Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Awal yang baik
Tiga hari berlalu, Raya akhirnya mendapatkan kabar, jika ia diterima bekerja di rumah sakit. Rasa haru dan ucapan syukur, ia panjatkan. Tak lupa, menyematkan nama Lily dalam do'anya.
"Kamu sudah telpon ibu?"
"Sudah. Alhamdulillah, Lily juga sudah tidak menangis. Sepertinya, dia sudah mulai terbiasa."
"Baguslah. Tapi, kamu harus sering-sering video call, biar dia tidak lupa sama kamu. Namanya, anak-anak, dia pasti akan merasa asing, jika tidak pernah melihat wajahmu."
"Aku tahu." Raya bangkit, membetulkan pakaiannya. "Aku sudah siap. Disana aku akan ganti pakai seragam."
"Ayo, kita pergi. Siang, pulang kerja aku akan menjemputmu. Kecuali, kalau aku shift siang."
"Aku bisa pergi sendiri."
Tepat jam 8 pagi, Raya tiba di rumah sakit, tempat ia bekerja. Suasana sudah ramai dengan antrian pasien, di lobi. Ia mempercepat langkahnya, masuk dalam sebuah ruangan. Ternyata, Raya tidak seorang diri. Sekitar ada 20 pekerja, sedang berdiri menunggu. Diantaranya, ada pria dan wanita yang kira-kira umur 30 tahun keatas.
"Silahkan duduk," ucap seorang wanita yang bertubuh sintal. "Kalian akan dibagi dan bergabung dengan kelompok yang sudah lebih dulu bekerja. Pekerjaannya memang hanya sebatas membersihkan, tapi memberikan pengaruh besar, bagi rumah sakit kita. Kalian mengerti kan, maksud saya?"
"Mengerti, Bu." Mereka menjawab secara bersamaan.
"Pekerjaan kalian, bukan hanya pagi hari saja. Jadi, akan ada jadwal shift nantinya. Terus ada seragam yang harus kalian kenakan dan yang paling penting, saya tidak mau dengar ada pasien komplain tentang kebersihan ruangannya, terutama, VIP, VVIP, dan super VVIP. Mengerti?"
"Mengerti, Bu."
"Ya, sudah. Ini kunci loker kalian. Didalam sudah ada seragam dan jadwal shift, sudah saya tempel di dinding informasi. Kalian bisa lihat di sana."
Raya mendapat bagian diruangan super VVIP, yang berjumlah 10 kamar. Dan dalam kelompoknya, terdiri dari 8 orang. Mereka akan bergantian sesuai shift kerja. Dua hari shift pagi, yang dimulai pukul 6 pagi sampai pukul 2 siang. Dua hari shift siang, yang dimulai dari pukul 2 sampai pukul 10 malam. Raya hanya mendapatkan jatah 1 hari libur.
Raya takjub dengan ruangan yang akan dibersihkannya. Ruangan yang sepertinya, 10 kali lebih besar dari kamar kosnya. Dilengkapi fasilitas, yang seperti rumah sendiri.
Ruangan ini masih kosong, belum ditempati oleh pasien. Para Cleaning Servis yang sudah lama bekerja, mengatakan, ruangan ini hanya ditempati orang-orang kelas atas.
Raya lebih dulu membersihkan kamar mandi, yang sudah seperti kamar mandi hotel. Ia biasa mandi pakai gayung, disini malah ada shower, wastafel, closed duduk, dan ukuran kamar mandi sepertinya sama dengan luas kamar kosnya.
Raya menggeleng, mungkin seumur hidup, ia tidak akan pernah dirawat diruangan seperti ini. Untuk mendapatkan ruangan kelas satu saja, ia masih harus berangan-angan dengan kondisinya seperti sekarang.
Lantai, kaca jendela, perabotan dan kamar mandi, semua harus dibersihkan. Perabotan seperti kulkas, bukan hanya dibersihkan luarnya saja, tapi juga didalamnya. Beruntung, ruangan ini masih kosong. Jadi, tidak ada sampah yang harus ia kumpulkan.
"Sudah selesai?" tanya Dian, yang merupakan rekan Raya, namun sudah lama bekerja.
"Sudah, Kak. Apa ada ruangan lain?"
"Semua sudah dibersihkan. Untuk ruangan yang masih kosong, kita hanya perlu membersihkannya sekali untuk shift pagi, nanti dilanjutkan sama yang shift siang. Kecuali, ruangan yang sudah ditempati kita harus standby jika ada panggilan atau kita bisa mengeceknya setiap jam."
"Baik, Kak." Raya hendak beranjak, namun Dian menarik tangannya.
"Aku lupa memberitahumu. Kamu lihat ruangan itu?" tunjuk Dian, "Pasien didalamnya adalah pasien eksekutif. Jadi, kamu harus hati-hati."
"Eksekutif?" tanya Raya ulang.
"Dia pemilik rumah sakit. Dia sebenarnya, tidak banyak bicara, tapi ia sangat detail memperhatikan pekerjaanmu. Itulah alasan, kenapa Rumah sakit, merekrut ulang CS seperti kita. Kamu mengerti kan?"
"Mengerti, Kak. Saya akan hati-hati. Tapi, apa dia sedang sakit?"
"Aku dengar, dia masuk semalam. Untuk penyakitnya, itu adalah rahasia. Kamu pikir, dia akan membiarkan penyakitnya jadi bahan gosip dirumah sakitnya sendiri."
"Maaf, Kak. Saya kurang paham, tentang hal seperti itu."
"Jangan minta maaf. Untuk orang seperti kita, mana mengerti hal seperti itu. Yang kita anggap sepele, belum tentu dengan pikiran mereka."
Dihari pertama, Raya cukup senang bekerja. Rekan yang baik dan mau membantu, tidak ada senioritas hingga ia merasa nyaman. Menunggu panggilan pun, ia tidak merasa jenuh. Dalam ruangan, sudah ada pantry untuk mereka. Ia bisa menyeduh teh atau menyeduh mie instan. Bahkan, ada banyak roti dan cemilan yang tersedia.
"Kamu sudah pernah bekerja?" tanya Dian. Ia duduk dibangku kayu, sembari melepaskan sepatunya. "Aku lihat, caramu bekerja sangat cepat dan teliti, seperti sudah terbiasa melakukannya."
"Aku memang sudah terbiasa, bahkan setelah menikah, aku harus membersihkan dua rumah sekaligus."
"Kamu sudah menikah?" tanya Dian dengan mata membelalak.
"Aku baru bercerai."
"Hah! Kok bisa?" Wajah Dian terlihat syok. "Ah, maaf. Seharusnya, aku tidak bertanya. Aku kaget, karena kamu masih sangat muda."
"Tidak apa, Kak. Aku menikah muda, waktu itu umurku masih 21 tahun." Raya tersenyum pahit, mengingat hidupnya yang lalu. Seandainya, ia tidak menerima lamaran Arya, mungkin hidupnya akan baik-baik saja sekarang.
"Jangan mengingat, yang sudah selesai. Cukup jalani, apa yang sudah didepan mata. Nasib orang, mana ada yang tahu."
Ternyata, untuk merasa bahagia sesimpel ini rasanya. Ia cukup bercerita dan berkumpul bersama teman-temannya, Raya sudah merasa senang dan tenang. Masalah yang ia pikul pun, tak terasa bebannya.
"Sudah satu jam lebih, aku mau mengecek kamar nomor 02. Biasanya, si bos itu tidak pernah manggil-manggil," Dian bangkit, mengatur seragamnya yang mulai kusut.
"Apa boleh ikut?" ujar Raya, menawarkan diri, "aku bosan, tidak melakukan apa-apa."
"Ah, dasar ibu rumah tangga. Ya, sudah. Ayo ikut, kita lihat cowok tampan."
Raya mengikuti langkah Dian, yang mendorong troli perlengkapan mereka. Keduanya lengkap menggunakan APD, sesuai protokol rumah sakit. Namun, tepat didepan pintu, mereka dicegah oleh dua orang yang menggunakan setelan jas hitam.
"Mau apa?"
"Kami cleaning, Tuan. Mau mengecek keadaan didalam," jawab Dian dengan terbata-bata.
"Satu orang saja," jawab salah satu pria itu.
Raya dan Dian saling bertukar pandangan. Seperti, sedang bertanya menggunakan sorot mata keduanya.
"Kamu saja," tunjuk pria itu, kepada Raya yang menggunakan masker.
Didalam ruangan yang sangat besar, hanya dihuni 2 orang. Satu orang sedang duduk bersandar diatas bed, menggunakan seragam pasien. Satu orang lainnya, berdiri tegak didepan bed dengan memegang sebuah map dan memaparkannya.
Raya tidak ingin mengganggu, dengan mengucapkan salam. Apalagi, kedua orang itu tampak seperti tidak ingin diganggu. Ia segera mengumpulkan tisu bekas diatas meja dan beberapa sobekan kertas diatas lantai.
"Kamu?" panggil pria yang menggunakan seragam pasien. Raya menoleh, namun tidak menjawab.
Deg.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat