NovelToon NovelToon
Bos Jutek Itu Suamiku

Bos Jutek Itu Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duda / CEO / Berbaikan
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Edelweis Namira

Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.

Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.

Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?

Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BERTEMU TAK BERSAPA

Arsal mengusap wajahnya dengan kasar, lalu melirik jam di nakas. Pukul setengah tujuh. Ia memang tidak kesiangan, tapi tetap saja, ini lebih lambat dari biasanya. Biasanya, sebelum alarm berbunyi pun ia sudah bangun. Tapi semalam pikirannya terlalu sibuk.

Bayangan Ayra yang tertawa ringan, tatapannya yang penuh keisengan saat melihat Kalya, dan cara gadis itu menghadapi putrinya yang jutek, semua itu terus berputar di kepalanya.

Arsal menghela napas panjang. Kenapa justru Ayra yang muncul dalam hidupnya lagi setelah sekian lama? Dan kenapa pertemuan singkat itu cukup mengusik ketenangannya?

Tiba-tiba suara pintu diketuk dengan keras.

"Papa! Bangun! Aku lapar!"

Arsal menutup mata sejenak, lalu bangkit dari ranjangnya. Seperti yang ia duga, begitu pintu dibuka, Kalya sudah berdiri dengan tangan di pinggang dan ekspresi tidak sabarnya.

"Kita sarapan di luar?" Kalya bertanya, alisnya sedikit berkerut.

Arsal mengangkat alis. "Kenapa mau sarapan di luar?"

Kalya menatapnya penuh tuduhan. "Karena Papa telat bangun. Kalau masak sekarang, aku keburu mati kelaparan."

Arsal terkekeh kecil, lalu mengacak rambut putrinya yang panjang. "Kasihan sekali. Oke, kita sarapan di luar. Tapi cepat siap-siap."

Kalya langsung berbalik dan lari ke kamarnya. Sambil menutup pintu, Arsal tersenyum kecil. Sejujurnya, tidak ada bagian dari Kalya yang benar-benar mewarisi dirinya secara fisik. Tapi kalau soal sikap, bocah itu benar-benar duplikatnya.

Arsal langsung bersiap-siap sebelum putri kecilnya itu kembali mengetuk pintu dengan nada tak bersahabat. Kurang lebih lima belas menit kemudian, ia sudah bersiap. Tepat saat ia membuka pintu, putrinya sudah siap dengan seragamnya. Hanya rambutnya saja yang belum Arsal rapikan.

"Jadi, mau dikuncir apa hari ini?" Tanya Arsal.

Kalya diam sejenak. Seolah sedang berpikir keras. "Kuncir satu aja. Disini." Jawab Kalya menunjuk kepala belakangnya.

"Siap Tuan Putri!" Seru Arsal semangat.

Karena sudah terbiasa mengurus Kalya sejak kecil, Arsal tidak lagi kaku dalam mempersiapkan dan mengurus segala keperluan putri kecilnya. Kurang dari 10 menit mereka sudah siap-siap pergi. Kalya siap ke sekolah dan Arsal siap untuk ke kantor.

Pagi itu, udara masih terasa sejuk saat Arsal dan Kalya keluar dari apartemen mereka. Matahari belum terlalu tinggi, tapi jalanan mulai sibuk dengan orang-orang yang berangkat kerja atau mencari sarapan.

Kalya menggenggam tangannya, berjingkat-jingkat dengan langkah kecil yang ceria. "Aku mau roti panggang dan susu cokelat di kafe yang biasa, Pa!" Serunya penuh semangat.

Arsal mengangguk santai. "Oke, kita siap menuju lokasi."

Mereka berjalan santai menuju kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Tempat itu sederhana tapi nyaman, dengan aroma kopi dan roti panggang yang selalu menggoda sejak pertama kali melangkah masuk. Begitu tiba, Kalya langsung berlari kecil ke kursi kosong di dekat jendela.

"Papa, aku duduk di sini ya!" Katanya sambil menarik kursi dengan susah payah.

Arsal hanya mengangguk sebelum melangkah ke kasir. Namun, saat ia berbalik, matanya menangkap sosok yang tidak asing.

Ayra. Gadis itu berdiri di dekat kasir, sibuk berbicara di telepon, sama sekali tidak menyadari kehadirannya. Penampilannya sudah rapi dan seperti memang sudah siap untuk ke kantor.

Arsal tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengamati gerak gerik gadis itu. Tubuhnya tampak lebih kurus dibanding dulu. Apalagi wajahnya yang tidak sechubby dulu. Ada guratan kelelahan di wajahnya yang dulu selalu ceria. Matanya, yang biasanya bersinar penuh percaya diri, kini sedikit redup.

