Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku akan buat sekolah sendiri
Bayu, dengan kaca jendela yang dibuka separuh, menampilkan senyum sinis yang selama ini hanya tinggal dalam ingatan pahit. Tatapannya menyelidik, licik seperti dulu. Lalu keluar kata-kata yang memancing luka lama kembali berdarah.
“Hahaha! Kamu sekarang jadi gembel, kasihan banget. Makanya jangan jadi istri durhaka! Gimana? Enakan jadi istri durhaka, San?”
Santi berdiri tegak. Tubuhnya memang lelah. Namun matanya tetap tegak, tak bergeming sedikit pun oleh ejekan itu.
Nabil, si kecil yang belum genap tujuh tahun, menggenggam tangan ibunya. “Mah, kenapa setan itu datang lagi sih?” gumamnya lirih.
Dan sebelum Santi sempat menjawab, suara lain menyusul. Lebih nyaring. Lebih menusuk.
“Hey, anak sialan! Kenapa kamu menghina Bayu, hah?” Sinta, ibu Bayu, membuka pintu mobil dan berdiri dengan tangan berkacak pinggang.
Santi menoleh pelan. Ada luka yang mengendap lama di matanya. Tapi ada juga api yang mulai menyala. “Hey, nenek tua jelek! Jangan hina anakku! Ngaca dulu, tuh mulut anak kamu lebih bau dari comberan!”
Sinta tersentak. “Kurang ajar kamu, Santi! Sekarang kamu udah berani ya! Sini kamu, akan kutampar!”
“Turun aja sekalian, Nek!” Santi tak mundur. “Biar aku banting dan lempar ke kali!”
Bayu tertawa. Tapi tawa itu tak hangat. Hanya cermin dari seorang lelaki yang hidup dalam kesombongan semu.
“Mantanku ini belagu banget. Udah miskin, masih sombong!”
Santi menatap langsung ke mata Bayu. Tatapan seorang perempuan yang telah hancur berkeping tapi memilih untuk tidak remuk.
“Miskin? Emang kapan aku kaya, Bayu? Hidup sama kalian itu derita terus. Kau kira aku sedih kehilangan semua itu? Tidak! Justru aku merasa bebas!”
Bayu menyipitkan mata. “Jangan sok kuat kamu! Kamu tahu tidak, aku sekarang mau melamar wanita. Cantik, kaya, dan kerja kantoran. Nggak kayak kamu, pengangguran menyedihkan. Semua ini salah kamu. Kamu istri yang nggak taat, makanya kamu menderita!”
Santi mengangkat bahu. “Bodo amat. Aku peduli? Hidupku bukan urusanmu lagi. Dan hidupmu juga bukan hakmu untuk pamer ke aku. Pergi sana, nikah sama siapa pun, aku nggak rugi.”
Dari dalam mobil, suara lain menyahut. Suara yang membuat darah Santi mendidih.
“Hey Santi, kamu pikir kami kehilangan kamu? Lihat itu, Mas Bayu udah punya mobil! Kamu? Ah, sungguh menyedihkan. Tapi tenang aja, kalau kamu mau kembali ke rumah kami, bisa kok. Bukan sebagai istri Mas Bayu, ya. Tapi pembantu! Kamu bisa makan gratis di rumah. Tapi anakmu itu, tinggalkan aja. Biar jadi pengemis di jalan sama adikmu!”
Santi menghela napas panjang. Nadinya berdenyut kencang. Tapi ia menahan semua itu dalam satu kalimat pendek yang tajam seperti sembilu.
“Najis. Aku harus kembali ke keluarga brengsek kayak kalian? Selain menghina, kalian tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Dasar berengsek! Akan aku hajar kamu!” Nani turun dari mobil.
“Turun aja. Biar aku injak wajahmu dan kamu tahu rasanya aspal jalan!” seru Santi tanpa gentar.
Sinta menoleh ke Bayu dengan mata membelalak. “Bayu! Mantan istrimu ini makin kurang ajar! Hajar dia! Kasih pelajaran wanita jalang itu!”
Bayu membuka pintu mobil. Kaki kanannya menyentuh aspal, lalu tubuhnya turun sepenuhnya. Tangannya mengepal.
Tapi langkah Bayu terhenti.
Di hadapannya, berdiri Heru. Diam, tapi seperti pohon beringin tua di tengah badai. Teguh.
Heru membuka sedikit bajunya. Menunjukkan sesuatu yang terikat di pinggangnya. Sebilah golok kecil. Bekas dari hari-hari sunyi di hutan, berburu demi hidup. Ia menatap langsung ke Bayu, tak bergeming.
