NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 5: Klausul Kontrak 10 Halaman

​"Ini gila. Benar-benar gila."

​Gavin Ardiman melempar berkas setebal sepuluh halaman itu ke atas meja marmer kafe. Bunyi plak yang nyaring membuat pelayan yang baru saja mengantar kopi mundur selangkah dengan wajah ketakutan.

​Namun, Kiana tidak berkedip. Dia duduk dengan punggung tegak, menyesap earl grey tea-nya dengan anggun seolah mereka sedang membicarakan cuaca, bukan masa depan pernikahan mereka.

​"Apanya yang gila?" tanya Kiana santai, meletakkan cangkirnya perlahan. "Itu draf kontrak paling masuk akal yang pernah saya buat. Bahkan lebih simpel daripada kontrak sewa gudang di Tanjung Priok."

​Mereka berada di ruang privat sebuah kafe eksklusif, hanya berjarak lima belas menit dari sekolah Alea. 

Setelah insiden "bakar sampah" dan keberhasilan Kiana membuat Alea diam—bahkan mau makan burger dengan tenang di mobil tanpa melempar acar—Gavin akhirnya menyerah. Dia setuju duduk satu meja dengan musuh bebuyutannya ini.

​Gavin memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Dia menunjuk halaman tiga kontrak itu dengan telunjuknya yang gemetar menahan emosi.

​"Coba kamu baca pasal empat ayat dua ini," desis Gavin. "Pihak Istri tidak memiliki kewajiban domestik apapun, termasuk memasak, mencuci, atau menyiapkan sarapan Pihak Suami. Pihak Suami wajib menyediakan staf profesional untuk kebutuhan tersebut."

​Gavin mendengus kasar. "Kamu mau jadi istri atau ratu? Kalau saya cuma mau cari pajangan rumah yang cantik tapi nggak berguna, saya bisa beli patung manekin."

​"Koreksi, Pak Gavin," potong Kiana cepat, matanya berkilat tajam. "Saya bukan manekin. Saya CEO yang punya tiga ribu karyawan. Waktu saya di pagi hari itu mahal. Saya biasa bangun jam lima, cek email, lari di treadmill sambil telepon manajer operasional, lalu berangkat kerja jam tujuh teng."

​Kiana mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu berharap saya bangun jam lima buat ngulek sambal atau goreng telur buat kamu? Please deh. Kita sama-sama punya uang buat bayar koki bintang lima. Kenapa harus repot mengotori tangan sendiri? Itu namanya efisiensi."

​Gavin terdiam. Logikanya masuk akal, tapi egonya sebagai laki-laki sedikit terusik. "Istri-istri teman saya bangun pagi untuk melayani suami mereka. Itu bentuk bakti."

​"Dan istri-istri teman kamu itu kerjanya belanja tas Hermes pakai kartu kredit suami, kan?" balas Kiana telak. "Saya beli tas saya sendiri. Jadi saya nggak butuh 'bakti' semacam itu. Kita ini mitra, Gavin. Partner. Setara. Jangan samakan saya dengan wanita-wanita yang biasa kamu temui di arisan sosialita."

​Gavin menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Kiana lekat-lekat. 

Wanita ini benar-benar beda. Keras kepala, dominan, dan tidak mau kalah. Tapi entah kenapa, Gavin justru merasa... lega. 

Dia tidak perlu berpura-pura menjadi pangeran berkuda putih di depan Kiana.

​"Oke, poin itu saya terima. Saya juga lebih suka kopi buatan mesin daripada buatan tangan yang rasanya nggak konsisten," gumam Gavin, mengalah. Dia membalik halaman berikutnya.

​"Nah, ini. Pasal enam. Pihak Istri memiliki hak veto penuh atas urusan pendidikan dan disiplin anak (Alea Ardiman), selama tidak membahayakan fisik."

​Gavin mengangkat alis. "Kamu yakin? Baru ketemu Alea satu jam yang lalu dan kamu sudah berani minta hak asuh pendidikan? Kamu nggak kapok? Sebelumnya dia cuma diam karena kaget. Besok-besok dia bisa saja taruh lem tikus di rambut kamu."

​"Saya suka tantangan," jawab Kiana sambil tersenyum miring. "Dan kamu lihat sendiri, kan? Alea butuh seseorang yang bisa bicara pakai logikanya, bukan cuma memanjakan atau memarahinya. Kamu terlalu lembek, Gavin. Kamu merasa bersalah karena ibunya meninggal, jadi kamu biarkan dia injak-injak kepalamu."

​"Saya nggak lembek!" bantah Gavin defensif.

