Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Galak & Berbahaya
Angin malam membelai kulit Meta perlahan-lahan, seraya mengamati keindahan kota di malam hari dari rooftop kafe milik keluarga Dewa. Kecepatan gerak angin mengayun rambut Meta yang tergerai sebahu, sesekali mengganggu dan membuat pemiliknya berdecak malas. Pandangan Meta jauh, tampak dari bagaimana cara ia menatap hamparan kota dari sini. Putra yang tengah duduk bersama Yoga dan Andre tak melepaskan pandangannya dari gadis itu sejak kedatangan mereka ke tempat ini.
Putra bangkit, hendak menghampiri Meta yang saat ini berdiri di pembatas rooftop. Namun langkahnya terhenti saat Yoga dan Andre menyadari keanehan sifat Meta dan Putra malam ini. Dari mulut Yoga terlontar pertanyaan, "Malam ini penampilan kita kurang memuaskan, lo berdua nggak fokus. Agaknya gue kecewa, nggak ada yang mau minta maaf?"
"Perlu lo tau kalau musik adalah nyawa kita. Lewat musik kita bisa bicara dan bercerita kalau kita sedang terluka, ataupun sedang bahagia. Tapi penampilan kita barusan bikin gue khawatir bakal dikritik habis-habisan sama Bu Tria. Sebagai guru seni dan sosok hebat dibalik kesuksesan kita, gue yakin beliau nggak mau ekskul musik dan band sekolah jadi taruhannya." Andre mendadak jadi orang paling benar, membuat Yoga terpukau.
Yoga mengacungkan jempol. "Malam ini lo cukup pinter. Jadi lo mau diamuk Meta? Liat keadaannya kayak apa," omelnya pada Andre.
"Gue mau bilang, jangan menjadikan band kita sebagai taruhan atas kekacauan dalam hidup kita. Jasa Bu Tria perlu diingat, dan yang terpenting gue bergantung sama band ini untuk memenuhi kebutuhan sekolah gue," papar Andre melebih-lebihkan. Putra hanya diam saja, sedang berpikir bahwa Meta juga sama sulitnya seperti mereka. "Kalau kita bubar, otomatis gue jadi beban lagi."
Yoga kesal mendengar celotehan Andre yang akan membuat Meta tambah kecewa. Bahkan saat cowok itu melirik Meta sekilas, cewek itu memandang sedih dan bersalah hingga kembali memperlihatkan punggungnya. Karena tak tahan, Yoga pun menyentil bibir Andre kelewat kencang, membuat si empunya memekik keras.
"Bangsat! Najis tangan lo nyentuh bibir gue!" maki Andre sambil mengusap bibirnya.
"Diem anjing atau gue buang lo ke bawah?!" ancam Yoga, untungnya berhasil membuat Andre diam walau hatinya tidak demikian.
"Lo berdua pulang duluan. Gue harus ngobrol sama Meta untuk ngebahas masalah ini. Jangan khawatir, Ndre. Kita pasti bisa mempertahankan band sekolah dan ekskul musik yang nggak berkembang dari tahun ke tahun," balasnya yang setengah mencibir Andre. Sebab keberhasilan mereka juga bukan atas dukungan pihak sekolah saja, melainkan karena keinginan dan kegigihan mereka untuk mengembangkan band dan ekskul musik. Tapi Putra juga tidak mau sombong, peran Bu Tria memang amat besar untuk mereka sebagai pendamping.
Setelah mengatakan hal itu, Putra berlalu meninggalkan teman-temannya yang berisik dan tidak tahu diri atas kesedihan yang dialami oleh Meta. Setibanya di samping Meta, Putra menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mencoba untuk ikut tersesat bersama Meta dalam kesedihannya sendiri.
Saat Meta menyadari kehadiran Putra, ia tersenyum hangat. Putra pun membalasnya dengan senyuman dan sebuah pertanyaan. "Kapan gue bisa dapat penjelasannya, Ta?"
"Lo butuh jawabannya sekarang?" tanya Meta sambil menyerong tubuhnya sedikit pada Putra.
Cowok itu mengangguk, lalu mengantarkan pandangan pada langit. "Kalau lo berkenan, kenapa enggak. Gue nggak mau lo merasa semakin tertekan, Ta. Soal penampilan hari ini, lo tetap memukau dengan cerita sedih yang lo bawa ke atas panggung. Kita nggak akan bubar, gue yang akan bertanggung jawab atas itu," jelas Putra tanpa berani menatap manik mata gadis di sampingnya. Sebab jika tidak demikian, mungkin Meta akan tahu bahwa ada perasaan yang lebih dari sekadar teman untuknya.
