Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semuanya Hancur
Zafran membanting pintu mobil begitu tiba di halaman rumah besarnya. Rumah yang awal menikah dulu hanyalah sebuah rumah sederhana, tak sebesar seperti saat ini. Sejak kehadiran Seira, kehidupan Zafran mulai meningkat.
Rumah itu ia renovasi atas permintaan sang Ibu, dan berkat dukungan Seira semua terwujud dengan begitu mudahnya. Hanya saja, untuk saat ini dan nanti tak akan ada lagi nama Seira disebut di dalamnya. Perlahan punah dan dilupakan begitu saja.
Wanita tua yang setiap sore duduk di teras sambil menikmati secangkir teh melati hangat itu, menurunkan majalah yang dibacanya ketika mendengar suara pintu mobil terbanting.
Ia mengerutkan dahi, meletakkan majalah tadi di pangkuan. Melihat langkah gontai sang putra, juga bahunya yang turun, ia tahu putra kebanggaannya itu sedang dirundung masalah berat.
"Assalamualaikum, Bu!" sapa Zafran lesu. Ia membanting diri di kursi yang bersebrangan dengan kursi ibunya setelah mencium tangan.
"Wa'alaikumussalaam. Kenapa kamu lesu begitu? Nggak biasanya, ada masalah apa? Cerita sama Ibu, atau ... Seira lagi?" Sederet pertanyaan dilayangkan wanita yang tak lagi muda itu. Diakhiri nada ketus ketika menyebut nama sang menantu.
Zafran menghela napas panjang, tubuhnya bersandar dengan kepala yang ia biarkan terkulai. Kedua matanya terpejam, lelah hati dan fisik akibat pergulatan di gudang bersama Lita.
"Salah satunya, Bu," sahutnya lemah.
Zafran terbiasa menceritakan semua hal tentang Seira, ia juga kerap mengeluh tentang keinginannya memiliki anak dari wanita yang telah dinikahinya selama lima tahun itu. Setiap kali mendengar, Ibu selalu menyarankan Zafran untuk menikah lagi. Jika tidak mau dimadu, maka perceraian adalah jalan yang harus diambilnya.
"Udah berapa kali Ibu bilang, kalo kamu terus bertahan sama dia selamanya kamu nggak akan punya anak. Percaya sama Ibu. Udahlah, lebih baik kamu cari aja perempuan yang mau jadi istri kedua kamu. Kalo dia bisa hamil, ceraikan aja perempuan mandul itu," sengit sang Ibu yang telah membuka majalahnya kembali.
"Udah sore begini aja dia belum pulang. Kamu tahu dia pergi dari kapan? Dari sejak pagi, alasan katanya nggak enak badan mau periksa, tapi sampe sekarang nggak muncul juga. Ke mana itu selain kelayaban nggak jelas. Perempuan yang nggak betah tinggal di rumah itu nggak pantes dipertahankan. Udahlah, kamu nunggu apa lagi? Udah nggak ada harapan sama dia. Keburu tua Ibu belum juga punya cucu," sungutnya lagi berapi-api.
Ia bahkan membalik setiap lembar majalah itu dengan kasar seolah-olah lembar demi lembar itu adalah jelmaan dari Seira, sang menantu yang tak diinginkan.
Helaan napas Zafran semakin berat terdengar, ia menjatuhkan kepala ke samping menatap sang Ibu yang tak acuh kembali. Deru sepeda motor mengusik hening keduanya, mereka sama-sama menoleh.
Zafran yang lunglai seketika terlonjak melihat seorang wanita berpakaian seksi turun dari motor dan berjalan memasuki halaman rumahnya. Ia mengusap wajah gugup, melirik sang Ibu yang tengah memicingkan mata menatap wanita tersebut.
Berkali-kali Zafran menjilati bibir sendiri, duduk gelisah dengan jantung berdebar-debar. Napasnya semakin berat terasa, terlebih saat wanita tersebut berdiri di hadapan sang Ibu.
Lihat saja, wanita yang tak lagi muda itu membuka kacamata tebalnya, melirik tubuh semampai di hadapan dari ujung rambut hingga ujung heels yang ia kenakan.
"Selamat sore, Tante. Saya Lita, teman Mas Zafran. Boleh saya berkunjung ke sini, sekedar silaturahmi," ucap Lita tanpa tahu malu dan sesekali matanya akan berkedip ketika jatuh pada Zafran.
Laki-laki itu mengusap wajah gusar, semakin gelisah tak menentu. Dalam hati mengumpat tindakan beraninya yang datang tanpa izin. Menggeram, tapi tak bisa melampiaskan amarah.
"Sore, silahkan. Mari masuk!" ajak sang Ibu tanpa segan.
Ibu melempar lirikan tajam pada Zafran, memberi perintah tanpa kata agar putranya itu membawakan cangkir teh. Dia menggaruk kepala dengan kesal, bertambah pening terasa. Gegas berdiri karena tak ingin mendengar teriakan sang Ibu yang melengking bagai suara guntur.
