NovelToon NovelToon
EGO

EGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Playboy / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Wanita Karir / Keluarga
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: si_orion

Maxwell, Daniel, Edric dan Vernon adalah keempat CEO yang suka menghambur - hamburkan uang demi mendapatkan kesenangan duniawi.

Bagi mereka uang bisa membuat mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan bahkan seorang wanita sekalipun akan bertekuk lutut di hadapan mereka berempat demi mendapatkan beberapa lembar uang.

Sampai suatu hari Maxwell yang bertemu dengan mantan calon istrinya, Daniel yang bertemu dengan dokter hewan, Edric yang bertemu dengan dokter yang bekerja di salah satu rumah sakitnya, dan Vernon yang bertemu dengan adik Maxwell yang seorang pramugari.

Harga diri keempat CEO merasa di rendahkan saat keempat wanita tersebut menolak secara terang terangan perasaan mereka.

Mau tidak mau Maxwell, Daniel, Edric dan Vernon melakukan rencana licik agar wanita incaran mereka masuk ke dalam kehidupan mereka berempat.

Tanpa tahu jika keempat wanita tersebut memang sengaja mendekati dan menargetkan mereka sejak awal, dan membuat keempat CEO tersebut menjadi budak cinta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si_orion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 14

Maxwell mengikuti dan mengamati Pricilla secara diam - diam, dia harus mendapatkan sampel DNA Zayden untuk melakukan tes dengan dia. Dia harus membuktikannya sendiri jika Pricilla tak mau memberikannya bukti.

Maxwell terus mengikuti Pricilla keluar dari aula hotel dan menyusuri koridor. Pricilla masuk ke dalam lift dan Maxwell pun ikut masuk.

Menyadari kehadiran Maxwell, tapi Pricilla tetap diam tak peduli. Dia harus segera menyusui putranya yang kini sedang rewel dan mengantuk. Zayden yang sedang rewel pun tak menyadari keberadaan Maxwell, sehingga bayi itu terus merengek mencoba membuka baju atas Pricilla untuk mendapatkan susunya.

Pricilla melangkah keluar saat lift terbuka, dia berjalan menuju salah satu kamar lalu membukanya. Namun, dengan tidak tahu malunya Maxwell menerobos masuk ke dalam kamar itu dan menguncinya.

Pricilla mendengus, dia sedang kelelahan sekarang apalagi Zayden yang sedang rewel, dan ditambah lagi dengan kehadiran pria itu.

Pricilla rasanya ingin menangis sekarang, dia sungguh lelah dan ingin beristirahat.

"Keluar!" usir Pricilla dengan suara dingin.

"Tidak." jawab Maxwell duduk di single sofa yang menghadap ke ranjang.

"Keluar aku bilang!" Pricilla masih bisa menahan amarahnya, tapi Maxwell tetap tak bergeming, dia justru malah menyalakan rokoknya.

"Jangan merokok di dekat anakku, brengsek!" desis Pricilla melempar Maxwell dengan bantal di dekatnya.

Maxwell kemudian mematikan rokoknya.

"KELUAR!" bentak Pricilla yang sudah kehabisan kesabaran, membuat Zayden semakin menangis kencang.

"Anakmu menangis." ucap Maxwell santai menunjuk Zayden dengan dagunya.

Pricilla mengatur nafasnya, dia duduk diranjang membelakangi Maxwell lalu menurunkan sebelah gaunnya untuk menyusui Zayden.

Zayden mulai tenang setelah mendapatkan ASInya, bayi itu perlahan mulai terlelap dan membuat hati Pricilla kembali menghangat. Amarah dan rasa lelahnya seketika hilang saat melihat wajah bulat tampan putranya.

"Rupanya dia benar anakmu." ucap Maxwell saat melihat Pricilla menyusui Zayden.

Pricilla tak menggubris ucapan pria itu, dia malah asyik mengusap kepala Zayden dan memandangi wajah putranya.

"Apa dia hasil dari kegiatan kita malam itu?" tanya Maxwell yang tak mendapat gubrisan lagi dari Pricilla.

"Atau justru dia adalah hasil dari kegiatanmu dengan pria lain?" tanya Maxwell lagi mencoba memancing Pricilla supaya mau berbicara dengannya.

Pricilla lagi - lagi tak menggubris Maxwell, Pricilla justru malah menciumi kening dan pipi gembil anaknya.