"Kenapa selama ini bapak nggak pernah melarang gue berhubungan sama lo, Tra?" Sebenarnya pertanyaan itu sudah cukup lama Meta pikirkan, tapi baru hari ini mendapat keberanian untuk mengutarakannya. Hal yang membuat Meta dan Aksel menjadi overthinking. "Siapa lo sebenarnya?"
Putra tertawa masam, menghadapi kenyataan ternyata jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Padahal dirinya sendiri yang meminta untuk lebih dekat walau di kehidupan barunya ia sudah cukup bahagia. Putra hanya ingin memastikan kalau hidup Beni tidak akan berakhir tenang. Beni harus mendapatkan hukuman.
"Gue cuma orang yang memiliki salah satu harapan yang sama dengan lo, Ta."
"Maksud lo?" heran Meta. "Kita kenal pas kelas dua SMP, kan? Lo datengin sekolah gue cuma untuk ketemu gue. Gue ngerasa aneh, sebelum itu kita pernah ketemu, Tra?"
"Gue kenal lo dan keluarga angkat lo. Tapi lo nggak kenal gue, harapan yang gue maksud adalah kehancuran bapak lo. Dan kita nggak pernah ketemu sebelum itu."
Hanya Meta yang memandang wajah Putra dengan tanda tanya di kepala, pemuda itu terus-terusan menatap langit yang semakin hitam. Seolah sengaja menghindari kontak mata dengannya, membuat Meta curiga untuk kali pertamanya. Sebab Putra punya orang tua yang cukup kaya, tinggal di perumahan mahal yang lokasinya berdekatan dengan area perkampungan kumuh tempat Meta tinggal.
Hal apa yang membuat Putra begitu damai berada di dekatnya, bahkan berkeinginan yang sama dengannya? Meta mulai penasaran.
"Udahlah nggak usah dibahas, Om Beni kenal siapa orang tua gue dan sering ke sana. Makanya gue dikasih ijin untuk temenan sama lo."
Meta membulatkan mulutnya sambil mengangguk paham. "Pantesan aneh, bapak sering nggak berkutik di depan lo," ujar Meta lalu tertawa, seolah mengingat reaksi Beni saat itu adalah hal yang dapat mengundang tawa.
Putra menanggapi candaan Meta dengan senyuman tipis, lalu menoleh pada cewek itu. "Hape lo nggak bisa dihubungi sejak pagi. Gue tau ini ada kaitannya sama bapak lo, kan?" tanya cowok itu langsung pada intinya, capek berbasa-basi.
Tawa Meta berganti, kemudian menghilang. Berganti dengan tatapan kosong nan sendu yang berhasil membuat Meta terjebak cukup lama. Sampai akhirnya ia menghela napas lagi, berharap dengan melakukan itu, beban di pundaknya cepat menghilang.
"Gue jual karena bapak minta uang terus. Gaji kita di sini, kan, belum keluar. Ya udah, daripada ibu dipukulin terus dan bikin gue terobsesi untuk bunuh dia, hapenya gue jual."
Mendengar pengakuan Meta, Putra tertawa sambil mengusap puncak kepala cewek itu. Di belakang mereka ada sosok pemuda yang memakai jaket bertuliskan Destroyer, yang baru saja tiba setelah Yoga dan Andre turun dan pamit padanya. Aksel tak memberikan banyak reaksi, ia masih berusaha tenang dan tidak tersulut emosi walau saat ini tubuhnya terbakar cemburu.
"Nanti pulang dari sini gue beliin hape baru, ya. Biar gue yang ngomong sama Om Beni."
"Nggak perlu repot-repot, Tra. Yang ada hapenya bakal dirampas sama bapak buat dijual lagi. Lo simpen aja uangnya," tolak Meta.
"Gue akan pastiin kalau Om Beni nggak akan jual hape baru lo!"
Setelahnya tak ada tanggapan dari Meta, dia hanya bisa tertawa ringan untuk menutupi rasa sedih dalam hatinya yang sudah berlarut-larut. Beni semakin menekannya, tak ada yang tersisa di hidup Meta selain cinta yang Risa berikan untuknya. Beni bertindak seolah hanya itu yang bisa ia peroleh sebagai anak dari perempuan hina.