"Aku baik-baik saja, serius. Aku nggak mau dengar nama dia lagi."

Arsal menyipitkan mata. Kini Arsal lebih mirip seorang penguntit. Apalagi ketika mendengar nada bicara Ayra yang tampak lirih ketika menyebut kata 'dia'.

"Sudah kubilang, aku tidak menyesal membatalkan pernikahanku. Dia yang hancurkan semuanya, bukan aku. Itu lebih baik, Len."

Gadis itu terus berbicara. Sementara Arsal tampak fokus. Namun langkah Arsal terhenti seketika saat ia mendengar masalah pernikahan yang gagal. Ia tidak tahu kenapa informasi itu seperti memberikan efek di hatinya. Seharusnya itu bukan urusannya. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi nyatanya, rahangnya mengatup tanpa sadar.

Ayra akhirnya menutup teleponnya dengan gerakan kasar, lalu menghela napas panjang. Ia berjalan menuju meja kosong di dekat tempat duduk Kalya. Arsal yang juga sudah selesai mengambil makanan segera menuju tempat Kalya berada. Posisi Arsal dan Ayra saling membelakangi.

Namun karena posisi mereka yang dekat, aroma parfum Ayra yang manis mengingatkan Arsal dengan masa-masa saat mereka kuliah dulu.

Kalya menggigit rotinya pelan sambil menatap ayahnya dengan dahi berkerut. Biasanya, Arsal sudah sibuk menyeruput kopi atau mengecek pekerjaan di ponselnya. Tapi kali ini, pria itu hanya duduk diam, menatap kosong ke arah meja di depannya.

"Papa?" panggil Kalya pelan, tapi Arsal tidak bergeming.

Anak kecil itu menggembungkan pipinya kesal. Ia tidak suka kalau ayahnya diam terlalu lama seperti itu.

"Papa kenapa diem aja? Biasanya kalau roti aku udah tinggal setengah, papa juga udah minum kopinya."

Arsal tersentak dari lamunannya. Ia memfokuskan pandangannya pada Kalya. Putri kecilnya itu menatap Arsal dengan penuh selidik.

"Nggak apa-apa," Jawabnya singkat, mencoba mengambil cangkir kopi dan menyesapnya. Tapi rasanya hambar. Bukan karena kopinya tidak enak, tapi karena pikirannya sudah dipenuhi sesuatu atau lebih tepatnya seseorang.

Kalya masih menatapnya, lalu melirik ke arah meja di belakang ayahnya. Tatapan matanya berbinar.

"Itu Kakak yang kemarin di toko buku!" Bisiknya penuh semangat.

Arsal mendesah pelan. Sudah menduga reaksi ini akan keluar dari mulut putrinya.

"Iya, Papa tahu," Jawabnya, kembali menatap kopinya.

Kalya menyipitkan mata. "Kenapa Papa diem aja? Kok nggak nyapa Kakak?"

"Papa nggak perlu nyapa dia," Sahut Arsal cepat.

Tapi Kalya bukannya puas dengan jawaban itu. Anak kecil itu malah semakin penasaran, apalagi melihat bagaimana ayahnya terus mencuri pandang ke arah wanita itu.

"Kenapa? Bukankah Kakak itu bilang Papa adalah bosnya?" Tanyanya dengan suara lebih pelan.

Arsal menghela napas. Ia melirik sekilas ke arah Ayra yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Dia lagi sibuk," Kata Arsal.

Kalya makin penasaran. "Kalian teman ya, Pa?"

Arsal menatap putrinya, lalu bergumam pelan, "Dulu, iya."

Kalya memiringkan kepalanya, tapi sebelum bisa bertanya lebih jauh, Ayra tiba-tiba berdiri dari kursinya. Wanita itu tampak ingin pergi, mungkin baru sadar kalau sudah duduk cukup lama.

Arsal refleks ikut menegang. Tapi anehnya, bukannya merasa lega, justru ada sedikit keinginan aneh dalam dirinya agar Ayra menyadarinya. Agar Ayra menoleh ke arahnya, sekadar mengucapkan sesuatu.

Namun, Ayra tetap melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh dan entah kenapa, itu membuat dada Arsal terasa sedikit sesak. Tampaknya Arsal memang harus terbiasa diabaikan Ayra.

1
Siti Septianai
up nya lebih sering dong ka
Siti Sukaenah
bagus
Edelweis Namira: makasih banyak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!