META
Semakin kuat cambukan itu mengenai punggungnya, semakin erat pula Meta menggenggam tangannya. Memicingkan mata menahan rasa sakit yang membuat punggungnya kebas seketika. Meta tak berani menatap laki-laki yang saat ini tengah mencambuknya dengan ikat pinggang kulit miliknya, ia hanya pasrah seperti biasa diperlakukan seperti bukan manusia.
Perkara uang, Meta harus diperlakukan tidak adil seperti ini oleh iblis bertopeng manusia. Meta tidak mengerti mengapa ia bisa bertahan selama bertahun-tahun bersama kedua orang tua angkatnya. Hal baik apa yang sedang semesta siapkan untuk hidupnya?
"Sudah, Mas, kamu menyakiti Meta! Berhenti! Seharusnya kamu sadar, kita masih bisa bertahan hidup karena Meta. Kenapa kamu memperlakukan dia seperti ini?!"
"Diam kamu! Kamu nggak perlu ikut campur urusan saya sama anak perempuan murahan ini. Lebih baik urus diri kamu sendiri!"
"Kamu kemanain uang hasil manggung di kafe? Jawab saya, jangan cuma diam!" Laki-laki itu mengumpat, ayunan tangannya seakan tidak berhenti. Meta tidak banyak bergerak, apalagi bersuara. Seperti biasa, dia hanya diam dan diam. Membiarkan rasa sakit itu menggerogoti raganya. Membiarkan air mengalir di sudut matanya dengan perih yang sejujurnya tidak bisa ditahan sempurna.
Meta masih bisa mendengar jeritan wanita berusia 42 tahun yang berdiri di dekat sofa. Bertumpu pada kakinya yang menggigil, menatap suaminya yang untuk kesekian kalinya bertindak tidak wajar pada Meta. Perempuan sakit-sakitan yang saat ini hanya bisa menangis melihat segala penderitaan Meta itu adalah Risa, dan suaminya bernama Beni. Mereka adalah orang tua angkat Meta sejak kakak laki-laki Meta meninggal dunia. Meta menelan ludahnya, ia merasakan cambukan itu semakin cepat melibas punggungnya. Kalau bukan karena Meta sangat menyayangi wanita itu, mungkin sudah lama dunia ini ia tinggalkan, Meta sungguh tak ingin bertahan dalam harapan kosong.
Karena anak perempuan murahan ini lo bisa main judi sepuas lo! Karena anak perempuan murahan ini juga, lo bisa sepuasnya main sama cewek murahan.
Seharusnya lo memperlakukan gue seperti manusia, bukan binatang! Gue pengen banget ngeliat lo mendekam di penjara dan mati di sana, gue sama Ibu nggak butuh laki-laki bajingan kayak lo!
Seharusnya sumpah serapah itu Meta lontarkan langsung kepada Beni, akan tetapi Meta seakan kehilangan suaranya. Dia tiba-tiba bisu dan hanya bisa memasrahkan diri sampai Beni puas telah menyiksanya. Meta sungguh tak mengharap apapun lagi sejak kerumitan hidup membuatnya harus bekerja keras. Bahkan hanya untuk memperjuangkan hal kecil, Meta harus mengorbankan banyak hal.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Bibir Meta mengatup menahan perih yang menjalar ke seluruh tubuhnya, saat Risa mengobati luka bekas cambukan di punggungnya. Sedikitpun Meta tak bersuara, ia tidak ingin perempuan itu mengkhawatirkan dirinya.
Lagi-lagi air mata lolos dari pelupuk mata Risa, ia tak bisa melindungi gadis itu sebagaimana yang diamanatkan oleh Vina-ibu kandung Meta-kepadanya. Risa merasa sangat bersalah, membuatnya setiap malam harus menangis karena penderitaan Meta sedari kecil.
"Seharusnya uang itu kamu kasih aja ke Bapak, malam ini kita nggak usah makan. Sekarang liat, karena kamu nggak ngasih uang itu ke Bapak, luka di tubuh kamu makin banyak dan nggak sembuh-sembuh. Ibu nggak mau kamu kenapa-napa, Ta." Risa memulai obrolan setelah terdiam setengah jam yang lalu, tepat setelah kepergian Beni dengan sisa luka di hati Risa dan Meta. "Sebenarnya kamu sayang, kan, sama Ibu?"
