Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Masa Lalu Pilihan Mertua
Siang itu Diva sedang merapikan ruang keluarga. Bu Susan meletakkan ponselnya di meja tanpa menguncinya sebuah kebiasaan yang tampaknya akan menjadi celah besar.
Tak sengaja mata Diva tertuju pada layar yang menyala. Sebuah pesan dari "Mbak Resepsi" muncul jelas:
"Bu, undangan dan katering sudah siap. Tinggal konfirmasi tanggal saja ya, biar tim dekor jalan."
Diva mematung. Jari-jarinya bergetar. Ia sentuh layar itu, membuka percakapan sebelumnya dan benar saja. Bu Susan sedang mengatur semuanya. Pernikahan Arman dan Raya. Semua sudah tersusun rapi. Rencana yang begitu keji… dilakukan tepat di belakang punggungnya.
Diva menelan ludah. Hatinya tercekat, tapi wajahnya tetap tenang. Ia letakkan kembali ponsel itu dengan pelan, lalu berdiri, tersenyum tipis.
“Jadi ini permainan kalian…” lirihnya. “Baiklah, kalau kalian memilih jalur ini, aku juga akan ikuti permainan ini. Tapi jangan salahkan aku… jika semua ini nanti hancur, dan Arman… kehilangan semuanya. Apalagi dia PNS… menikah diam-diam, tanpa izin istri pertama…”
Ia melangkah ke kamar dengan kepala tegak, tapi di balik matanya ada badai yang mulai mengumpul.
Siang itu, Diva duduk di sudut kafe yang tak terlalu ramai. Penampilannya sederhana tapi berkelas, rapi seperti biasanya. Tak lama, seorang pria paruh baya menghampirinya berpakaian jas kasual, wajah tenang namun tajam. Dialah Pak Handoko, pengacara yang sudah berpengalaman menangani banyak perkara rumah tangga, dan kini menjadi rekan diam-diam Diva.
“Terima kasih sudah datang, Pak,” ujar Diva sambil menyodorkan map berisi berkas.
Pak Handoko membuka map itu, membaca perlahan lalu mengangguk, “Semua bukti ini cukup kuat. Tapi kamu yakin ingin menunggu mereka benar-benar menikah dulu?”
Diva tersenyum, bukan senyum ramah, tapi dingin dan penuh rencana. “Justru itu kuncinya, Pak. Biarkan mereka menari dalam kepalsuan dulu. Aku akan ikut berpura-pura, mengikuti skenario ibu mertua dan suamiku. Setelah mereka menikah, baru saya buka semuanya. Saya akan temui atasan Arman, laporkan bahwa dia menikah tanpa izin istri pertama. Dia PNS, Pak… mereka seharusnya tahu resikonya.”
Pak Handoko terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Langkahmu cukup berani, Diva. Tapi kau harus siap dengan segala konsekuensinya.”
Diva menatap lurus, matanya tajam. “Saya sudah terlalu sering diam. Kali ini, saya ingin mereka rasakan seperti apa rasanya dikhianati. Sama-sama adil, kan, Pak? Licik ketemu licik.”
Pak Handoko tersenyum tipis. “Baik. Kita mainkan perlahan. Tapi pastikan kamu tetap tenang sampai waktunya.”
Diva mengangguk. Rencana sudah dimulai dan pertunjukan sesungguhnya baru akan dimulai setelah kata “sah” keluar dari mulut penghulu nanti.
Malam itu, Arman duduk sendiri di ruang kerjanya, berpura-pura sibuk dengan tumpukan berkas. Tapi kenyataannya, pikirannya melayang jauh… menghitung hari.
"Tinggal lima hari lagi..." gumamnya pelan, jemarinya menggeser layar ponsel, melihat pesan-pesan dari Raya yang manja dan penuh semangat menjelang pernikahan mereka.
Ia tersenyum kecil. "Akhirnya semua berjalan seperti rencana. Ibu akan senang, Raya juga akan jadi milikku… Diva? Ah, kamu tetap ada di hati, tapi aku lelaki, dan lelaki boleh kan punya dua? Bukankah itu juga yang Ibu bilang?"
Ia menoleh ke arah kamar, di mana Diva tengah tertidur lelap. Arman menghela napas, sedikit rasa bersalah menyelinap, tapi dengan cepat ia menepisnya. “Tak apa, Diva tetap istriku, hanya saja… Raya akan menjadi pendampingku juga. Dan ibu tak sabar ingin menimang cucu. Diva sudah cukup lama tak memberi harapan.”
Ia mengangguk-angguk sendiri, lalu membuka pesan dari ibunya.