Maxwell kesal ketika Pricilla tak menggubrisnya sama sekali. Padahal dia ingin membicarakan masalah mereka dengan baik - baik, dia ingin membawa Zayden untuk melakukan tes DNA dengannya.

"Aku akan melakukan tes DNA dengan dia." ucap Maxwell lagi tak menyerah untuk mengajak Pricilla berbicara.

"Untuk apa?" akhirnya Pricilla menjawab ucapannya.

"Tentu saja untuk membuktikan bahwa dia adalah anakku atau bukan."

"Aku tak pernah memaksamu untuk percaya ataupun menerimanya." ujar Pricilla.

"Tapi aku melakukannya untuk reputasiku." jawab Maxwell.

"Reputasimu tak akan rusak, aku tak akan pernah mengatakan pada dunia tentang Ayah Zayden. Aku takut anakku malu karena memiliki Ayah yang brengsek." ucap Pricilla.

"Aku tak sebodoh itu, aku tahu kau akan menggunakan anak itu untuk mengancamku dan merusak reputasiku." ujar Maxwell.

"Aku tak peduli dengan reputasimu, dan aku tak akan pernah mengizinkanmu untuk melakukan tes DNA pada anakku."

Maxwell terkekeh. "Kau tak mengizinkannya karena takut kebusukanmu terbongkar, kan? Karena dia bukanlah anakku."

"Terserah. Zayden tak membutuhkan seorang Ayah yang brengsek. Memilikiku saja sebagai Ayah sekaligus Ibunya sudah cukup untuk Zayden." sahut Pricilla.

"Tapi kau datang padaku dengan membawa dia dan mengatakan bahwa dia adalah anakku, apa artinya itu? Kau hanya berniat mempermainkanku?" tanya Maxwell.

"Tak ada yang mempermainkanmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, dan aku tak peduli dengan keyakinanmu mau percaya ataupun tidak, aku tidak memaksa."

Pricilla memang tidak memaksa, tapi kedatangannya bersama Zayden telah mengusik kehidupan Maxwell. Pria brengsek yang biasanya setiap malam akan bersenang - senang bersama wanita justru kini malah selalu larut dalam pikirannya tentang mereka.

Pricilla berhasil mengalihkan perhatian Maxwell hanya dengan ucapan dan kehadirannya.

Maxwell melangkah menghampiri Pricilla yang memunggunginya, dia kemudian duduk di belakang wanita yang sedang menyusui itu. Mata bulat Maxwell menatap wajah tenang Zayden yang sedang menyusu. Tangan bayi itu sesekali menyentuh wajah Pricilla, tangan mungilnya bak membelai wajah sang ibu memberikannya kekuatan.

Pricilla sudah melalui kehidupan yang berat semenjak dia hamil, tapi Pricilla tak pernah sekalipun menyalahkan Zayden atas beban hidupnya. Justru bagi Pricilla, Zayden adalah penyemangatnya, penyangga hidupnya, dan segalanya bagi Pricilla. Bayi mungil itu adalah sumber kekuatan untuk Pricilla.

Maxwell mengangkat tangannya lalu mengelus kepala Zayden. Bayi itu begitu nyaman ketika tangan besar Maxwell menangkup kepala kecilnya. Hati Pricilla menghangat kala melihat Maxwell menyentuh kepala putranya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Pricilla saat tangan Maxwell memilah satu lembar rambut Zayden.

"Jangan macam - macam pada anakku!" seru Pricilla saat melihat Maxwell hendak mencabut satu lembar rambut itu.

Pricilla berusaha menepis tangan Maxwell tapi sialnya, posisinya kini berhasil membuat Maxwell dengan mudah menahan tangannya. Pricilla menatap nanar Maxwell di belakangnya saat pria itu hendak mencabut rambut Zayden.

"Jangan lakukan! Kau gila?! Kau akan menyakiti anakku!" desis Pricilla

 "HWAAAAAΑ...."

Zayden menangis kencang ketika Maxwell berhasil mencabut satu lembar rambutnya dengan kasar. Zayden berontak dan menangis kencang bahkan hingga tak bersuara saat merasakan sakit dikepalanya.

Mata Pricilla memerah, dia berbalik lalu memberikan tamparan keras pada Maxwell. "KAU GILA! KAU MENYAKITI ANAKKU! BRENGSEK!" bentak Pricilla.