​"Kamu belikan dia mainan setiap dia bikin masalah. Itu namanya menyogok, bukan mendidik," sergah Kiana. "Serahkan Alea sama saya. Saya akan pastikan dia nggak bakal bakar sekolah lagi bulan depan. Sebagai gantinya, kamu pastikan paman dan sepupu saya yang gila judi itu nggak bisa sentuh sepeser pun saham Adijaya Group."

​Gavin terdiam lagi. Tawaran itu sangat menggiurkan. 

Masalah Alea adalah sakit kepala terbesar dalam hidupnya saat ini. Kalau Kiana—dengan segala kegalakannya—bisa membereskan masalah itu, Gavin rela memberikan apa saja. 

​"Baik. Saya setuju soal Alea. Tapi kalau dia nangis, kamu yang tanggung jawab," ancam Gavin.

​"Sepakat," kata Kiana cepat. "Lanjut ke poin berikutnya. Pasal delapan. Keuangan."

​Gavin membaca poin itu sekilas. "Pisah harta. Rekening masing-masing. Tidak ada tunjangan bulanan untuk istri." Dia terkekeh pelan. "Tumben. Biasanya wanita yang mendekati saya langsung minta kartu black card tambahan di hari pertama."

​"Uang saya sudah cukup banyak, Gavin. Saya nggak butuh uang kamu buat beli bedak," jawab Kiana sombong. "Saya cuma butuh status Nyonya Ardiman untuk satu tahun. Itu saja."

​"Oke, adil," Gavin mengangguk. Dia mulai merasa kontrak ini tidak seburuk dugaannya. Transaksional, dingin, dan jelas. Tanpa drama perasaan.

​Sampai matanya tertumbuk pada pasal terakhir. Pasal sepuluh.

​Gavin membaca tulisan itu, lalu tawanya meledak. Tawa yang kering dan sinis.

​"Pasal Sepuluh: Pihak Pria dan Pihak Wanita DILARANG KERAS jatuh cinta satu sama lain selama masa kontrak berlangsung. Pelanggaran terhadap pasal ini akan dikenakan denda berupa pembatalan sepihak semua kesepakatan bisnis."

​Gavin tertawa sampai matanya sedikit berair. Dia melempar berkas itu kembali ke meja.

​"Kamu serius menulis ini? Dilarang jatuh cinta?" cibir Gavin. Dia menatap Kiana dengan pandangan geli. "Kiana, Kiana... Kamu terlalu percaya diri. Kamu pikir saya bakal jatuh cinta sama wanita yang kelakuannya kayak mandor gudang begini?"

​Wajah Kiana tidak berubah. Dia tetap tenang, meski telinganya sedikit memerah. "Saya cuma antisipasi. Namanya manusia, hormon bisa kacau kalau tinggal satu atap. Saya nggak mau urusan bisnis saya berantakan cuma karena kamu tiba-tiba baper."

​"Jangan khawatir," potong Gavin tegas. Wajahnya berubah serius, dinginnya kembali. "Hati saya sudah mati sejak istri saya meninggal. Ruang di dada saya ini..." Gavin menepuk dada kirinya. "...sudah digembok. Nggak ada tempat buat kamu atau wanita mana pun. Jadi pasal ini adalah pasal termudah yang akan saya patuhi."

​Kiana menatap mata Gavin. Dia melihat kejujuran di sana. 

Kejujuran yang menyakitkan. Pria ini benar-benar terluka parah di masa lalu, sama sepertinya yang trauma dikhianati Radit.

​"Bagus," ucap Kiana pelan. Ada sedikit rasa nyeri yang aneh di dadanya mendengar pengakuan Gavin, tapi dia segera menepisnya. "Saya juga sama. Bagi saya, cinta itu cuma reaksi kimia otak yang bikin orang jadi bodoh. Saya butuh partner cerdas, bukan suami yang bucin."

​"Bagus. Kita sepakat kalau kita sama-sama nggak punya hati," pungkas Gavin. Dia merogoh saku jasnya, mengeluarkan pena Montblanc hitam yang mengkilap.

​"Mana yang harus saya tanda tangan?"

​Kiana menunjuk kolom di halaman terakhir dengan ujung kuku jarinya yang terawat. "Di sini. Di atas materai."

​Suasana mendadak hening dan tegang. Hanya terdengar suara dengungan halus mesin pendingin ruangan.

​Gavin membuka tutup penanya. Ujung pena itu melayang beberapa milimeter di atas kertas.

​Ini dia. Keputusan gila yang akan mengubah hidupnya setahun ke depan. 

Menikah dengan Kiana Elvaretta, saingan bisnisnya, wanita yang paling sering membuatnya darah tinggi, demi kedamaian rumah dan ekspansi bisnis.