Meta menghela napas berat dan dalam tatkala Risa berucap dengan suara bergetar. Jika saja Tuhan berbaik hati untuk mengambil nyawa Beni, ia pasti akan sangat bersyukur. Namun yang terjadi justru sebaliknya, membuat dunia tertawa terbahak-bahak.
"Ibu ngomong apa, sih. Jelas aku sayang banget sama Ibu," jawab Meta seraya bangkit dari baringannya, kemudian memeluk Risa yang duduk di sampingnya. "Karena hari ini Ibu ulang tahun, makanya uang itu nggak aku kasih ke Bapak. Aku beliin Ibu sesuatu, terus sisanya buat kita makan malam."
Risa tersenyum melihat gadis berambut pendek itu tersenyum lebar ke arahnya, mencium pipinya dengan penuh kasih dan memeluknya dengan erat.
"Ibu juga sayang sama Meta, makanya Meta jangan sampai kenapa-napa. Jangan terlibat urusan apapun yang membahayakan diri sendiri di luar sana, ya!"
"Ibu tenang aja, aku bisa jaga diri baik-baik, kok," balas Meta kemudian melepaskan pelukannya, menatap Risa dengan wajah cerah walau bibirnya berdarah dan tulang pipinya membiru. "Malam ini Ibu mau makan apa? Biar aku beliin."
Meta melihat jam di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Biasanya sesampainya di rumah, Meta dan Risa sudah makan dengan nasi bungkus yang ia beli di rumah makan Padang yang biasanya masih buka sampai tengah malam. Kalau memasak, Meta tidak bisa, biasanya Risa yang melakukan pekerjaan itu dan Meta yang membelikan bahan-bahannya.
Tangan Risa mengusap wajah Meta dengan lembut, senyum indah merekah di bibirnya. "Kita makan di rumah aja, ya? Tadi Ibu udah masak telur balado, sayang uangnya kalau dipakai untuk makan di luar," ujarnya.
"Ayolah, Bu. Hari ini Ibu ulang tahun, masa iya kita makan di rumah. Aku mau ngajak Ibu makan makanan yang enak, tadi juga aku ngajakin Putra. Dia setuju, dan katanya dia bakal jemput pake mobil biar Ibu nggak kedinginan."
"Uangnya kamu simpan aja, ya? Ibu nggak mau kamu susah karena Bapak, seharusnya sekarang kamu hidup enak, Meta. Lagi pula kamu udah kelas tiga, sebentar lagi lulus. Perlu uang yang banyak, Sayang."
"Uang masih bisa kita cari, Bu. Tapi kenangan sama orang yang kita sayang, terlalu berharga jika dibandingkan sama uang. Aku nggak apa-apa nggak lanjut sekolah, asalkan bisa sama Ibu," ungkap Meta. "Lagi pula, ini juga baru semester awal dan baru besok masuk sekolah, setelah libur kenaikan kelas, kan? Ibu nggak usah khawatir."
Mendengar jawaban itu, hati Risa mencelus sakit. Senyum lebar di bibir Meta menyembunyikan segala duka yang gadis belia itu jalani. Risa hanya membalasnya dengan senyum dan genangan air di pelupuk mata, lalu menatap kamar Meta yang hanya memiliki satu lemari dan gitar di sudut kamar, serta satu kasur berukuran kecil yang langsung menyatu dengan lantai. Kalian bisa gambarkan sesulit apa kehidupan Meta bersama keluarga angkatnya.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Meta menatap ponselnya yang berdering sejak pagi selama beberapa kali. Sejak bangun pagi, lalu mandi dan sarapan bersama Risa, Meta tak lagi ke luar kamar dan hanya menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Bahkan hari sudah beranjak sore, Meta tak kunjung mengangkat panggilan yang berasal dari sahabat-sahabatnya. Saking khawatirnya pada Meta, Renata, Wulan dan Kayla sampai bergantian menghubunginya hingga sore.
"Bukannya gue nggak mau ke sekolah hari ini, keadaan gue lagi nggak memungkinkan aja untuk pergi. Kalau gue paksain, akan ada banyak pertanyaan dan kekhawatiran dari lo semua. Sama aja gue bocorin rahasia gue sama kalian, padahal gue udah susah-susah nyembunyiinnya."
