Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Latihan Kerja
"Mohon izin ngangkat telepon, Bos."
"Silakan."
Jantung gue berdegup kencang! Gue salah lihat atau gimana!? Atau dia gak sengaja kepencet nomor gue, ya!? Gue panik sendiri. Dengan jempol gemetaran, gue mengangkat telepon.
"Halo."
Suaranya! Suara yang sudah cukup lama gak gue dengar!
"Halo, Mardo," katanya lagi.
Gue menelan ludah, menarik napas panjang lalu menjawab.
"I-iya, ada apa ... Nay?"
"Emm ... sibuk nggak?"
Gue melirik ke arah mereka bertiga.
"Sekarang masih sibuk, sih. Kenapa, Nay?"
"Gak apa-apa. Yaudah, nanti kalau udah gak sibuk, telepon aku, ya."
Telepon berakhir. Gue menganga lebar.
"Lo kenapa?" tanya Sulay.
"Telepon aku, ya!" sahut gue.
"Hah!? Apaan, sih lo!"
Si Bos dan Mery ketawa.
Di kantin, gue, Sulay dan Mery duduk satu meja. Gue memandangi Mery yang pada hari ini memakai kaos hitam dengan tulisan kecil 'menantu idaman.'
"Gimana, Do? Lo yakin itu Mery?" tanya Sulay.
"Mer, coba lo senyum, deh," kata gue.
Mery tersenyum. Memang manis, tapi senyumnya beda waktu gue lihat di rumah gue.
"Manis. Tapi gak sama, Pak."
Pipi Mery jadi merah. Kayaknya kebanyakan minum kopi.
"Gak sama gimana?"
Gue mencoba mengingat.
"Gak tahu juga, Pak. Pokoknya senyumnya beda."
Sulay browsing dan menunjukkan banyak foto cewek senyum sama gue. Gak ada satu pun yang sama. Kemudian gue teringat dengan satu foto, yang gue rasa punya senyum yang sama. Gue mengeluarkannya dari saku celana. Sebuah foto yang gue dapat dari pendopo waktu itu.
"Nah! Kayak gini, Pak! Persis gini senyumnya!"
Sulay dan Mery langsung mundur sambil memegangi dahi masing-masing.
"Do, gue gak tahu apa yang terjadi sama lo, tapi ingat kata-kata gue. Lo harus hati-hati!" kata Mery.
"Kita ke ruangan si Bos sekarang."
Dari balik mejanya, dengan secangkir kopi di tangan dan jas kebesaran, si Bos mengusap-usap dahinya sambil memandangi foto yang gue perlihatkan. Mery gak ikut karena harus jaga kedai kopinya. Sulay berdiri di samping gue sambil memegangi tangan kanannya.
"Jadi, kamu dapat foto ini di tempat itu?"
"Iya, Bos. Waktu mau bersih-bersih."
"Sulay, tolong kamu beri dia dasar-dasar bela diri untuk berjaga-jaga."
"Siap, Bos."
"Mardo, mulai sekarang kamu harus bisa memakai pedang pemberian teman lama saya itu. Selama yang saya ingat, pedang itu tidak pernah dipakai untuk kebaikan. Hati-hati."
Gue dan Sulay sudah balik badan mau pergi, tapi si Bos memanggil gue.
"Tunggu, Mardo. Kenapa pedangnya kamu kasih warna merah?"
"B-bukan saya, Bos. Malam itu, pedangnya sempat hilang. Waktu ketemu besoknya, ada di kamar mandi kecampur sama bunga mawar. Dan udah gini warnanya."
Si Bos cuma diam sambil meminum kopinya. Gue dan Sulay kembali ke kantin. Mery melambaikan tangan ke arah kami, padahal lagi banyak pelanggan. Setelah gue meletakkan pedang di atas meja, Sulay meletakkan sikunya di tempat yang sama.
"Lo bisa panco nggak?"
"Gak tahu, Pak. Belum pernah panco."
"Lawan gue. Kalau lo menang, lo gue kasih nomor HP Mery."
"Hah? Gak menarik banget hadiahnya."
"Gak menarik? Gila lo! Lo lihat, tuh. Semua cowok yang ngantre beli kopi, mereka semua mau kenalan sama Mery."
Gue diam aja sambil memperhatikan Mery yang senyum ke arah gue.
"Yaudah, lo mau hadiah apa?"
"Gue lapar, Pak. Traktir mie instan aja, ya."
Sulay langsung menarik tangannya kembali.
"Licik lo. Mana bisa gue melawan orang kelaparan. Gue malah malu kalau gue menang."
"Lha? Gue emang lapar, Pak, tapi gue gak berencana kalah. Gue malu kalau dikasihani."
Sulay menaruh sikunya lagi dengan keras.
"Jadi maksud lo, lo bisa ngalahin gue walau lo lagi lapar? Sombong juga lo, ya."
Gue menerima tantangannya. Kami berdua bersiap dalam posisi masing-masing. Kami saling menatap sambil tersenyum, dan pada hitungan detik, kami langsung saling genggam. Gila! Sulay kayak sapi! Bukan mukanya, tapi tenaganya. Gue adalah orang yang setiap tahun selalu berurusan sama sapi waktu Hari Raya Kurban.
"Boleh juga lo!"
"Jangan ... kentut, ya ... Pak!"
