. Aku ingin melihat detail kejadiannya." Zhea pun mulai masuk untuk melihat rekaman kamera tersembunyi yang belum sempat ia ambil lagi.
"Ini dia ..." Zhea memfokuskan tatapannya pada layar laptop miliknya yang tengah menampilkan almarhum ayah mertuanya yang baru masuk ke ruangan direktur utama alias ruangan Zavier.
Tanpa terasa, air matanya meleleh melihat adegan demi adegan itu.
Di tengah rasa sedih itu, dua sosok yang paling ia benci muncul. "Itu kan ... Zavier dan Elara? Eh ... ternyata sebelum meninggal, Papa dan Zavier sempat bersitegang." Zhea terus bermonolog, tanpa mengalihkan pandangan.
Hingga adegan pertengkaran itu usai, Zavier dan Elara keluar, menyisakan Soni yang tertunduk lesu di sofa.
Zhea tak jemu memperhatikan aktivitas Soni, hingga malam pun tercipta di layar laptop itu dan ... "Loh, mau ngapain Zavier balik lagi?" Kening Zhea mengernyit. "Eh ... mereka bertengkar lag-" Jantung Zhea seketika berhenti berdetak, napasnya tertahan di paru-paru. Tubuhnya gemetar dengan mata melotot dan mulut yang menganga lebar. "P-Pa-Pa ... Z-Zavier ..."
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir