Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pisang Raja
Semakin siang, suasana di pasar semakin ramai. Semakin banyak orang yang datang untuk melakukan jual beli. Barang yang ditawarkan kebanyakan kebutuhan pokok masyarakat kelas bawah. Mulai dari bahan pokok, perabotan rumah dan hewan unggas.
"Tara, lihat." Nusa melihat sesuatu yang membuatnya penasaran.
"Apa?" Tara menoleh ke tempat yang di tunjuk oleh Nusa.
"Apakah burung gagak laku dijual?" tanya Nusa penasaran.
NusaNTara melihat beberapa orang yang diam-diam melakukan transaksi. Penampilan mereka terlihat seperti pendekar dengan golok di pinggang mereka. Ada dua orang yang melakukan perdagangan dan beberapa orang lain mengawasi sekeliling. Mereka memanfaatkan keramaian orang agar bisnis mereka tidak ketahuan.
"Hmm? Itu bukan burung gagak, blok. Itu ayam Cemani. Masak kau tidak bisa membedakannya." Tara menjelaskan dengan nada sedikit mengejek. Dia menghiraukan Nusa dan lanjut memandang orang lewat.
"Ayam Temani? Ayam jenis apa itu?" tanya Nusa karena tidak tau mengenai ayam cemani sebelumnya.
"Ciks, Cemani, blok. Ayam yang semua bagian tubuhnya berwarna hitam. Bahkan tainya pun hitam." Tara menjelaskan dengan malas karena sedang asik memandang para ibu-ibu lewat. Matanya mengawasi setiap gundukan yang terlihat.
"Ooo, bulat." kata Nusa. Nusa akhirnya ikutan memandangi orang lewat karena tidak memiliki pelanggan.
Mata Nusa tertuju ke sekelompok orang yang memakai baju silat berwarna coklat. Mereka berjalan berjajar melewati jalanan pasar. Nusa terus memperhatikan mereka sampai mereka berhenti di lapak miliknya. Melihat ada yang datang, Tara melirik ke mereka karena penasaran.
"Apa kalian punya Tamba ayam?" tanya salah seorang mereka yang kemungkinan adalah pemimpin mereka.
Dilihat dari penampilan mereka, sepertinya mereka berasal dari sebuah perguruan. Mereka pergi ke pasar mungkin karena mencari barang untuk menjalankan misi.
"Ya, kami punya. Untuk jantan atau betina?" tanya Nusa sembari menyodorkan beberapa Tamba.
Tamba adalah wadah khusus untuk membawa ayam. Tujuannya agar ayam tidak terlepas saat di bawa dan agar terlindungi dari hal lain. Biasanya terbuat dari rotan dan bambu yang di anyam berbentuk bulan sabit.
Orang itu meraih Tamba dan memeriksa kondisinya. Setelah menentukan pilihan, mereka menanyakan harga.
"Dua ini. Berapa?"
"Empat Puluh Repes." jawab Nusa.
"Tiga Lima. Kami ambil." tawar orang itu.
"Oke. Tiga Lima." Nusa menerima tawaran orang itu.
Setelah melakukan pembayaran, mereka langsung pergi tanpa sepatah kata. Terlihat mereka mendatangi tempat transaksi ayam Cemani yang tadi. Tara memperhatikan kepergian mereka dengan pandangan sinis.
"Dasar orang-orang goblok. Menggunakan segala cara demi mendapat kekuatan." ucap Tara seakan paham apa yang sedang terjadi.
"Cara apa itu?"
Tiba-tiba ada pengunjung yang membalas ucapan Tara. Tara spontan memandangi orang itu. Penampilannya yang cukup mewah menandakan dia adalah orang kaya. Dengan set baju batik berhiaskan aksesoris bunga mawar di dada kanannya dan blangkon di kepalanya, menandakan dia berasal dari keluarga berada.
Cukup mudah membedakan antara orang kaya dan miskin, terutama dari penampilan. Orang kaya bisanya berpenampilan rapi dan memakai setelan yang bagus. Berbanding terbalik dengan orang miskin yang hanya memakai pakaian bawah dan baju kebaya putih bagi perempuan.
