Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepupu Sintya
Sepulang Inaya dari audit, Sintya kembali menghubunginya dan mengatakan jika dirinya senggang bisa ikut Latihan di studio yang tidak jauh dari rumahnya. Inaya menolaknya dengan mengatakan jika dirinya masih banyak pekerjaan. Saat Inaya libur, barulah ia berkunjung ke rumah Sintya.
“Masuk, Nak Ina!” seru Bapak Sintya yang melihat kedatangan Inaya.
“Bapak, sehat?”
“Alhamdulillah.. Lama tidak kemari kamu tambah cantik, Nak!”
“Bisa saja, Pak. Ibu mana?”
“Ibu di belakang sedang buat ikan panggang. Bapak dapat banyak tangkapan hari ini.”
“Alhamdulillah..”
“Kamu ke belakang saja sambil nunggu Sintya. Bapak mau ke balai desa.”
“Baik, Pak.”
Inaya yang sudah terbiasa ke rumah Sintya, membuat mereka memperlakukannya seperti anak sendiri dantidak lagi sungkan dengan kedatangannya. Berbeda dengan Inaya yang masih merasa sungkan dengan perlakuan Sintya dan kedua orang tuanya.
“Jangan kemari! Nanti bajumu bau asap!” seruIbu Sinta yang sedang mengasapi ikan di samping dapur.
“Tidak apa-apa, Bu.”
“Tidak usah dibantu, sebentar lagi selesai. Nanti kalau kamu pulang bawa, ya? Tangkapan Bapak hari ini lumayan banyak.”
“Kenapa tidak di jual saja, Bu?”
“Sudah di jual Sebagian, ini sisanya. Orang-orang jarang mau dengan ikan P kalau tidak diasapi.”
“Bukannya kalau sudah diasapi seperti ini akan lebih mahal harganya?”
“Tenang saja! Uang yang dihasilkan sudah cukup. Ini rezeki untuk di rumah dan kamu.”
Inaya tidak lagi mendebat Ibu Sintya. Keluarga Sintya adalah keluarga nelayan yang tinggal di pinggiran Pantai. Bahkan di dalam rumah Sintya, Inaya masih bisa mencium bau amis khas laut. Inaya yang tidak terbiasa terkena angin laut akan mudah masuk angin saat angin laut bertiup kencang sehingga setiap kali berkunjung, ia akan mengenakan pakaian tebal.
Beberapa saat kemudian, Sintya kembali. Ia datang dengan membawa banyak barang bersama dengan calon suaminya yang juga merupakan pelaut dari kota sebelah.
“Sudah lama nunggunya?” tanya Sintya memeluk Inaya.
“Tidak, Mbak. Baru saja. Halo, Mas!” sapa Inaya.
“Halo juga.” Jawab Teguh yang memang sudah mengenal Inaya sejak pertunangan mereka.
“Pernikahan kami dimajukan, Dek! Kamu harus jadi domasku, ya?”
“Aku tidak bisa janji, Mbak.”
“Tenang saja! Acaranya di hari Minggu, jadi kamu tidak punya alasan untuk menolakku!”
“Baiklah, kapan?”
“Satu bulan lagi, tanggal 14 Februari. Mbak sengaja memilih tanggal itu karena tanggal itu juga kami pertama kali berkenalan.”
“Apa tidak ada hitungan neptu, Mbak?” tanya Inaya penasaran.
“Tidak ada, Dek!Kami orang pesisir tidak kolot dengan hitungan weton. Jadi kami bisa leluasa memilih hari asalkan tidak bertepatan dengan hari yang menjadi pantangan.”
“Enak, Mbak.” Gumam Inaya.
“Apa, Dek?”
“Tidak apa-apa, Mbak!”
“Ayo aku kenalkan dengan sepupuku! Kebetulan dia sedang ada di rumah. Jarang-jarang saat kamu berkunjung dia pas pulang miyang.” Inaya hanya menurut.
Seorang laki-laki yang sedang duduk di pelataran rumah, segera berdiri saat melihat Sintya dan Inaya yang keluar dari rumah karena rumah mereka berhadapan. Maklum, satu blok yang di tempati Sintya merupakan rumah keluarga besar sehingga rumah mereka saling berhadapan dan bersebelahan.
“Dek Weko, ini Inaya yang aku ceritakan kepadamu.”
“Weko.” Laki-laki Bernama Weko itu mengulurkan tangannya.
“Inaya.” Sambut Inaya yang menyalami tangan Weko.
