"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan.
Irham tak berani sekedar mengangkat kepalanya. Ketika bayangan perkataan itu menyakiti hati semua orang terlebih untuk hatinya sendiri. Untuk itu ia hanya terus menunduk, hingga suara Kiai Ahmad Sulaiman terdengar kembali.
"Katanya mau ada yang di omongin?" Irham tersadar dari keterpakuannya.
Saat ia mengangkat kepala, Irham menemukan Dinar yang menyuguhkan minuman di meja.
"A-anu, Bah, itu.."
Irham gugup, belum bicara saja ia sudah membayangkan hal yang tidak-tidak. Kekecewaan Kiai Ahmad Sulaiman, Bapak, ibunya, termasuk ia sendiri.
"Leh, piye bocah Iki?" komentar Pak Kiai Ahmad Sulaiman sembari terkekeh kecil melihat kegugupan Irham.
"Mau izin bawa Dinar ke Madiun, Bah." akhirnya itu yang di sampaikan Irham.
"Leh, ono opo, Bapak, Ibu, gerah ta?"
"Mboten, namun kangen kalian putu, mantune, mawom, Bah." ( tidak, hanya kangen sama cucu, menantunya saja, Bah.)
"Yo, tak perlu izin Abah itu, kamu bawa kemanapun Dinar, itu rapopo." Kiai Ahmad Sulaiman menerangkan.
Dinar?
Wanita itu duduk di samping suaminya yang tengah dilanda gugup luar biasa.
Ternyata Irham tidak memiliki keberanian untuk melepaskan istrinya,
Diam-diam Irham menggenggam tangan Dinar yang berada di bawah meja, tangannya yang dingin meremas lembut tangan Dinar yang hangat.
Hanya dengan seperti ini saja Irham ingin menangis.
Hanya dengan Dinar yang tak menepis tangannya, Irham sudah sangat bahagia.
Kemana perasaan bosan yang dielu-elukan bulan lalu? Hanya berpisah dua hari saja ia sudah seperti kehilangan semangat hidup.
Dinar menunduk menatap tangannya yang di genggam Irham sebelum tersenyum, Dinar masih kecewa, tapi karena melihat ketegangan di wajah Irham, ia tak tega.
Cinta memang seperti itu, bukan. Bahkan perhatian kecil memberikan kebahagiaan yang besar. Meski jelas-jelas Dinar tahu laki-laki itu sudah sangat melukai perasaannya. Mungkin ini bentuk perhatian yang Irham berikan di hari-hari terakhir mereka menjadi suami istri.
*****
"Memangnya kalian berangkat kapan?" pertanyaan Kiai Ahmad Sulaiman mengembalikan pikiran anak manusia yang tadi entah melalang buana kemana. Keduanya terlalu larut dalam perasaan masing-masing.
Irham baru sadar bahwa dirinya menjadi pusat perhatian di tengah-tengah keluarga Dinar. Setiap mata sedang melihat padanya, termasuk sang istri yang ia genggam tangannya. Irham berdehem pelan.
"Bagaimana kalau sore ini, dek?"
Dinar tersenyum kikuk, di hadapannya seluruh keluarganya, tidak mungkin ia menolak ajakan Irham, dia tak setega itu.
Menghargai sang suami pada akhirnya Dinar ikut pulang bersama Irham kerumah mereka. Rumah yang sudah ditinggalinya empat tahunan itu masih sama seperti saat mereka pertama kali memasukinya.
Irham yang tidur di sofa ruang tengah terbangun, merasakan tepukan di punggungnya. Laki-laki itu mengulum senyum saat melihat sosok yang duduk di depan tubuhnya yang meringkuk di atas sofa. Anak Kiai Ahmad Sulaiman, istrinya.
"Dinar" Irham bergumam lirih.
Dinar mengulurkan satu tangannya, mengelus wajah suaminya. Senyum yang menghias wajah sendu Irham semakin tercetak jelas. Dia menggelengkan kepala, mengecup bertubi-tubi tangan Irham yang menyentuh wajahnya.
Ini pasti mimpi, Irham yakin itu. Tak mungkin Dinar berbaik hati seperti sekarang. Jika mengingat sifat perempuan itu yang sejak tadi enggan bicara.
Akal sehat yang tersisa mengingatkan Irham bahwa Dinar tak lagi menganggapnya suami. Tak mungkin nyata.
"Mas, Mas Irham. Sudah semakin siang. Pak Wildan sudah datang sejak tadi."
Irham mengerjap. Mengapa ada sopir mertuanya? Pikirannya belum utuh, Irham masih menerka-nerka.
"Jadi ke Madiun?" tanya Dinar kemudian, melihat reaksi Irham yang tampak linglung.
Madiun?
Seketika mata laki-laki itu terbelalak, bodohnya ia malah ketiduran.
"Kamu dan Ilyas sudah siap?" tanya Irham mendudukkan diri.
"Iya, sudah, Mas."
Dinar akan berlalu dari hadapan Irham, ketika tangannya di tarik oleh Irham.
"Mas .."
Irham tidak ingin menahan perasaannya lagi, ini mungkin kesempatan terakhir yang ia punya.
"Demi Allah, HP Mas hilang saat di rumah sakit, makanya nggak bisa hubungi kamu kemarin. Sejak Mas datang ke rumah sakit, mas sibuk mengurusi suami Ratih, Mas menemui wanita itu hanya sebentar Dinar.. waallahi." Irham tak melepas pelukannya, dia butuh menjelaskan hal ini, agar Dinar tahu dia tak pernah menganggap istrinya tak penting. Irham rela bersumpah supaya Dinar percaya bahwa dia sangat menyayangkan waktu yang telah berlalu.
Dinar bergeming.
"Mas berjanji, kemarin adalah terakhir kali Mas datang ke rumah sakit menemui mereka, Mas sudah membayar perawat khusus untuk menjaga mereka, dan Mas juga sudah memberitahukan kedua belah pihak keluarga Ratih atau suaminya. Hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi sayang, Mas janji."
Dinar merasakan bahunya basah. Irham menangis di ceruk lehernya. laki-laki yang biasanya terlihat garang kini tengah menangis pilu.
"Mas bertemu Ratih sesaat setelah Mas sampai di rumah sakit, setelahnya Mas sibuk dengan keadaan suami nya dan mendatangi keluarga Ratih di Salatiga." terangnya lagi.
Dinar bereaksi.
"Salatiga, Jawa Tengah?" Dinar kaget mendengar penuturan Irham.
Di ceruk lehernya, Irham mengangguk. "Mas, bagaimana bisa kamu nekat kesana? Kamu pulang pergi mengendarai mobil sendiri?" Dinar tercengang. Ia kesal, bukan karena amarahnya, tapi karena suaminya yang nekad menyetir sendiri dalam perjalanan yang tak bisa dikatakan dekat.
"Mas tidak sendiri Dek, di temani Dafa." ada rasa hangat menjalar ketika tangan kecil Dinar terulur ikut memeluknya.
"Terakhir Mas bawa-bawa nama Mas Dafa, Mas berbohong." lirih Dinar seperti gumaman.
Ah, iya.. Irham ingat bagaimana malunya saat dia bohong dengan Dinar jika ada urusan di luar dengan Dafa, tapi pas dia datang ternyata Dafa sedang di rumah mertuanya, keluar dari arah dapur pula.
"Kali ini, Mas nggak bohong." gumam Irham. Wajar jika dia tertidur di sofa begitu sampai ke rumah mereka, hampir sehari semalam ia tak tidur. Dan saat ini dia baru bisa merasa waras setelah bisa menjelaskan tentang apa yang terjadi kemarin hingga dia telat datang.
"Mas dari Salatiga langsung mengantarkan keluarga Ratih ke rumah sakit, saat mas mau bayar dengan banking, baru Mas sadar HP Mas nggak ada." Irham mengingat bagaimana kalang kabutnya ia mencari alat komunikasi itu. Hari sudah malam, Dafa sudah di antaranya pulang sebelum ke rumah sakit.
Dinar tersenyum sendu. Ternyata Irham tidak tahu jika ponselnya berada di tangan Ratih.
Irham tersenyum lebar ketika Dinar tidak menolak untuk terus di peluk olehnya, perempuan itu kini justru membalas pelukannya sambil mengelus punggungnya.
"Mas.."
Entah berapa lama mereka diam sambil saling memeluk sampai akhirnya Dinar mengatakan sesuatu yang ia ketahui.
"Ya?"
"Saat aku tiba di restoran, ada pesan masuk dari ponselmu, "
Irham mengendurkan pelukan mereka.
Dinar mengangguk, wanita itu berbalik pergi dari hadapan suaminya, dan kembali kemudian dengan ponsel yang ia sodorkan pada Irham.
Irham menerimanya, dan ikut membaca setiap kalimat yang dikirim oleh seseorang yang telah lancang mengunakan ponselnya.
"Ratih sudah keterlaluan," komentarnya, meremas kuat ponsel di tangan.
Irham menatap wajah Dinar yang diam melihat reaksinya, tidak lama Irham kembali memeluk tubuh istrinya.
Sungguh, ternyata Irham hampir saja kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya hanya karena rasa simpati.
Irham menyesal, sudah bersimpati pada orang yang salah.
"Mas, kalau kayak gini terus, kita nggak jadi pergi ke Madiun nanti." tutur Dinar, yang tak dihiraukan oleh Irham.
Sebenarnya ajakan ke Madiun itu hanya alasan, agar dia bisa membawa Dinar pulang dari rumah Abahnya, Irham ingin bicara empat mata pada istrinya, seperti ini.