"Nggak usah khawatir, gue nggak akan macem-macem, Ta. Lo sama ibu akan aman!" janji Putra sambil merangkul pundak Meta dan Meta membalas rangkulan itu dengan sebuah pelukan.
Melihat hal itu, pemuda yang sejak tadi berdiri di belakang mengepalkan tangannya. Pada tangan kanannya terdapat sebuah kotak handphone baru yang sengaja ia belikan untuk Meta. Merasa posisinya terancam, Aksel pun melangkah maju untuk merusak suasana kebersamaan Meta dan Putra.
Cowok itu berdehem sambil mengulurkan kotak ponsel yang ia beli tadi. "Barusan gue beli hape buat abang gue, tapi dia nggak suka modelnya. Buat lo aja, nih!" ucapnya tanpa bersalah. Membuat Meta dan Putra cepat-cepat melepas pelukan dan menatap heran Aksel yang seperti orang bodoh.
"Nggak, gue nggak butuh hape!" ketus Meta. "Lo sadar, nggak, lagi ngerusak suasana di sini?"
Putra berdehem, menjadi salah tingkah akibat ucapan Meta. Tetapi lirikan tajam Aksel memanah tepat ke jantungnya, membuat Putra kehilangan pasokan udara dan segera memberi ruang bagi keduanya untuk berbicara.
"Gue nggak suka ditolak, Ta. Cukup waktu itu aja lo nolak gue, dan mempermalukan gue di depan banyak orang. Sekarang ikut gue dan jangan banyak ngebantah!" titah Aksel semena-mena sampai membuat rahangnya mengeras. Menatap Putra dengan tatapan tidak suka dan penuh peringatan.
Melihat adegan pemaksaan yang Aksel lakukan, tentu Putra tidak bisa tinggal diam. Lagi pula ia khawatir hal itu akan membahayakan nyawa Meta dan Risa di rumah. Karenanya sekarang Putra mencengkeram lengan Meta agar mereka berhenti.
Meta terkejut menatap Putra akan reaksinya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Cowok itu cukup kesal, sebab Aksel bisa membuat kekacauan di hidup Meta nantinya.
"Lepasin. Lo harus tau kalau tindakan lo ini akan mendatangkan bahaya buat Meta sama ibunya."
Aksel berdecak setelah membalikkan punggungnya untuk menatap Meta dan Putra kembali. "Lo pacarnya?"
"Gue memang bukan pacar Meta, tapi gue nggak mendatangkan bahaya buat dia. Lo ngerti maksud gue?" tanya Putra sambil menaikkan sebelah alisnya.
Merasa tidak terima diperlakukan seperti itu oleh orang yang ia anggap asing dan sudah menahan amarah sejak tadi di dekat pintu, Aksel kehilangan kewarasannya dengan melepaskan Meta dan mengepal tangannya kuat-kuat. Mengayunkan kepalan itu kemudian membuat Putra jatuh tersungkur.
"Putra!" teriak Meta histeris, terkejut melihat sikap keterlaluan Aksel. "Lo gila? Ngapain lo mukulin Putra?!"
"Gue nggak suka lo ikut campur urusan gue. Kalau lo suka sama Meta, jangan menghalangi jalan gue untuk dapetin dia!"
"Putra itu sahabat gue, nggak mungkin dia suka sama gue. Kemarahan lo nggak beralasan sialan!"
Aksel menyunggingkan senyum kesal, matanya masih menatap Putra dengan kemarahan yang membara. Jika tidak dihalangi oleh Meta, mungkin Putra sudah mendapatkan serangan selanjutnya tanpa ampun dari Aksel.
Netra Aksel berpindah pada Meta yang berdiri di dekat Putra yang tidak bisa bangkit dari duduknya karena pening. "Kalau nggak lo pake, gue akan bikin Putra masuk rumah sakit!" ancam Aksel sambil melemparkan kotak ponsel yang tidak ingin diterima oleh Meta. Setelah itu Aksel membalikkan badannya, meninggalkan dua orang itu dan membawa pergi seluruh amarahnya.
"Dasar hama! Pengganggu!" kesal Meta seraya menatap kotak ponsel yang jatuh di dekat kakinya. "Bener-bener sialan!"