Meta mengajak benda pipih itu mengobrol, matanya hanya memandangi permukaan layar ponsel dengan tatapan tak berminat. Hingga langkah seseorang perlahan mendekat dan akhirnya berdiri di pintu kamar dengan sepiring nasi di tangannya.
"Meta, sedang apa? Di luar ada yang nyariin kamu, katanya penting."
"Putra, Bu?" tanya Meta cepat, karena sejauh ini hanya Putra yang tahu alamat rumahnya. Akan tetapi Risa menggelengkan kepala, yang menandakan kalau orang yang datang berkunjung bukanlah sosok yang baru Meta sebutkan.
Risa memasuki kamar Meta dan meletakkan sepiring nasi itu di dekat kasur. Ia ingat putrinya itu belum makan, lagi pula Meta juga sedang tidak sehat, sangat membutuhkan perhatiannya.
"Kelihatannya udah setengah jam dia di teras. Ibu tadi masak di dapur, nggak kedengeran kalau ada yang manggil. Coba kamu liat sendiri biar jelas, Ibu juga nggak sempat nanya namanya siapa. Wajahnya asing bagi Ibu."
Meta mengangguk mengiyakan lalu bangkit dan menggandeng lengan ibunya. Keduanya berjalan beriringan menuju teras rumah, menemui sosok pemuda yang ternyata masih memakai seragam sekolah pada jam yang hampir menunjukkan pukul setengah lima sore.
Saat Meta mendahului ibunya dengan wajah dan pakaian yang sangat kusut, pemuda itu menoleh dan terkejut melihat keadaan Meta yang tidak sewajarnya.
"Lo ngapain ke sini?!" Suara Meta melengking tinggi melihat sosok gagah dan tampan di depannya adalah Aksel Daru Achilles. Pemuda anggota geng paling tersohor di sekolah bernama Destroyer, yang selalu ia hindari di sekolah dan di tempat kerjanya. Meta membuat Risa terkejut dan bingung, sepertinya ia tahu keduanya memiliki hubungan yang kurang baik.
"Kenapa lo nggak masuk?"
"Bukan urusan lo!"
"Muka lo kenapa?"
"Perlu banget lo tau urusan gue?! Pulang sana lo, gue lagi nggak pengen berantem sama lo!"
Jujur saja sejak melihat Meta di sebuah restoran yang lokasinya berdekatan dengan Prismatrix Cafe semalam membuat rasa penasaran Aksel terhadap Meta bertambah. Apalagi sosok yang dipanggil ibu oleh perempuan itu dan sosok Putra yang sudah seperti seorang kekasih bagi Meta. Hingga Aksel mengikuti mereka pulang dan berhasil mendapatkan alamat rumah Meta. Sungguh kejutan ia berhasil mendapatkan alamat rumah yang selama ini gadis itu sembunyikan.
Sejak awal melihat keadaan rumah Meta yang sederhana, Aksel kira memang ada sesuatu yang Meta sembunyikan dari dunia luar. Apalagi hari ini ia tidak datang ke sekolah, untuk menjalani hari pertama sebagai siswi kelas XII di SMA Gemilang. Dan yang membuat Aksel tergamang adalah luka di wajah perempuan itu, ia seakan takut jika kedatangannya justru membuat Meta semakin menjauh darinya.
Enggan membahasnya lebih jauh, Aksel mengarahkan pandangan pada wanita berbaju daster dengan sanggul kecil di belakang Meta. Wanita itu tersenyum ke arahnya, Aksel balas tersenyum dan mengeluarkan tangannya.
"Saya Aksel, Tan, temannya Meta. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun, kita dikasih kesempatan untuk jadi teman sebangku di kelas yang sama."
"Saya Risa, ibunya Meta, maaf kalau Meta berbicara terlalu kasar, karena kondisinya sedang tidak baik hari ini," balas Risa sambil menyambut uluran tangan Aksel, mengabaikan kemarahan Meta, berikut dengan tatapan sinis dan tatapan tidak sukanya terhadap Aksel. "Kalian duduk dulu, saya buatkan minum."
Setelah dibalas anggukan oleh Aksel, Risa berlalu ke dapur membuatkan teh dan menyiapkan camilan. Risa meninggalkan suasana canggung antara Aksel dan Meta.
