" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menanti Kepastian
Hari ini, Nindy kembali dengan semangat yang tak bisa disembunyikan. Matanya berbinar saat menceritakan perkembangan kedekatannya dengan Deva. Senyumnya tak pernah lepas dari wajah, seolah dunia sedang bersikap sangat baik padanya.
“Aku mau kasih lihat sesuatu,” kata Nindy antusias, menyodorkan ponselnya ke Ara.
Di layar ponsel itu, Ara membaca jelas deretan pesan romantis dari Deva. Kalimat-kalimat manis yang biasanya muncul di fase awal pendekatan. Tak ada yang janggal. Bagi Ara, semuanya terlihat wajar. Seorang pria sedang mencoba menaklukkan hati wanita yang ia suka.
Melihat temannya begitu bahagia, Ara pun ikut merasa senang. “Aku nggak nyangka, Nin. Akhirnya kamu ketemu juga sama laki-laki kayak Deva. Kapan nih aku dikenalin langsung?”
Nindy terkekeh kecil, lalu menggigit bibirnya, malu-malu. “Hmm… nanti ya, Ra. Hubunganku sama Deva belum resmi. Kecuali… kalau dia udah ngajak aku nikah, baru deh aku kenalin.”
Ara mengangguk-angguk, lalu menatap Nindy dengan serius. “Tapi aku kasih tahu satu hal, ya, Nin. Kalau dalam enam bulan nggak ada kejelasan, kamu harus siap-siap lepasin dia.”
Ucapan Ara membuat senyum di wajah Nindy perlahan memudar. Matanya sedikit menyipit, seperti mencoba memahami maksud dari perkataan itu.
Melihat reaksi Nindy, Ara buru-buru menambahkan,
“Maaf ya, Nin. Aku bukannya mau menjatuhkan semangatmu. Tapi kita ini udah bukan anak remaja yang cuma cari cinta buat senang-senang. Kita butuh kepastian. Lihat aja nanti, dalam enam bulan ke depan… kalau dia serius, dia pasti menunjukkan. Tapi kalau kamu cuma digantungin—aku mohon, jangan buang waktumu.”
Nindy terdiam. Ia menunduk, membiarkan kata-kata Ara meresap dalam pikirannya. Ia sadar, kadang cinta bisa membutakan logika. Dan Ara, seperti cermin yang mengingatkannya agar tak lupa berpikir jernih.
Beberapa detik kemudian, Nindy mendongak.
Senyumnya kembali muncul, kali ini lebih kalem dan mantap.
“Kamu benar, Ra. Tujuanku membuka hati lagi bukan buat main-main. Aku juga ingin segera menikah. Dan… aku yakin Deva anak yang baik. Lagipula, dia bukan cuma pilihanku—dia juga pilihan Ayahku.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam ini, Kevin masih berada di dalam apartemen Selly. Mereka telah menghabiskan waktu bersama sejak siang tadi.
"Kevin, bagaimana dengan nasib istrimu, Martha itu? Kamu bahkan lebih sering menghabiskan waktu denganku daripada dengan istrimu," ucap Selly, sambil menyenderkan kepalanya di bahu Kevin.
Sambil mengusap lembut kepala Selly, Kevin menjawab, "Aku lebih nyaman bersamamu. Setiap kali aku sampai di depan gerbang rumah, rasanya penat sekali. Aku bahkan sudah bisa membayangkan ekspresi Martha dengan tatapan tajamnya itu."
"Apakah dia seberani itu padamu? Bukankah dia wanita yang lemah lembut dan tidak bisa melawanmu?" tanya Selly penasaran.
"Entahlah, mungkin wanita itu sudah dirasuki sesuatu. Beberapa bulan terakhir ini, Martha berubah menjadi sosok yang sangat berbeda," jelas Kevin.
"Kamu tidak berniat menceraikannya?"
Kevin menghentikan usapannya pada rambut Selly. Ia terdiam sejenak, lalu perlahan menyingkirkan kepala Selly dari bahunya. Ia mengubah posisi duduk, lalu memegang kedua bahu Selly dengan lembut.
"Sel, apa kamu sungguh berpikir bisa menikah denganku?" tanya Kevin.
Dengan ekspresi manja, Selly mengangguk pelan.
Kevin melanjutkan, "Sel, dengarkan aku. Untuk membuktikan bahwa kita saling mencintai, kita tidak harus menikah. Perhatianku padamu, hadiah-hadiah yang kuberikan, waktu yang selalu kuluangkan bersamamu semua itu sudah cukup membuktikan cintaku."
Kevin menatap Selly penuh kasih. Namun, seolah belum puas dengan jawaban itu, Selly kembali bertanya,
"Apakah kamu yakin? Dengan cara seperti ini, hubungan kita bisa bertahan lama?" tanyanya penuh keraguan.
