NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:862
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 8: Cek yang Mengubah Nasib

​"Boleh nambah nggak, Mbak? Sumpah, ini sambal cakalangnya bikin nagih!"

​Suara salah satu karyawan pria di barisan depan memecah keheningan ruang rapat yang kaku itu. Dia bahkan tidak peduli lagi dengan aturan kantor saat tangannya dengan cepat menyambar kotak kedua di atas meja.

​"Eh, gue duluan! Tadi gue cuma dapet buncisnya doang, nasinya keburu ludes dicomot manajer sebelah!" sahut karyawan lain, tangannya berebut kotak katering yang tersisa.

​Maya tertegun di sudut ruangan. Nya Rasa pegal di kakinya karena mendorong gerobak seolah hilang menguap melihat pemandangan di depannya. Orang-orang yang tadi menatapnya sinis sekarang malah saling sikut demi suapan nasi bakar buatannya.

​"Pelan-pelan, semuanya. Masih ada tumis daging sapinya di kotak bawah," ujar Maya, mencoba menenangkan kerumunan yang mendadak liar itu.

​Arlan berdiri tak jauh dari Maya, tangannya masih memegang kotak katering yang sudah kosong bersih. Dia memperhatikan kericuhan anak buahnya dengan wajah datar, tapi ada kilat kepuasan di matanya. "Ternyata benar, orang-orang saya lebih butuh asupan rempah daripada materi presentasi yang membosankan itu."

​"Maaf ya kalau jadi berantakan begini ruang rapatnya," Maya mendekat, merasa sedikit tidak enak melihat meja rapat yang mewah itu penuh dengan remah nasi dan daun pisang.

​"Berantakan itu tanda mereka puas. Kalau rapi, berarti makananmu cuma jadi pajangan," Arlan mengeluarkan buku cek dari saku jasnya. Dia menggoreskan pena dengan gerakan cepat yang berwibawa.

​"Berapa harga kesepakatan kita kemarin?" tanya Arlan tanpa menoleh.

​"Satu kotaknya lima puluh ribu, jadi dua juta lima ratus ribu untuk lima puluh kotak," jawab Maya jujur.

​Arlan merobek lembaran cek itu dan menyodorkannya pada Maya. Maya menerimanya, tapi matanya membelalak lebar saat melihat angka yang tertulis di sana. Dua puluh juta rupiah.

​"Arlan, ini kebanyakan. Jauh banget dari harga aslinya," Maya mencoba mengembalikan cek itu.

​"Anggap saja itu biaya kompensasi untuk ban motormu yang meledak, sewa gerobak sayur, dan... biaya penghinaan yang kamu terima di lobi tadi," Arlan menatap Maya tajam. "Jangan ditolak. Saya tidak suka tawar-menawar untuk sesuatu yang sudah saya putuskan."

​"Tapi ini benar-benar..."

​"Ambil saja, Maya. Dan simpan saputangan saya. Kamu masih membutuhkannya untuk mengelap keringatmu yang belum kering itu," Arlan berbalik, lalu berseru pada karyawannya. "Waktu makan selesai! Kembali bekerja atau katering besok saya batalkan!"

​Mendengar ancaman "katering dibatalkan", ruangan itu kosong dalam hitungan detik. Maya hanya bisa melongo. Dia segera berpamitan, berlari keluar gedung dengan perasaan yang campur aduk. Dia tidak langsung pulang. Tujuan pertamanya adalah pasar.

​Sampai di depan kios Koh Acong, Maya tidak lagi berjalan ragu. Dia melangkah tegap, mengabaikan bau pasar yang menyengat.

​"Ko, tebus jam tangan Bapak!" Maya meletakkan uang tunai di atas meja kayu Koh Acong. Dia sudah mencairkan sebagian ceknya di bank dekat kantor Arlan tadi.

​Koh Acong mendongak, matanya yang sipit menyipit lebih dalam. "Lho, sudah punya duit? Cepat amat? Menang judi kamu?"

​"Hasil keringat sendiri, Ko. Mana jamnya?"

​Koh Acong mendengus, dia merogoh laci dan mengeluarkan jam perak tua milik almarhum ayah Maya. Maya mengambilnya dengan tangan gemetar, menciumnya sebentar, lalu memakainya di pergelangan tangan kirinya. Rasanya seperti energinya kembali penuh.

​"Lain kali kalau butuh duit lagi, datang ke sini saja, May. Tapi jangan bawa barang rongsok lagi," gumam Koh Acong.

​"Nggak akan ada lain kali, Ko. Terima kasih!" Maya berbalik, berjalan menuju pangkalan ojek. Dia harus segera menemui Bang Jago sebelum pria itu berulah di rumah ibunya.

​Sampai di depan rumah, benar saja, motor besar Bang Jago sudah parkir melintang. Pria itu sedang berdiri di teras sambil memainkan korek api, menatap plang "Warung Bu Sum" dengan pandangan lapar. Ibu duduk di kursi teras dengan wajah pucat pasi.

​"Mana anakmu, Sum? Katanya tiga hari, tapi saya nggak sabar. Mending saya tempel sekarang stikernya supaya orang tahu rumah ini sudah jadi milik kantor saya," suara Bang Jago terdengar kasar.

​"Tunggu Bang, Maya pasti pulang bawa uang," Ibu memohon dengan suara bergetar.

​"Alah! Anakmu itu paling cuma jualan nasi bungkus di pinggir jalan. Mana bisa dapet sepuluh juta buat bayar bunga?" Bang Jago sudah mengangkat kuas cat merahnya.

​"Jangan berani-berani sentuh tembok itu, Bang!"

​Maya muncul dari balik pagar, berjalan dengan langkah lebar. Dia membawa kantong plastik berisi sisa belanjaan dan sebuah tas kecil.

​"Oalah, ini dia pahlawannya. Mana duitnya? Atau cuma bawa janji manis lagi?" Bang Jago tertawa mengejek, mendekati Maya dengan gaya mengancam.

​Tanpa bicara sepatah kata pun, Maya membuka tas kecilnya. Dia mengeluarkan segepok uang seratus ribuan yang masih terikat rapi dengan label bank.

​Brak!

​Maya membanting uang itu tepat di depan dada Bang Jago yang tertutup jaket kulit hitam. Uang itu jatuh ke meja teras dengan suara yang sangat mantap.

​"Hitung itu. Sepuluh juta rupiah untuk bunga bulan ini. Sisanya buat bayar pokok utang supaya Abang nggak perlu sering-sering mampir ke sini lagi," kata Maya dengan nada dingin dan berwibawa, persis seperti saat dia memimpin rapat di Jakarta dulu.

​Bang Jago ternganga. Dia mengambil uang itu, menghitungnya dengan cepat. Wajah sangarnya mendadak ciut. "Ini... ini beneran duit asli?"

​"Cek saja pakai lampu biru kalau nggak percaya. Sekarang, ambil uangnya, tanda tangani kuitansi pelunasan bunga ini, dan angkat kaki dari halaman rumah saya," Maya menyodorkan selembar kertas dan pulpen.

​Bang Jago terdiam seribu bahasa. Dia yang biasanya merasa paling berkuasa di kampung itu, tiba-tiba merasa sangat kecil di depan tatapan mata Maya yang tajam. 

Dia menandatangani kertas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu buru-buru naik ke motornya dan pergi tanpa menoleh lagi.

​Ibu langsung berdiri dan memeluk Maya erat-erat. "Maya... kamu dapet uang dari mana sebanyak itu, Nak? Kamu nggak macem-macem kan?"

​"Hasil katering tadi, Bu. Pak Arlan suka banget sama masakan kita. Dia bayar lebih," Maya mengusap punggung ibunya, mencoba menenangkan. "Kita aman sekarang, Bu. Rumah ini nggak akan disita."

​"Alhamdulillah... Ibu bener-benar takut tadi."

​"Sudah, Ibu masuk saja. Istirahat. Maya mau bersihkan teras dulu," Maya tersenyum manis.

​Setelah ibunya masuk, Maya duduk di kursi teras, menyandarkan kepalanya. Dia merasa sangat lega. 

Satu beban berat terangkat dari pundaknya. Dia menatap jam tangan peraknya, bersyukur bendanya sudah kembali. Dia merasa hidupnya mulai berputar ke arah yang benar.

​Namun, ketenangannya hanya bertahan beberapa menit.

​Dari arah jalan raya, sebuah mobil sedan putih yang sangat Maya kenal berhenti tepat di depan warung. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria keluar dengan wajah yang terlihat sangat kusut dan gelisah.

​Adit.

​Pria itu berdiri di depan pagar, menatap warung yang tampak lebih rapi dari sebelumnya. Dia tidak lagi terlihat gagah seperti di foto undangan nikahnya. Rambutnya berantakan, dan kemejanya terlihat tidak disetrika dengan benar.

​"Maya?" suara Adit terdengar ragu.

​Maya berdiri, wajahnya yang tadi penuh senyum langsung berubah sedingin es. Dia melipat tangannya di dada, menatap mantannya itu dari kejauhan.

​"Mau apa lagi ke sini? Mau antar undangan tambahan? Atau mau pamer mobil baru?" sindir Maya tajam.

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!