Aksel kembali duduk di kursi teras, matanya tidak mau diam memperhatikan rumah Meta yang sangat sederhana. Hal tersebut membuat Meta kembali memanas, hingga dengan sengaja memukul meja pembatas kursi dan membuat Aksel terkejut. Meta menyunggingkan senyum saat Aksel menatapnya dengan bingung, lalu perempuan itu duduk di kursi sebelah Aksel.
"Pulang selama gue masih minta baik-baik, jangan nunggu gue darah tinggi baru lo mau angkat kaki dari sini," celetuk Meta memasang ekspresi datar dan dingin. "Dan satu lagi, jangan terlalu kepo sama segala hal tentang gue, karena gue dengan senang hati menolak kedatangan lo di hidup gue!"
"Dan lo perlu tau kalau gue nggak peduli terhadap penentangan lo!" tukas Aksel membatu, diikuti dengan telunjuknya yang diarahkan pada Meta. "Satu lagi, gue akan menang melawan pertahanan lo, apalagi gue mendapatkan dukungan dari Tante Risa."
Meta menghela napas untuk tidak berkata kasar, namun setelah mengatupkan bibir dan susah payah menahan diri, akhirnya Meta kelepasan juga.
"Sialan!" makinya. "Lo pikir gue akan membukakan jalan lebar-lebar untuk lo dan semua kekepoan lo itu? Jangan harap! Gue peringatin, ya, Sel, sama lo. Berhenti mencaritahu segala hal tentang gue, berhenti jadi manusia paling batu di bumi. Dan terpenting sekarang, berhenti datang ke rumah gue!"
"Meta, nggak boleh ngomong kasar begitu!" Risa tiba-tiba muncul membawa nampan dan meletakkannya di atas meja bundar di tengah-tengah kursi. "Aksel, sering-sering, ya, main ke sini, biar Meta punya teman dan nggak marah-marah lagi, hatinya kasian."
"Ibu!" tegur Meta. "Aku nggak mau punya teman kayak dia!"
"Jangan galak-galak, Sayang," peringat Risa dan kembali melirik Aksel. "Sel, Tante masuk dulu, cemilannya dimakan, ya. Kuat-kuat batin kalau mau ngobrol sama Meta!"
Aksel mengacungkan jempol dengan senyuman lebar. "Tante tenang aja, saya udah cukup terlatih dengan kegalakan Meta," balasnya yang membuat Risa terkekeh sebelum meninggalkan teras rumah.
Meta berdecih selepas kepergian Risa, dia benar-benar menunjukkan kekesalannya pada Aksel. "Mau apa lo sebenarnya?" tanya Meta akhirnya, dia muak berada di situasi seperti ini. "Dari awal kita ketemu kehadiran lo cuma bikin gue tambah susah! Udah, deh, mendingan sekarang lo pulang dan nggak usah ke sini lagi!"
"Gue ke sini mau ngajak lo jalan, mau?"
"Lo bolos hari ini?"
Aksel terkekeh mendengar pertanyaan Meta, ia merasa seperti mulai diperhatikan sekarang.
"Kenapa kalau gue bolos? Lagi pula hari ini nggak belajar, baru hari pertama, kan?"
"Gue nggak mau ada orang lain yang tau alamat rumah gue, Sel. Tutup mulut lo rapat-rapat kalau nggak mau kepala lo gue penggal!"
Entah bagaimana caranya menunjukkan keseriusan pada lelaki itu, Meta juga tidak tahu. Yang bisa ia lakukan adalah menghentikan Aksel untuk terus terlibat dalam kehidupan pribadinya. Karena Meta begitu takut ketika ayah angkatnya bersikap tidak waras, mungkin Aksel akan menjadi korban seperti seseorang di masa lalunya.
Sayang sekali Meta tak bisa bersuara lantang saat mengungkit masalah itu, ia selalu memendamnya hingga menyakiti dirinya sendiri.
"Gimana? Kita jalan, atau lo mau gue sebarin alamat rumah lo?" Aksel memasang wajah usil sambil menaik-turunkan sebelah alisnya.
"Aksel! Lo bener-bener nyari mati datang ke rumah ini, bangsat!" Meta berteriak histeris sampai Risa terperanjat di kamarnya. Wanita itu merinding merasakan kemarahan Meta, pasalnya pada siapa saja, tanpa memandang gender, Meta selalu menggunakan kekerasan dan bahasa yang sangat kasar.
...
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments