Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
【Belle, the Saint's Scholar】 2
Aku harus mendapatkan teman hari ini.
Tujuan itu terasa semakin jauh seiring berjalannya waktu, apalagi ketika mata Beatrice tertuju pada para siswa di sekitarnya.
Dari posisinya di deret paling belakang, Beatrice bisa melihat teman-teman sekelasnya yang tersebar di barisan depan.
Di sebelah kanannya, dipisahkan oleh dua kursi kosong dan sebuah gang, seorang gadis duduk dengan tenang.
Rambutnya yang panjang, hitam legam, tergerai laksana air terjun gelap, berkilau lembut di cahaya.
Di salah satu tangannya, ia memegang kipas lipat dengan pola bunga dan benang emas, dan ia membuka-tutup kipas itu dengan gerakan anggun yang terukur.
Setiap gerakan kipas tampak seperti bagian dari tarian yang halus, menambah kesan elegan pada tiap tatapannya tanpa sepatah kata pun terucap.
Posturnya sempurna, gerak-geriknya terencana namun tampak tanpa beban, seakan setiap gerakan—bahkan kemiringan kepalanya saat mendengarkan pidato—adalah pertunjukan keanggunan.
Saat ia mengetukkan pinggiran kipas ke telapak tangannya dengan irama yang hampir kontemplatif, rasanya lebih seperti ekspresi pikiran yang disengaja ketimbang kebiasaan asal-asalan.
Hati Beatrice ciut melihatnya.
Dia... terlalu sempurna.
Lebih jauh ke bawah barisan, seorang gadis lain menarik perhatiannya.
Rambut pendek gelap membingkai wajahnya dengan gaya simpel namun memikat, dan ia duduk agak condong ke belakang, posturnya santai namun menyiratkan rasa percaya diri.
Sekilas seringai terukir di sudut bibirnya, seolah ia lebih terhibur daripada terinspirasi oleh acara ini.
Ada energi kasual pada dirinya, sesuatu yang membuat Beatrice justru merasa makin kecil.
Dia mungkin akan menertawakanku jika aku nekat mengajaknya bicara.
Di sisi lain aula, duduk seorang gadis berambut cokelat yang tatapannya tajam menembus udara.
Rambutnya ditata rapi, seragamnya nyaris tanpa cela, dan sikapnya memancarkan ketepatan sempurna.
Ia duduk tegak, dagu sedikit terangkat, matanya mengamati ruangan dengan penilaian tenang.
Beatrice cepat-cepat mengalihkan pandangan, merasa seakan gadis itu mampu membaca pikirannya jika mata mereka bertemu.
Terlalu mengintimidasi.
Pandangannya melunak saat berhenti pada seorang pemuda besar di deretan tengah.
Bahu lebarnya seakan tak muat di kursi, dan ia terlihat gelisah, mungkin sadar sepenuhnya akan posturnya yang besar.
Meski terlihat canggung, ekspresinya menunjukkan kebaikan yang malu-malu saat ia fokus pada panggung.
Beatrice sempat memikirkannya, tapi ukuran tubuhnya saja membuatnya merasa teramat kecil.
Mungkin dia akan marah jika aku ajak bicara.
Terakhir, matanya tertuju pada seorang pemuda ramping di barisan paling depan, berkulit pucat dan bertubuh kecil.
Ia terus-menerus membetulkan kacamatanya dengan gerakan presisi, seolah sedang menyetel alat musik.
Pandangan matanya tak lepas dari panggung, dan sikapnya yang nyaris tak bergerak memberikan kesan terpisah dari dunia di sekelilingnya.
Beatrice ragu-ragu.
Seperti dia tenggelam di dunianya sendiri.
Kedua tangannya makin erat bertaut di pangkuan saat keraguan menyusup.
Setiap wajah yang dilihatnya seolah memiliki rintangannya masing-masing, kepercayaan diri dan kepribadian mereka membuatnya merasa semakin kecil dan tak terlihat.
Bayangan untuk mendekat kian terasa mustahil.
Tubuhnya tenggelam sedikit di kursi, tekadnya goyah.
Mungkin ini mustahil.
Tanpa disadarinya, beberapa siswa di bagian lain mulai memperhatikannya.
Dari sudut pandang mereka, postur tegap dan keheningan Beatrice memberinya kesan misterius.
Di mata mereka, ia tampak tak tersentuh, sosok bangsawan dengan jarak yang bukan lahir dari rasa malu, melainkan kebesaran.
Pelan-pelan, mereka berbisik, menebak-nebak siapa gerangan gadis itu, lamunan mereka jauh dari keraguan diri yang dialami Beatrice sendiri.
Pikiran Beatrice teralihkan ketika suara si pembawa acara kembali terdengar, menarik fokus seluruh aula ke panggung.
"Dan kini, untuk menutup segmen ini, kami menyambut Penerima Beasiswa Saint’s Scholar untuk tahun ini.