Penampilan pemuda itu sangat kontras dengan lingkungan sekitar, menjadikan dirinya sangat menonjol walaupun mencoba menyembunyikan keberadaannya. Pemuda itu mempunyai tato berbentuk pena yang melintang dari kening ke tulang pipi dan di bawah ujung pena terdapat wadah tinta. Mata kanannya tertutup menjadikan tato itu seakan terhubung. Pemuda itu sedang bermain-main dengan dagangan Nusa.
"Apa urusanmu kesini?" tanya Tara dengan perasaan curiga. Karena Tara tidak merasakan kedatangannya, membuatnya menjadi waspada.
"Menggunakan segala cara? Goblok? Bukankah kalian sama? Demi penyakit kalian?" kata pemuda itu seakan tau kondisi NusaNTara.
NusaNTara terkejut mendengar pernyataan pemuda itu. Bagaimana tidak, hanya orang tua mereka yang tau akan penyakit mereka. Tiba-tiba ada orang entah datang dari mana membicarakan penyakit mereka, membuat NusaNTara mencurigai pemuda itu. Tara memegang gagang keris yang ada di pinggangnya, bersiap menariknya bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Apa maksudmu?" ucap Tara.
Dia mencoba mencari kejelasan tentang ucapan pemuda tadi yang menyinggung penyakitnya.
"Bukankah kalian sedang mencari obat, untuk mengobati kecacatan kalian? Aku punya obatnya, dan hanya untuk satu orang. Yaitu kau." ucap pemuda itu sambil menunjuk ke arah Nusa. Pemuda itu berbicara dengan rasa percaya diri seakan dia tau segalanya.
"Bagaimana kami bisa mempercayaimu?" tanya Nusa dengan rasa curiga.
Walaupun merasa curiga, Nusa masih menaruh harapan dari ucapan pemuda itu. Karena bagaimanapun, dia sangat ingin sembuh dari penyakitnya, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Kalaupun pemuda itu berbohong, setidaknya dia tau penyakitnya masih bisa disembuhkan mendengar dari perkataan pemuda itu.
"Bagaimana? Hmmm?" pemuda itu mencoba mencari cara untuk meyakinkan mereka tentang ucapannya. Dia memandang ke sekitar.
"Hei, Nusa. Kau ingin mempercayai ucapan bocah yang terlihat seperti anak mami ini? Jangan gampang percaya. Siapa tau dia hanya ingin menjebak kita." kata Tara mencegah temannya agar tidak terjerumus ke dalam kebohongan pemuda itu.
"Kalian lihat tiga perempuan yang sedang memilih sayur disana?" pemuda itu menunjuk para perempuan yang sedang membeli sayur.
NusaNTara melihat kearah yang ditunjuk pemuda itu.
"Mereka semua janda. Dari kanan, mereka punya anak satu, tiga dan dua. Ukuran kutang mereka D cup, D cup, E cup..."
"Nusa. Aku yakin. Dia adalah sang maha tahu. Aku jamin." Tara memegang pundak Nusa dan berkata dengan penuh keyakinan dan semangat. Seakan keraguannya pada pemuda tadi hilang sepenuhnya.
"Heeh. Urusan dada kau cepat sekali yakin." kata Nusa dengan wajah remeh.
"Ini bukan urusan dada, ini urusan ke 'bulatan' tekat." Tara berkata dengan percaya diri.
"Bagaimana kalian percaya padaku?" tanya pemuda itu dengan seringai tipis di wajahnya.
"Ya. Kami percaya." sahut Tara dengan tekat 'bulat'.
Pemuda itu membuka tas miliknya dan mengeluarkan sebuah kotak. Setelah menutup kembali tasnya, pemuda itu menyodorkan kotak itu kepada Nusa.
Nusa sedikit ragu untuk mengambil kotak itu. Tapi Tara meyakinkannya kalau ini demi kesembuhannya. Nusa pun akhirnya
menerima kotak itu dan membukanya. Ternyata di dalamnya berisi sebuah pisang raja.
"Pisang? Memangnya bisa untuk mengobati cacat?" Tara meragukan obat yang diberikan pemuda itu.
"Ya. Memang itu obatnya." ucap pemuda itu dengan tegas.
Tara menjadi ragu.
Rinson yang sedang tiduran di dekat gerobak di belakang lapak, tiba-tiba langsung terbangun dan menghampiri Nusa. Rinson melihat pisang yang sedang dipegang oleh Nusa. Dia mendorong-dorong tubuh Nusa menggunakan kepalanya seakan di ingin Nusa memakan pisang itu. Nusa kebingungan dengan tingkah Rinson.
"Ada apa Rinson? Kau ingin memakan pisang ini?" tanya Nusa agak bingung.
"Dia ingin kau memakan itu." jelas pemuda itu.
Nusa tau Rinson ingin dia memakan pisang itu, tapi dia sedikit ragu. Akhirnya karena desakan terus menerus dari Rinson, Nusa pun memakannya dan Rinson memakan kulit pisang itu. Setelah memakannya, tidak terjadi apa-apa pada tubuh Nusa.
"Hmm? Tidak ada yang terjadi?" kata Nusa bingung karena tidak ada reaksi pada tubuhnya.
"Benarkah? Kau tidak merasa mual atau tiba-tiba ingin sesuatu?" tanya Tara.
"Memangnya aku ibu hamil." kata Nusa tau maksud pertanyaan Tara.
"Mungkin belum. Tunggu saja." kata pemuda itu.
"Ngomong-ngomong, kalian suka loli?" tanya pemuda itu.
"Ah, tidak. Untuk apa manusia yang tidak punya dada." ucap Tara sambil melambaikan tangan penolakan.
"Sayang sekali. Padahal, aku ingin mengajak kalian ke suatu tempat yang bagus."
"Maaf, kalau urusan loli, kami tidak minat." ucap Tara malas.
"Kenapa kau mau membantuku? Padahal kita belum pernah bertemu sebelumnya." tanya Nusa penasaran dengan maksud pemuda itu memberikan pisang.
Pemuda itu berdiri dari jongkoknya dan tidak mengatakan sesuatu.
"Takdir." ucap pemuda itu.
"Hah? Apa maksudmu takdir?" NusaNTara bingung dengan apa yang diucapkan pemuda itu.
"Karena kau sudah memakan pisang itu, kau harus menerima takdirmu. Seberat apapun itu." setelah mengucapkan beberapa kata, pemuda itu langsung pergi.
NusaNTara saling memandang dengan raut wajah bingung. Mereka bertanya-tanya tentang apa yang dikatakan pemuda itu.
"Oh, ya. Kita lupa tanya namanya." ucap Nusa sedikit kecewa.
"Panggil saja dia Pedo boy, karena dia pecinta loli." kata Tara tidak peduli.
"Berarti kau Payuda Boy, karena kau pecinta payudara, hahaha." Nusa tertawa lepas karena berhasil mendapat sebutan yang cocok untuk Tara.
"Tai kau." ucap Tara marah.
_ _
Seorang laki-laki berkulit gelap sedang memilih rempah-rempah. Dia mencium bau rempah-rempah itu menggunakan hidungnya. Datang seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Orang itu adalah pemuda tadi.
"Supa, dimana mereka?" tanya pemuda itu.
"Mereka sudah pergi kearah timur, mungkin sudah meninggalkan pasar." jawab orang kulit gelap itu yang bernama Supa.
"Oke. Aku duluan." pamit pemuda itu.
"Hmm." sahutnya sambil terus memilih.
Pemuda itu segera bergegas pergi meninggalkan Supa.
_ _
Sekelompok orang dengan pakaian silat berwarna coklat berjalan di gang sempit. Mereka beranggotakan lima orang.
"Akhirnya, kita mendapatkan barang langka. Sangat susah mencarinya. Apalagi barang ini sangat dilindungi oleh Keraton." ucap seorang pria yang membawa Tamba berisi ayam Cemani.