“Satu helai rambut kakakku jatuh olehmu, akan kupastikan tamat riwayatmu hari ini.”
Bayu tertegun. Sinta menjerit. Udara berubah. Matahari seolah tertutup awan, dan bayangan Heru terasa lebih besar dari tubuhnya.
Tak ada yang berani bicara. Tak ada yang bergerak.
Heru tidak banyak bicara. Tapi sorot matanya berkata banyak. Ia bukan orang yang suka cari masalah. Tapi kalau keluarganya dilukai, maka darahnya sendiri siap menjadi benteng.
Santi menarik napas. Tatapannya kini tertuju ke Bayu, ke Sinta, ke Nani.
“Pergi. Sebelum kami benar-benar menganggap kalian musuh.”
Bayu menatap Heru, menatap Santi, lalu akhirnya menunduk. Ia meludah ke tanah. Tapi tak berkata apa-apa lagi. Ia masuk kembali ke mobil. Menutup pintu dengan keras.
Mesin dinyalakan. Roda berputar. Debu beterbangan. Mereka pergi.
Yang tertinggal hanya keheningan. Dan luka yang kembali dibungkus diam-diam oleh angin.
Nabil menatap ibunya. Lalu berkata pelan, “Mah, aku bangga sama Ibu.”
Santi menoleh. Menatap wajah mungil itu. Wajah anak yang dulu pernah ia pertahankan dalam derita. Dan sekarang, menjadi alas kekuatannya.
“Ibu juga bangga punya kamu, Nak,” balasnya pelan.
Tak lama kemudian, seorang pedagang naik membawa keranjang berisi kue. Di atas keranjang tertempel potongan koran bekas.
Nabil menatapnya sekilas, lalu berkata pelan, “Kompas, edisi Selasa, 8 Maret 2022. Kolom ekonomi, sebelah kanan bawah.”
Pedagang itu terkejut. “Lho, kamu bisa baca segitu cepat?”
Heru tersenyum kecil. “Anak ini... beda. Dia belum bisa baca buku cerita, tapi koran satu halaman bisa dia hafal dalam lima detik.”
Santi menatap putranya dengan mata berkaca. “Dia aneh, tapi juga ajaib.”
“Uang yang ada di dasbor ada 20.000, pecahan 2.000 ada 5, uang koin 500 ada 10, koin 1000 ada 5,” gumam Nabil pelan, matanya terfokus pada uang yang ada di dasbor mobil.
Supir yang mendengar itu, menyipitkan matanya ke arah dasbor, merasa terkejut. “Wah, bener banget kamu, Dik. Padahal belum aku beresin loh,” ucapnya heran, terkesan dengan kemampuan Nabil.
Nabil hanya tersenyum tipis, lalu menjawab dengan santai, “Berhitung itu menyenangkan.”
Supir itu mengerutkan kening, seolah tak percaya. “Masa sih mikir itu bikin pusing?” tanyanya dengan nada sedikit bingung.
Nabil menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan yakin, “Cogito, ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada. René Descartes.”
Supir itu terdiam sejenak, terkejut mendengar kutipan filsuf terkenal dari anak sekecil Nabil. “Oh, begitu ya. Anak pintar banget,” gumamnya.
Seorang penumpang yang mendengarkan percakapan itu, lalu bertanya, “Bu, anak ini sekolah di mana?”
Santi, ibu Nabil, menunduk dan menjawab dengan suara pelan, “Dia enggak sekolah.”
Penumpang itu langsung menatap heran. “Ah, sayang sekali. Harusnya dia disekolahkan, Bu. Jangan sayang sama uang,” katanya dengan nada menyesal.
Santi menghela napas, terlihat sedikit ragu. “Ga ada yang mau menerima anak saya di sekolah,” jawabnya, kecewa.
Namun, Nabil, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, tiba-tiba bersuara lagi dengan nada datar, “Aku mau buat sekolah sendiri, sekolah yang besar sekali, sehingga tak ada kaya miskin di sekolah. Aku ditolak sama sekolah, maka aku akan buat sekolah sendiri.”
Kata-kata Nabil membuat semua yang ada di dalam angkot terdiam. Nada suaranya yang datar dan penuh keyakinan membuat suasana semakin sunyi. Santi menatap anaknya, merasa ada sesuatu yang luar biasa dalam diri Nabil. Begitu muda, tetapi penuh ide dan tekad yang besar. Dalam hati, Santi berdoa semoga impian Nabil suatu saat bisa menjadi kenyataan.