“Dek Weko ini miyang sama dengan Mas Teguh, Dek. Bedanya, kalu Mas Teguh bisa sebulanan, kalau Dek Weko hanya 20-22 hari saja.” Inaya menganggukkan kepalanya.
Sintya mulai menceritakan banyak hal. Pembicaraan di dominasi rencana pernikahannya yang telah disusun bersama Teguh. Inaya menjadi pendengar setia di sampingnya. Ia merasa tidak nyaman karena pandangan mata Weko selalu menuju ke arahnya.
Tak lama kemudian, Ibu Sintya mengajak mereka untuk makan siang. Weko juga ikut makan siang bersama mereka. Setelah makan siang, Inaya berpamitan untuk pulang karena ia hanya izin kepada sang ibu sampai sehabis dzuhur.
“Kamu kesini pakai bus kan, Dek?” tanya Sintya.
“Iya, Mbak.”
“Biar Dek Weko yang antar kamu pulang! Kasihan kalau kamu harus naik angkot dan cari bus lagi.”
Ya. untuk sampai ke rumah Sintya, Inaya harus naik bus selama 50 menit untuk sampai di pangkalan angkot dan naik angkot selama 10 menit untuk sampai di gang yang ada di depan SMA 1. Selanjutnya ia berjalan menyusuri gang sekitar 50 meter untuk sampai di rumah Sintya.
“Tidak, Mbak! Takut merepotkan.” TolakInaya.
“Tidak merepotkan sama sekali.” Kata Weko sambil tersenyum.
“Dengar, Dek? Dek Weko tidak keberatan.” Sintya tersenyum menang.
Inaya tidak bisa menolak karena Bapak dan Ibu Sintya juga mendukung Weko untuk mengantarkannya. Setelah memastikan ikan yang disiapkan Ibu Sintya dibungkus rapi, Inaya berpamitan.
“Pakai motorku saja, Dek!” perintah Sintya karena motor Weko adalah motor laki, sedangkan Inaya sedang menggunakan rok saat ini.
“Pinjam, ya?”
“Ya, jangan lupa diisi bensin full!”
“Tenang saja!”
Weko membonceng Inaya menggunakan motor matic milik Sintya. Saat mendekati terminal, Inaya memberanikan diri untuk berbicara.
“Turunkan saya di terminal saja, Mas.”
“Kenapa?”
“Saya takut jadi omongan tetangga kalau diantar sampai rumah.”
“Kenapa takut?” Tanya Weko yang menepikan motor.
“Saya hidup di desa, Mas. Beda dengan Mas yang tinggal di pinggiran kota. Di desa, setiap gerak-gerik saya akan diperhatikan orang. Jika mereka tahu saya diantarkan pulang oleh laki-laki, mereka akan menyebarkan gossip yang tidak-tidak.” jelas Inaya.
“Kenapa kamu harus takut? Aku mengantarkanmu di siang bolong secara terang-terangan, bukan mengantarkanmu secara sembunyi-sembunyi.”
“Iya, tapi..”
“Tidak apa-apa! Aku akan mengantarkanmu sampai rumah dan aku akan mengatakan kepada ibumu kalau aku sepupu Mbak Sintya.” Tegas Weko yang kemudian kembali melajukan motornya.
Inaya hanya bisa pasrah. Dalam benaknya, ia sudah membayangkan bagaimana gossip akan tersebar setelah para tetangga tahu dirinya diantarkan pulang oleh laki-laki.
Sejak SMK, Inaya menjadi sasaran gossip warga desa karena pilihannya yang masuk ke SMK tidak seperti Perempuan desa lainnya yang memilih untuk masuk SMA atau bekerja.
Pernah suatu Ketika, Inaya diantarkan pulang oleh temannya karena sudah tidak mendapatkan bus ke arah desanya karena batas bus antar kota yang melewati desanya adalah jam 5 sore. Ia juga pernah diantarkan pulang oleh gurunyamalam-malam karena dirinya baru saja selesai mengikuti karnaval.
Warga desa segera menggosipkan Inaya sebagai Perempuan yang sering gonta-ganti pasangan. Hal tersebut memicu murka sang ibu yang akhirnya melarang Inaya untuk diantarkan oleh teman atau gurunya.
Akhirnya, setiap kali Inaya sampai di terminal di atas jam 5 sore, ia akan naik angkutan trayek khusus pedagang yang akan berangkat setelah maghrib.
.
.
.
.
.
*miyang: berangkat melaut untuk menangkap ikan.