Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Bab 8. Restoran
Tiga minggu setelah menetap di Yogyakarta, Sharon akhirnya mendapatkan pekerjaan tetap. CV-nya yang dulu ia buat dengan bantuan Farel sebelum semuanya hancur, ternyata masih berguna. Pengalaman bekerja sebelumnya menjadi nilai plus sehingga i pun akhirnya lolos interview di sebuah restoran bergaya Eropa.
Restoran itu bernama Lumiere, bergaya Eropa klasik dengan interior elegan dan nuansa hangat. Letaknya tidak jauh dari kawasan wisata Taman Sari, tempat lalu-lalang turis dan pasangan muda yang mencari suasana romantis.
Sharon diterima sebagai asisten manajer, mendampingi seorang pria bernama Dirga Mahesa, manajer restoran yang usianya hanya terpaut beberapa tahun darinya. Dirga adalah pria yang tenang, rapi, dan perfeksionis. Tidak banyak bicara, tapi sekali ia membuka mulut, nadanya tenang dan jelas, serta penuh perhitungan.
Hari pertama Sharon masuk kerja, ia sempat gugup. Perutnya yang mulai menonjol ditutupi dengan dress longgar dan outer formal. Ia berharap tidak ada yang terlalu memperhatikan.
"Sharon Patricia?" suara bariton Dirga menyapanya ketika ia memasuki ruang kecil di belakang dapur. Ruang itu menjadi semacam kantor operasional untuk manajemen restoran.
"Iya, saya," jawab Sharon sambil tersenyum sopan.
Dirga menatapnya sekilas, lalu mengangguk. "Kau datang tepat waktu. Itu sudah jadi nilai plus. Kita mulai dengan orientasi dulu. Restoran ini punya ritme sendiri dan aku harap kamu bisa menyesuaikan," ucap Dirga pelan, tapi tegas.
"Baik, Pak."
Dirga sempat menatapnya lebih lama, sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu.
"Selamat bergabung. Semoga kita bisa saling bekerja sama dengan baik."
"Siap, Pak. Terima kasih." Sharon mengangguk pelan. Ia menyadari bahwa pria itu lebih menyukai efisiensi ketimbang basa-basi.
Hari-hari berikutnya berjalan sibuk. Sharon mulai terbiasa dengan ritme kerja yang cukup padat. Ia membantu mengatur shift pegawai, mengecek stok bahan makanan, hingga mencatat dan menjawab keluhan pelanggan VIP.
Staf restoran kebanyakan menyukainya. Ia ramah, tidak bossy, dan tidak gengsi membantu pekerjaan kecil. Kadang ia membantu di kasir, kadang ikut mengantar pesanan saat jam ramai.
Dirga mulai memperhatikannya secara halus diam-diam. Bukan dalam konteks pria tertarik pada wanita, tapi lebih kepada seseorang yang penasaran. Sharon bekerja dengan baik, tapi matanya selalu terlihat lelah. Kadang seperti menyimpan duka yang tidak ingin dibagi.
Suatu hari, Dirga memanggilnya ke ruang kerjanya setelah restoran tutup.
"Sharon, duduklah," ucapnya sambil menyodorkan segelas teh panas.
Sharon duduk, agak canggung. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Sharon hati-hati. Ia khawatir tanpa sadar sudah melakukan kesalahan.
"Tidak ada. Tapi ada yang ingin kutanyakan, lebih ke pribadi. Tapi kalau kamu tidak nyaman, silakan bilang," ucap Dirga lembut.
Sharon menegang. "Tentang apa, Pak?"
Dirga menatapnya lurus. "Tak perlu terlalu formal bila bukan di jam kerja," ujar Dirga membuat Sharon sedikit terperangah kemudian mengangguk. "Kamu hamil, kan?" tanya Dirga tanpa basa-basi.
Sharon menegang kemudian menunduk sambil meremas kedua tangannya. Suara degup jantungnya terdengar sendiri di telinga. Ia sudah cukup berhati-hati, tapi tampaknya tetap saja ketahuan.
Ia mengangguk pelan. "I-iya, Pak–ah maksud saya ... Dirga. Tapi saya bisa bekerja. Saya janji itu tidak akan mengganggu kinerja saya," jawab Sharon panik. Ia khawatir karena kehamilannya membuat Dirga memecatnya.
Dirga terdiam sejenak. Lalu ia menghela napas. "Aku tidak berniat menghakimi. Justru aku menghargai keberanianmu. Tapi Sharon, kau bisa bicara kalau kamu butuh bantuan. Di sini ... kamu tidak sendirian."
Sharon menatap Dirga, terharu. Ia menahan air mata yang bisa saja jatuh kapan saja. Sudah lama ia tidak mendengar kalimat seperti itu. Kalimat yang tidak menghakimi, tidak menyalahkan.
"Terima kasih," bisiknya lirih.
Semenjak hari itu, hubungan mereka menjadi sedikit lebih dekat. Bukan dalam arti romantis. Setidaknya ... belum. Tapi ada semacam kepercayaan dan kepedulian. Sharon merasa sedikit lebih tenang, walau bayangan masa lalunya masih menghantui.
Termasuk bayangan Leon–pria yang mungkin suatu hari akan menemukan dirinya.
***
Leon tampak duduk di ruang rapat kantornya dengan ekspresi datar, tapi matanya sudah merah dan sayu. Di depannya, para direktur tengah melakukan presentasi mengenai strategi ekspansi pasar. Namun, fokus Leon hanya satu:
Baunya ....