Melihat Maxwell yang hanya mematung, Pricilla berbalik dan berusaha menenangkan putranya yang menangis kencang. Dia menimangnya dan mencoba memberikan Zayden pengalihan, tapi bayi itu tetap menangis kencang.

"Ssstt sstt, sayangnya Mama, sssttt, lihat sayang itu ada bintang, heii, lihat bintangnya bagus. Jangan menangis, sayang, sstt ssttt, maafkan Mama ya sayang, sakit ya? Hemm." Pricilla menimang Zayden, sebelah tangannya mengusap kepala Zayden lalu meniup dan menciumnya.

"ssstt." Pricilla terus menciumi kepala anaknya yang masih menangis itu.

Dia kembali menyodorkan asi ke dalam mulut Zayden, beruntung Zayden mau menerimanya dan kembali menyusu dengan tenang. Meskipun masih ada suara sesegukan dari bayi itu, juga matanya yang memerah akibat mengeluarkan air mata.

"Maaf." lirih Maxwell saat tangisan Zayden mulai mereda.

"Pergi." usir Pricilla suara yang amat sangat dingin.

Maxwell tak tahu harus mengatakan apa, dia bingung harus melakukan apa. Dia masih mematung di tempat menatap tangan jahatnya yang sudah menyakiti Anak itu.

Maxwell ingin mendekat ikut menenangkan Zayden, tapi egonya terlalu besar. Sehingga tanpa pamit tanpa permisi, Maxwell pergi dari kamar itu dengan satu lembar rambut Zayden ditangannya.

Pricilla meneteskan air mata saat terdengar suara pintu terbuka lalu ditutup. Dia melihat kepergian Maxwell dari pantulan di kaca jendela dihadapannya.

Dia menangis terisak sambil memeluk Zayden yang mulai tenang dan masih menyusu. Pricilla terisak, hatinya sangat perih. Dia melewati hari yang melelahkan, dia menjalani hari-hari yang begitu membebani dirinya, ditambah Zayden yang sedang rewel, Pricilla lelah sungguh dia lelah. Apalagi dengan sikap Maxwell, perbuatan pria itu barusan sungguh menyakiti hatinya. Pria itu sungguh tega menyakiti anak kandungnya sendiri hanya demi memenuhi egonya.

Pricilla memeluk Zayden dan menciuminya sambil menimang jagoan kecilnya. Tangannya terangkat mengusap kepala Zayden, anaknya pasti merasakan sakit dan kaget sehingga tadi tangisannya begitu kencang bahkan sampai tak bersuara.

"Maafkan Papamu ya, sayang." gumam Pricilla.

Pricilla menidurkan Zayden yang sudah terlelap, dia memandangi wajah Zayden yang sangat mewarisi Maxwell. Wanita itu kembali terisak, dia menangis dalam diam sambil memeluk lututnya dilantai. Pricilla selama ini memang terlihat seperti wanita yang kuat, berkarir dan mengurus anaknya seorang diri, bahkan dia tinggal jauh dari orang tuanya.

Namun, ada yang tak orang ketahui bahwa Pricilla pun memiliki sisi lemah dalam dirinya. Dia tetaplah seorang wanita yang memiliki perasaan yang rapuh, dia tetap manusia biasa yang tak selamanya bisa terus bertahan.

Pricilla merasa lelah ketika orang-orang memandangnya sebelah mata, apalagi dengan kehadiran Zayden. Pricilla tak sanggup mendengar perkataan orang - orang tentang putranya. Zayden adalah pangeran kecilnya, berliannya, kehidupannya, dia adalah malaikat kecil sucinya Pricilla.

Pricilla terkadang merasa lelah, apalagi dengan sikap Jasper yang berubah padanya. Pria itu terus mendesak Pricilla dengan dua pilihan, menikah dengan pria lain atau jujur tentang siapa Ayahnya Zayden. Jasper bahkan terkadang masih menyalahkan Zayden saat dia sedang marah, Pricilla dan Zayden acap menjadi sasaran Jasper saat pria itu sedang marah dan kesal. Itulah yang menjadi alasan Pricilla memilih untuk pergi jauh dari tempat kelahirannya dan tinggal berdua bersama Zayden.

Setidaknya dia memiliki tempat baru untuk kehidupannya bersama sang putra. Tapi kehadiran Maxwell justru membuat ketenangan Pricilla kembali terusik, apalagi setelah dia jujur mengenai siapa Zayden. Salahkah Pricilla mengatakan kejujuran pada pria itu?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!