Mewakili Kelas 1-A, mari berikan perhatian Anda kepada Belle."
Beatrice menegakkan tubuh, memperhatikan dengan saksama saat mendengar gelar Saint’s Scholar.
Penghargaan prestisius ini, yang diberikan hanya tiga tahun sekali pada siswa dengan bakat luar biasa, biasanya selalu jatuh ke tangan seseorang dari keluarga bangsawan.
Sejenak, pikirannya melayang.
Jika Dorothea mulai sekolah tahun ini, mungkin dialah yang berdiri di sana.
Rasa penasaran Beatrice kian bertambah saat gadis bintik-bintik kecil di wajah yang ditemuinya di taman menapak ke atas panggung.
Ia teringat kembali pertemuan singkat mereka, dan hatinya tergerak.
Dia... gadis itu.
Penampilan Belle sungguh berbeda dengan para bangsawan yang berbicara sebelumnya.
Seragamnya, meski rapi, sederhana tak memiliki kesempurnaan jahitan khusus yang dikenakan siswa lain.
Rambutnya, diikat menjadi dua sanggul rendah dengan scrunchie sederhana, memberinya kesan lugu, bahkan terkesan kurang sempurna.
Saat ia melangkah ke depan, gerakannya ragu, pandangannya tersirat gugup pada lautan penonton.
Beberapa orang tertawa kecil menahan geli saat Belle sempat tersandung di mimbar panggung, keseimbangannya goyah sesaat.
Pipinya memerah, namun ia kembali berdiri tegak, mengangkat kepalanya dengan secercah tekad.
Beatrice merasakan simpati saat mendengar tawa lirih bergema di antara kerumunan.
Dia pasti sangat takut.
Belle mencengkeram mimbar dengan kedua tangan, buku-bukunya memutih saat ia mulai bicara.
Suaranya bergetar pada awalnya, goyah di bawah tatapan seluruh aula.
Namun, perlahan, nadanya menguat, didorong ketulusan yang mentah, memikat sebagian dan membuat sebagian lainnya gusar.
Kata-katanya lugas, tak biasa, dan tegas, menukik tepat ke jantung ketegangan yang tak pernah terucap.
Beatrice mencondongkan tubuh, mata hijaunya terpaku pada gadis berfreckles itu saat kehebohan mulai menyebar di ruangan.
Di barisan depan Beatrice, reaksi murid-murid beragam.
Si gadis bermata tajam tampak mengernyit, ekspresinya menegang seolah terancam oleh isi pidato tersebut.
Di seberang, si gadis berambut pendek hanya menyeringai, seolah merasa isi pidato itu naif tapi menarik, campuran geli dan ketertarikan di matanya.
Di bagian lain auditorium, seorang pemuda berwajah tegas dengan tatapan tajam condong ke depan, auranya memikat walau ia tak bergerak banyak.
Rambutnya dipotong pendek, tak rapi, seolah disambar sembarangan, menambah kesan berandalan yang sesuai dengan tatapannya yang menyelidik.
Ia mengamati Belle dengan cermat, kedua lengan bertumpu pada lutut, ujung bibirnya tertarik membentuk senyum menyeringai kecil—bukan ejekan, melainkan pemahaman.
Gerakan jarinya yang mengetuk lembut kursinya, seolah mengikuti ritme pikirannya, mengisyaratkan energi gelisah yang nyaris meledak.
Di bagian lain, reaksi tak kalah beragam.
Seorang bangsawan kelas tinggi tertawa kecil di balik sarung tangan, sementara temannya tersenyum, jelas terhibur.
Di sisi belakang panggung, Dorothea berdiri bersama beberapa guru, menghela napas lirih, ekspresinya tetap terkendali tanpa mengungkapkan isi pikirannya.
Begitu pidato Belle mencapai puncaknya, suaranya hampir pecah—bukan karena kelemahan, tetapi karena kekuatan emosi yang meletup:
"Sudah terlalu lama, kita diajarkan bahwa tempat kita ditentukan sejak lahir.
Tapi itu tidak benar.
Kekuatan kita ada pada keinginan kita, bukan pada garis darah kita.
Dan jika kita mau berusaha, kita bisa melampaui apa pun yang mereka bayangkan."
Seluruh ruangan bergemuruh oleh bisik-bisik.
Beberapa bangsawan tingkat rendah saling bertukar pandang gelisah, sementara siswa kalangan menengah berbisik panik.
Beberapa guru mengangguk pelan, raut wajah mereka serius, sementara yang lain mengerutkan kening menolak.
Beatrice bersandar di kursinya, pikirannya berputar.
Kehadiran Belle di panggung memang kikuk, bahkan canggung, namun kata-katanya meninggalkan jejak yang sulit diabaikan.
Dia berbeda, pikir Beatrice.
Untuk pertama kalinya hari itu, setitik harapan berkobar dalam hatinya.
Mungkin... mungkin dia yang kucari.
Mungkin aku bisa berteman dengannya.