Lengan kami mencoba saling menjatuhkan. Mulai terdengar bunyi retakan pada kaki meja. Semua orang menatap kami, termasuk Mery. Saat ketegangan semakin memuncak, meja kami roboh dan belah dua! Serius! Genggaman kami terlepas, dan Sulay melayangkan tinjunya ke muka gue! Untungnya gue sudah biasa menghindari tendangan kaki belakang sapi kurban, jadinya tinjunya meleset.
Gue pikir semuanya sudah berakhir, ternyata Sulay kembali menyerang gue. Melihat pedang gue yang terjatuh ke lantai, dan mengingat perkataan si Bos kalau itu gak boleh, gue segera meraihnya. Ketika handuknya terlepas, sedetik sebelum tinju Sulay menghantam muka gue, gue menangkisnya dengan pedang. Keren banget.
Muncul percikan api di antara pedang gue dan tangan Sulay. Kami mencoba saling mendorong, dan kemudian terpental. Sulay terpental hingga membuat 2 kursi patah. Gue terpental sambil memegang pedang yang membuat 4 sofa sobek. Pandangan gue jadi gelap dan kepala gue pusing.
"Do! Bangun, Do! Lo gak apa-apa, kan!?"
Gue tahu itu suara Mery.
"Do! Bangun, Do! Masa gitu aja lo pingsan!?"
Dan itu suara Sulay.
Gue membuka mata perlahan. Tampak wajah cemas Mery yang pertama kali gue lihat, dan Sulay yang berdiri di sampingnya sambil memegangi lengannya. Mery membantu gue berdiri sementara Sulay merapikan sofa yang sobek itu.
"Gue kalah, ya, Pak?"
Sulay menatap gue lalu memukul bahu gue.
"Lo mau makan apa?"
Kami bertiga malah tertawa. Gue makan dengan lahap. Sudah lama banget gue gak makan enak kayak gini. Sulay memandangi gue dengan heran dan masih aja memegangi lengan kanannya. Saat pelanggan terakhir pergi dengan secangkir kopi di tangan, Mery mendatangi kami. Dia meletakkan sebuah sarung pedang berwarna hitam di atas meja.
"Coba, deh. Siapa tahu pas," katanya.
Gue membuka handuknya dan mencoba memasukkan pedang gue. Ternyata pas banget dan kelihatan semakin keren.
"Buat lo. Biar handuk kesayangan lo itu kembali ke fungsi utamanya."
"Makasih, ya, Mer."
Gue melanjutkan makan. Mery duduk di samping Sulay. Saat mangkuk mie gue sudah kosong, semua orang di kantin langsung berdiri ketika si Bos tiba-tiba datang. Dia berjalan menghampiri kami.
"Saya dengar ada yang berkelahi di kantin."
"Maaf, Bos. Kami gak berantem, kok. Kami cuma panco," sahut Sulay.
Si Bos memperhatikan 2 kursi yang patah dan 4 sofa yang sobek.
"Kalau mau latihan jangan di kantin lagi, ya."
"Siap, Bos."
"Oh, sekarang sudah pakai sarung, ya?" kata si Bos saat menatap pedang gue.
"I-iya, Bos. Dikasih Mery."
"Jaga baik-baik, ya, Mardo. Itu sarung pedang kesayangannya Mery."
"Siap, Bos."
"Kalian berdua ke ruangan saya, ya. Ada kerjaan. Mery, selamat bekerja kembali."
Saat si Bos melangkah duluan bersama Sulay, gue mengangkat mangkuk ke tempat cuci piring. Mery berjalan mengikuti gue.
"Kenapa, Mer?"
"Gue mau dengar lagu Indonesia Raya, dong di HP lo."
Gue menyerahkan HP gue, lalu gue mulai mencuci mangkuk bekas gue makan. Gak lama, lagu Indonesia Raya terdengar lantang.
"Makasih, ya. Udah cepetan sana, nanti kena marah si Bos lagi. Biar gue yang lanjutin."
"Iya ini udah selesai, kok. Gue pergi dulu, ya."
Mery mengembalikan HP gue, lalu gue berlari kecil menyusul Sulay. Si Bos berdiri menghadap sebuah foto, salah satu dari banyak foto pria berkumis lebat di ruangan itu. Gue dan Sulay berdiri bersebelahan.
"Pria ini pernah memimpin kantor di generasi ke-104. Dia orang yang hebat, bertanggung jawab serta selalu memikirkan keluarga."
Kami mendengarkan.
"Dia meninggal dalam sebuah misi dan meninggalkan seorang anak laki-laki yang sekarang berusia 17 tahun. Dia menurunkan semua keilmuannya kepada sang anak. Karena masih usia remaja, dia sering menyalahgunakannya untuk main-main."
Si Bos berpaling dan menghadap kami berdua.
"Tugas kalian berdua, temui dia, berikan edukasi, dan kalau seandainya dia melawan, jangan ragu untuk mencabut semua ilmu dari ayahnya."
Si Bos mendekati Sulay.
"Inilah alasan kenapa kamu satu-satunya orang yang saya percayai untuk mempelajari ilmu ini. Tanganmu, bisa menarik apa pun."
"Siap, Bos."
"Temui tim informasi, kalian bisa mulai bergerak ketika dapat semua info yang diperlukan."
"Siap, Bos!" kata kami serempak.