​Kiana menahan napas. Jantungnya berdegup kencang. 

Sedikit lagi. Sedikit lagi warisan Kakek aman. Sedikit lagi dia bisa menampar wajah Rio dan Radit dengan status barunya.

​Goresan tinta pertama mulai terbentuk di atas kertas. Huruf 'G' dari tanda tangan Gavin sudah tertulis.

​BRAKK!

​Pintu ruang privat itu tiba-tiba didobrak dari luar dengan kasar. Kiana dan Gavin tersentak kaget. Pena di tangan Gavin tergelincir, mencoret kertas kontrak hingga sobek sedikit.

​Seorang wanita cantik dengan gaun merah menyala berdiri di ambang pintu. Rambutnya yang di- blow sempurna berantakan, napasnya memburu, dan matanya menyala penuh amarah. Di tangannya, dia menggenggam segelas air mineral dingin yang baru saja dia sambar dari nampan pelayan yang lewat.

​"Celine?" gumam Gavin kaget, matanya membelalak. "Ngapain kamu di sini?"

​Itu Celine. Mantan kekasih Gavin—atau lebih tepatnya, wanita yang terobsesi pada Gavin sejak kuliah dan selalu merasa dirinya adalah calon ibu sambung terbaik buat Alea, meskipun Alea benci setengah mati padanya.

​"Jadi benar gosip itu!" pekik Celine histeris. Suaranya melengking memenuhi ruangan. "Asistenku bilang dia lihat mobil kamu parkir di sini bareng mobil perempuan itu! Aku pikir kamu cuma rapat bisnis, ternyata..."

​Mata Celine tertuju pada berkas kontrak di meja yang berjudul PERJANJIAN PRANIKAH.

​Wajah cantiknya seketika berubah menjadi topeng kemurkaan yang jelek. Dia menatap Kiana dengan tatapan membunuh.

​"Kamu!" tunjuk Celine pada Kiana. "Dasar wanita ular! Kamu manfaatkan momen saat Gavin lagi lemah buat menjebaknya, kan?!"

​Kiana mengerutkan kening, tidak suka dituduh sembarangan. Dia hendak berdiri untuk membela diri. "Permisi, Mbak. Tolong jaga sopan santun..."

​"Diam kamu, Pelakor!"

​Tanpa peringatan, Celine maju dua langkah dan mengayunkan tangannya.

​BYUR!

​Air dingin dari gelas itu menyembur deras, tepat menghantam wajah Kiana.

​Dunia seakan berhenti.

​Air menetes dari rambut Kiana yang basah kuyup, mengalir melewati bulu matanya, membasahi blazernya yang mahal, dan menetes ke atas kontrak yang ada di meja. Riasan wajahnya yang sempurna luntur seketika.

​Gavin ternganga, terpaku di kursinya. Dia terlalu syok untuk bereaksi.

​Celine melempar gelas kosong itu ke lantai hingga pecah berantakan.

​PRANG!

​"Dasar wanita murahan!" teriak Celine penuh kemenangan, napasnya naik turun. "Kamu pikir kamu siapa bisa merebut Gavin dariku? Ngaca dong! Kamu itu cuma janda gila harta!"

​Kiana diam. Dia tidak berteriak. Dia tidak menangis.

​Perlahan, Kiana mengangkat tangannya, menyeka air yang menutupi pandangannya. Dia mengambil tisu di meja dengan gerakan sangat lambat, sangat tenang, seolah dia baru saja terkena gerimis kecil, bukan disiram air oleh orang gila.

​Tapi Gavin, yang duduk di seberangnya, bisa melihatnya. Dia bisa melihat tangan Kiana gemetar hebat. Bukan karena takut. Tapi karena amarah yang sedang ditahan sekuat tenaga agar tidak meledak dan membakar seluruh gedung ini.

​Tatapan Kiana perlahan naik, mengunci wajah Celine.

​Dan untuk pertama kalinya hari itu, Gavin merasa takut. Bukan takut pada Celine, tapi takut pada apa yang akan dilakukan Kiana selanjutnya.

1
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
baguss bangett
Savana Liora: makasih kak.😍 selamat membaca ya
total 1 replies
Feni Puji Pajarwati
mantap Thor...ceritanya gak kaleng2...maju terus buat karya nya...semangat...
Savana Liora: terima kasih supportnya kakak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
next thor👍
vote untuk mu
Savana Liora: makasih kak. happy reading ya
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤩🤩🤩
Savana Liora: Terima kasih dah mampir kak
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
🤭🤭
Savana Liora: iya kak. harus tetap semangat. 💪
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!