“Siapa yang bawa nasi goreng bawang putih ke sini?” tanyanya tiba-tiba, nadanya tajam.
Seketika semua mata menoleh ke arah seorang staf yang duduk di pojok ruangan, dengan kotak makan yang belum sempat disimpan.
“Ma-maaf, Pak. Saya belum sempat—”
“Keluar. Sekarang.”
Staf itu pun buru-buru pergi, sementara semua orang saling berpandangan bingung.
Leon mengusap keningnya yang basah keringat dingin. Perutnya mual lagi. Entah kenapa seminggu belakangan, ia jadi sangat sensitif terhadap bau makanan. Sarapan pagi yang biasa ia nikmati seperti roti panggang, kopi, dan telur mata sapi, kini hanya membuatnya mual setiap melihatnya.
Rapat pun dilanjutkan. Saat ada salah seorang melakukan presentasi, Leon kembali menginterupsi.
"Apa kau tidak gosok gigi pagi tadi?" ucap Leon sambil menatap tajam membuat laki-laki itu menegang.
"Apa kau minum jus bawang putih? Bau sekali," ucapnya tanpa basa-basi membuat semua orang seketika saling menoleh kemudian menelan ludah.
"Sa-saya ...."
"Jangan bertele-tele! Jawab pertanyaanku!" sentak Leon membuat semua orang berbisik-bisik sebab mereka tidak mencium aroma bawang putih sama sekali.
"Ma-maaf, Pak, tadi pagi saya memang makan bawang putih untuk ---"
"Keluar! Dan jangan kembali sebelum kau menghilangkan aroma itu!" tegas Leon.
Semua orang terkesiap. Mereka tidak mencium aroma bawang putih sama sekali. Mereka pikir Leon pasti mengada-ada, namun ternyata ....
Laki-laki itu pun mengangguk dan segera keluar. Semua orang kini menunduk. Khawatir aroma makanan yang mereka santap sebelum rapat tercium Leon.
Eric yang duduk di sebelahnya, mulai resah. Selesai rapat, ia langsung mengikuti Leon ke ruangannya.
“Leon, kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Mual, sensi, marah-marah nggak jelas ... jangan-jangan kamu–”
“Diam, Eric. Aku nggak hamil.” Leon memijat pelipisnya dengan wajah muram.
“Tapi kamu mirip banget sama orang yang sedang hamil. Kamu tau nggak kamu udah muntah dua kali hari ini? Dan tadi pagi kamu nyuruh aku nyari pancake blueberry jam 6 pagi. Kamu bahkan nambahin satu kata kunci ‘yang lembut dan nggak amis’ — serius, kamu kenapa sih?” Eric menatap heran pada Leon.
Leon mendesah panjang.
“Aku mimpi Sharon lagi. Dia pakai baju tidur biru muda, duduk di kursi goyang sambil nyanyi lagu anak-anak. Lalu ... dia nyuruh aku masak tumis kangkung sambil nangis.”
Eric menatap bosnya seolah baru melihat spesies langka.
“Bro ... itu ngidam. Tapi yang hamil siapa, kamu apa dia?”
Leon menatap keluar jendela, matanya kosong.
“Aku rasa ... ini koneksi batin.”
Eric mendecak.
“Koneksi batin dari Hong Kong. Tapi serius, kamu tuh sekarang persis ibu-ibu hamil tau nggak."
Leon tidak menjawab. Ia menatap satu foto di meja kerjanya, hasil USG yang sudah dibingkai. Ia sendiri heran, kenapa ia membingkai hasil USG tersebut. Padahal ia jelas-jelas sudah menolak dan tak mau mengakui anak yang Sharon kandung.
Leon menyentuh kaca bingkai itu dengan lembut.
“Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya kayak ada bagian dari tubuhku yang berubah. Setiap kali aku mikirin Sharon, perutku mual. Setiap malam, aku susah tidur. Aku bahkan nangis nonton film kartun semalam.”
Eric memukul dahinya sendiri.
“Kamu gila.”
“Mungkin. Tapi kalau ini gila, aku nggak peduli. Aku harus nemuin dia. Aku harus lihat dia baik-baik aja.”
Eric diam. Sekalinya dalam hidupnya, dia melihat Leon bukan sebagai bos sok keren yang suka main cewek dan menyimpan dendam masa lalu. Tapi pria biasa, yang sedang ... jatuh cinta dan merasa kehilangan.
“Aku bakal bantu kamu, Leon. Tapi janji satu hal.”
“Apa?”
“Kalau ketemu dia, kamu jangan sok keras kepala. Kamu harus minta maaf, dan kamu harus siap kalau dia nggak mau balik dan memaafkan kamu.”
Leon mendesah panjang kemudian mengangguk.
“Aku tahu.”
Lalu tiba-tiba perutnya bunyi keras.
Eric melirik dengan alis terangkat. “Ngidam lagi?”
Leon berdiri cepat.
“Aku pengen ... es kelapa muda campur boba coklat, lalu dicampur permen karet rasa stroberi. Sekarang.”
Eric mengangkat tangan.
“Fix. Kamu dirasuki hormon Sharon," seru Eric dengan mata melotot.
Bersambung
Semoga ini jd awal yg baik bagi Leon bisa ketemu sm ank2nya jg sharon
semoga di mudahkan dan dilancarkan ya..
padahal ceritanya bagus lho