Bu Susan: “Man, besok kita mulai fitting jas ya. Biar pas hari H semua rapi. Jangan bilang Diva apa-apa, biar saja dia pikir semuanya baik-baik saja.”
Arman mengetik cepat
Arman: “Siap, Bu. Semua terkendali. Diva tak akan tahu.”
Namun yang tak disadari, langkah yang ia pikir terkendali... sudah lebih dulu dibaca oleh mata yang jauh lebih tajam.
Diva berdiri di ambang pintu dengan tatapan curiga yang disembunyikan dalam senyum tipisnya. Ia melihat Arman sudah rapi dengan kemeja putih dan celana bahan, wajahnya tampak sedikit gugup meski berusaha tenang. Bu Susan pun berdandan lebih dari biasanya lipstik merah muda dan kebaya santun yang terkesan terlalu rapi hanya untuk acara arisan.
"Loh, mau ke mana Bang sama Ibu pagi-pagi begini?" tanya Diva, nada bicaranya tenang namun matanya tajam mengamati.
Arman tersentak kecil, lalu cepat-cepat tersenyum. "Ini mau antar Ibu arisan di kota, Sayang."
Diva mengalihkan pandangan ke arah Bu Susan yang langsung mengangguk, tapi terlihat ragu sepersekian detik.
"I… iya, Div. Arisan bulanan," jawab Bu Susan cepat. Tangannya merapikan tas, seperti ingin cepat-cepat pergi.
Diva hanya tersenyum sambil menatap jam dinding. "Oh ya? Tumben rapi banget arisannya. Tapi ya sudah, hati-hati ya."
Ia melambaikan tangan perlahan, matanya mengikuti mereka sampai pintu tertutup.
Begitu mobil Arman melaju menjauh dari rumah, Diva berbalik menuju kamar dengan langkah tenang, namun sorot matanya sudah penuh strategi.
"Fitting jas, ya? Baiklah, kita lihat seberapa jauh kalian bisa bermain di belakangku."
Di sebuah butik pernikahan yang elegan namun tersembunyi di pusat kota, Arman berdiri di depan cermin penuh dengan jas berwarna abu muda yang dipadukan dasi krem. Ia menatap dirinya sendiri dengan campuran gugup dan bangga, sementara Bu Susan duduk di sofa beludru sambil tersenyum puas.
"Masya Allah… duh, senang banget Ibu, Man," ucap Bu Susan sambil menepuk-nepuk dadanya, seolah menahan haru bahagia.
Arman hanya tersenyum tipis, menatap dirinya di cermin, namun tak berkata apa-apa.
Saat itu, tirai ganti terbuka dan Raya melangkah keluar dengan gaun pengantin sederhana namun anggun. Gaun putih dengan renda di bagian lengan dan pinggang membuat tubuhnya tampak ramping dan elegan.
Bu Susan langsung berdiri, matanya berbinar.
"Ya ampun, calon menantu Ibu cantik sekali!" katanya penuh semangat, lalu menggenggam tangan Raya dengan lembut.
Raya tersipu malu. "Makasih, Bu," jawabnya lirih sambil menatap Arman, yang hanya memberikan senyum kecil tanpa berkata apa-apa.
Mereka bertiga berdiri di ruangan itu seperti tiga orang yang tengah mempersiapkan hari bahagia. Tapi hanya satu yang tahu bahwa sebenarnya ada badai besar yang menunggu di ujung perjalanan ini.
Diva duduk di tepi ranjang, mengenakan daster polos dengan rambut digelung seadanya. Tatapannya kosong, tapi tajam. Di tangannya, sebuah ponsel menyala dengan aplikasi pesan yang baru saja dibalas oleh seseorang bernama Reno.
“Mereka masuk butik pengantin di daerah kota, Mbak. Ibu dan suami.mbak sudah masuk. Saya tunggu di luar.”
Diva mengetik balasan cepat tanpa ekspresi
“Kalau kamu bisa masuk ke butik itu lagi, bagus. Lihat detailnya. Foto siapa pun yang terlibat. Jangan sampai ada yang terlewat.”
Ia menaruh ponsel di meja kecil samping tempat tidur, lalu berdiri perlahan. Wajahnya datar, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyiratkan satu hal ia sudah tidak main-main.
“Main api, ya? Baik… aku ikut main, tapi dengan bensin,” gumamnya pelan.
Sementara itu, Reno yang mendapat perintahnya langsung melangkah ke arah butik dengan langkah ringan dan kamera tersembunyi dalam kancing bajunya. Di dalam butik, suara tawa Bu Susan dan senyum gugup Arman menjadi musik latar dari kepalsuan yang sedang disulam dengan rapi.