"Iya, percayalah padaku," jawab Kevin mencoba meyakinkannya.
Selly terdiam, menatap Kevin. Ia mencoba memantapkan hatinya, meyakini bahwa kata-kata Kevin adalah jalan terbaik bagi kelanjutan hubungan mereka.
Saat Selly masih diam, Kevin memeluknya erat. Ia membisikkan kata-kata di dekat telinganya,
"Jangan pernah ragu dengan apa yang kukatakan, Sel. Malam ini aku masih bersamamu, itu salah satu bukti bahwa aku mencintaimu."
Selly membalas pelukan itu. Sambil memeluk Kevin, ia berusaha meyakinkan diri bahwa Kevin akan bertanggung jawab atas semua yang telah ia ucapkan.
Namun sungguh, kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dirasakan Deva. Setiap harinya, Deva terus memikirkan Selly, bahkan menyembunyikan hubungannya dengan Bu Lastri dan Nindy. Sementara itu, Selly menjalani hubungan romantis dengan Kevin tanpa rasa bersalah. Hanya saja, Selly mulai sadar hubungan ini seolah tak akan pernah berubah. Ia tetap menjadi wanita simpanan Kevin.
“Lalu, boleh aku balik bertanya, Sel?” tanya Kevin dengan sorot mata tajam.
Selly mengangguk pelan. “Iya, tentu. Silakan.”
Kevin menatapnya dalam, seolah mencoba membaca isi hati gadis itu. “Apa kamu benar-benar tidak berniat melepaskan Deva sepenuhnya? Supaya kamu bisa fokus hanya padaku.”
Pertanyaan itu membuat Selly terdiam. Pikirannya berputar cepat. Deva bukan sekadar masa lalu ia adalah sumber dari kegembiraan yang selama ini sulit Selly lepaskan. Tapi di saat yang sama, dia tahu, selama masih terikat pada Deva, dia takkan pernah bisa memberi hatinya sepenuhnya untuk Kevin.
Namun, satu hal yang pasti... Membayangkan Deva bahagia bersama wanita lain, terasa seperti hal yang sulit diterima. Dan itu, sesuatu yang belum siap dia hadapi.
“Kalau itu… maaf, Kevin. Aku belum rela melepaskan Deva,” ucap Selly pelan, tapi tegas.
Jawaban itu menghantam Kevin seperti pukulan telak. Raut wajahnya berubah kecewa.
“Apa sih alasanmu masih mempertahankan hubungan dengan laki-laki sepertinya? Apa aku masih kurang di matamu, Sel? Aku sudah berusaha memenuhi semua kebutuhanmu, perasaanmu… segalanya,” ucap Kevin, emosinya mulai memuncak.
Selly menatapnya tanpa ekspresi. “Karena aku belum siap melihat dia bahagia… dengan wanita lain.”
Kevin mengerutkan kening. “Jadi, hanya karena itu? Tidak ada alasan lain? Bukan karena kamu masih menyimpan perasaan padanya?”
“Apa yang aku katakan itu… adalah isi hatiku sebenarnya. Kamu lupa ya, Kevin? Di awal hubungan kita, kita sepakat untuk tidak cemburu dan tidak saling menuntut.”
“Ya, tapi itu dulu! Sekarang kita saling jatuh cinta, Sel! Hubungan kita sudah lebih dari sekadar kesepakatan semu!” suara Kevin mulai meninggi, tak mampu lagi menyembunyikan amarah dan kekecewaannya.
Selly tetap tenang, tapi ucapannya seperti pisau tajam. “Kalau kamu tidak bisa menerima keputusanku, maka terserah.”
Kevin berdiri dari sofa dengan gerakan cepat, wajahnya menegang. Ia meraih kunci mobil di meja.
“Kalau begitu, aku pergi. Kalau kamu masih memilih bertahan untuk laki-laki seperti dia!.”
Tanpa menunggu jawaban, Kevin melangkah pergi, membiarkan emosi membawanya menjauh dari wanita yang telah mengikat hatinya tapi belum benar-benar memilikinya.
Dari balik jendela kamarnya di lantai atas apartemen, Selly berdiri membisu. Matanya tak lepas menatap sosok Kevin yang sedang masuk ke dalam mobilnya.
Tatapan Selly penuh kebimbangan. Hatinya dihantam dilema yang tak kunjung reda. Apakah benar... saatnya ia melepaskan Deva sepenuhnya?
Ia menarik napas panjang, seolah berharap udara malam bisa meringankan sesak yang ia rasakan.
"Apa aku memang harus memilih...?" bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.