"Ya. Dan sekarang pelindungnya sudah datang." ucap seorang pemuda yang berdiri di belakang rombongan itu. Pemuda itu berdiri tegap dan bersiap menyerang.
Rombongan pesilat itu seketika berhenti dan berbalik saat mendengar ucapan pemuda itu.
Mereka melihat seorang pemuda sendirian menghentikan mereka.
"Sepertinya, ada yang sedang bermain menjadi pahlawan." ejek salah seorang mereka.
"Apa kau ingin mengambil ayam ini. Kemari kalau berani." salah seorang mereka melakukan provokasi.
"Karena kalian berani mencuri harta milik Keraton, kalian berhak di hukum mati." pemuda itu mengeluarkan sebuah wayang berwarna emas dari cincinnya.
"Apa? Tidak mungkin." sekelompok pesilat itu terkejut dan sangat ketakutan melihat Wayang milik pemuda itu. Mereka pun segera kabur dengan tergesa-gesa.
Seketika, sebuah sayatan memotong leher mereka, membuat darah bercucuran dari leher mereka. Mereka semua langsung tersungkur tak bernyawa tanpa memberikan perlawanan. Pemuda itu memasukkan kembali Wayang emas miliknya kedalam cincinnya. Kemudian datang mendekati mayat para pesilat itu.
"Kau sudah menangkap mereka semua, Yudha?" tanya Supa yang berjalan dibelakang Yudha.
Dia melihat beberapa mayat sudah tersungkur di tanah.
"Oh, kau membunuh mereka." kata Supa mengikuti di belakang.
Yudha mengambil Tamba yang berisi ayam Cemani.
"Kenapa kau baru datang?" tanya Yudha sembari mengecek kondisi ayam.
"Yah, aku mencari rempah untuk dibuat obat mabuk perjalanan. Untuk Tian." jelas Supa.
Supa melihat mayat yang ada disitu hanya mayat para pesilat, tidak ada mayat pendekar yang membawa golok.
"Sepertinya masih ada yang harus dibereskan. Biar aku mencari mereka." ucap Supa. Diapun langsung pergi.
"Jangan terse...haaahh, sudahlah." Yudha menghela nafas panjang karena belum sempat menyelesaikan ucapannya, Supa sudah pergi.
_ _
Matahari sudah berada di atas kepala, Tara mulai mengemasi lapaknya. Terlihat seseorang tergesa-gesa mendatangi lapak Nusa.
"Tunggu..hah..hah..tunggu." seseorang datang dengan nafas tersengal karena habis berlari.
"Nasib baik masih sempat..hah...apa Nusa tidak ada?"tanya orang itu.
"Tidak. Dia sedang pergi ke Ormas Tukang." jawab Tara yang sedang mengangkut barang.
"Aku ingin mengambil pesananku, yaitu tusuk sate. Apakah dia ada membawanya?"
"Tunggu sebentar, biar aku cek." Tara mencari tusuk sate yang kemungkinan di tinggal Nusa di gerobaknya. Tara menemukan beberapa bambu yang isinya tusuk sate. Diapun membawanya ke pemesan tadi.
"Ini tusuk satenya. Apakah semuanya?" Tara mengulurkan beberapa batang bambu.
"Iya. Aku memang memesan banyak." orang itu lalu mengambil batang bambu itu dan menghimpitnya di pinggang. Dia mengambil sekantung uang dan memberikannya ke Tara.
"ini, lima puluh repes. Coba kau hitung dulu."
Tara menerima uang dan langsung menghitungnya. Setelah dihitung, ternyata uangnya lebih.
"Ini kelebihan sepuluh repes." Tara berniat memberikan uang kembalian tapi di tolak.
"Oh, ya sudah. Kau jualan sate apa?" tanya Tara penasaran.
"Sate kambing. Lokasinya di dekat gerbang masuk. Kalau kau mau mampirlah sebentar." kata penjual sate itu.
"Oke, nanti mungkin mampir kalu ada waktu."
"Kalau begitu, sampai jumpa." tukang sate itu berpamitan dan langsung pergi.
Tara menyimpan uang dan kemudian lanjut mengemasi barang.