Zafran menyambar cangkir keramik tersebut, bibirnya komat-kamit tak jelas, tampak kesal dan jengkel menatap dua punggung wanita berbeda usia itu. Lita terlihat berbincang, mudah sekali baginya akrab dengan Ibu. Tak seperti Seira.
"Duduk dulu, saya mau ambil air karena asisten di rumah lagi keluar," titah Ibu setelah tiba di ruang tamu. Ia melempar lirikan tajam pada Zafran yang masih mematung di ruang tengah sembari memegangi cangkir keramik miliknya.
Anak laki-laki itu melanjutkan langkah, meletakkan cangkir di atas meja seraya duduk bersilang kaki menatap jengah pada Lita yang mengagumi keadaan rumahnya.
"Kenapa kamu datang ke sini? Bukannya aku suruh kamu buat nunggu kabar dulu?" tanya Zafran sedikit ketus.
"Ugh!" Lita mendengus, berpaling wajah darinya menatap ke arah lain. Manik tajam Zafran benar-benar membuat nyalinya ciut.
"Aku bilang tunggu sampai aku kasih kabar kamu? Kenapa, sih, kamu nggak denger? Kamu harusnya ngertiin aku, Lita! Tunggu sehari saja lagi apa susahnya?" cecar Zafran tak segan memprotes tindakan Lita yang nekad.
"Aku nggak bisa, Mas. Aku nggak tenang di kontrakan, aku cuma mau mastiin aja kalo kamu akan bener-bener ngusir dia dari rumah. Emangnya salah?" sahut Lita tanpa rasa bersalah sama sekali.
Zafran berdecak kesal, ia menurunkan kedua kaki yang semula menumpuk dan mencondongkan sedikit tubuhnya.
"Kenapa kamu kayak nggak percaya gitu sama aku? Bukannya kamu bilang mau nunggu sampai aku pisah sama Sei? Terus kenapa sekarang jadi nggak sabaran gini?" cecar Zafran seraya menyandarkan tubuhnya lagi pada kursi. Lelah pikiran juga hayati.
"Yah ... itu ... itu karena aku takut kamu boong, Mas. Aku udah kasih kamu semuanya, lho. Kita juga udah sering ngelakuin itu, 'kan? Aku nggak mau kamu sampai boongin aku. Apalagi sekarang ... aku lagi hamil," ucap Lita terdengar lirih di ujung kalimat.
Prang!
Sontak kedua orang itu menoleh begitu mendengar suara benda terjatuh tak jauh dari ruang tamu.
"Ibu?" Zafran rasa tak enak.
Ia bangkit dan menghampiri ibunya yang termangu dengan wajah pucat karena terkejut. Lita menjadi gusar, membuang pandangan ke segala arah menghindari tatapan wanita itu.
"Bu-"
Ibu mengangkat tangan menolak ucapan anaknya itu. Dia fokus menatap Lita yang menggigit bibirnya gugup juga takut. Sesekali memejamkan mata menutupi rasa cemas di hati.
"Ka-kamu ha-hamil? A-anak Zafran?" tanya Ibu dengan suara terbata dan bergetar.
Posisinya masih berdiri di tempat bersama sang anak yang tampak emosi sekaligus malu dibuat wanita itu.
"I-iya, Tante. Maaf, bukan maksud-"
"Ah, nggak apa-apa. Nggak apa-apa," katanya.
Wajah tegang dan terkejut itu raib digantikan senyum sumringah sembari mengambil langkah semakin mendekat. Duduk di samping wanita itu dan menepuk tangannya.
"Kamu nggak boong, 'kan?" Ibu memastikan.
Lita menggeleng, tangannya merogoh ke dalam tas mengambil sesuatu. Sebuah amplop dengan logo rumah sakit ia berikan pada ibu Zafran. Wanita yang antusias ingin memiliki cucu itu pun menerima dengan segera, membukanya lantas membaca setiap huruf yang tertera dalam selembar kertas tersebut.
"Hah, dia beneran hamil. Ini beneran anak kamu, Zafran? Klo gitu kamu harus cerai sama dia dan nikah sama Lita. Secepatnya, Ibu nggak mau cucu Ibu lahir di luar pernikahan. Biar nggak jadi gunjingan," katanya menggebu-gebu.
Zafran sendiri pun aneh sekaligus bingung, tapi mereka memang sering melakukannya. Tidak menutup kemungkinan semua itu terjadi. Pada akhirnya, dia benar-benar akan menjadi seorang Ayah dan Lita tidaklah berbohong.
"Zafran! Eh, malah ngelamun! Cepat kamu kemasin barang-barang Seira, suruh dia pergi dari rumah ini sekarang juga. Ibu nggak mau nanti dia buat celaka cucu Ibu ini," titah Ibu menyentak lamunan sang anak.
Zafran gamang, dengan adanya kabar tersebut tentu saja hati Seira akan tersakiti. Niat hati ingin berpisah secara baik-baik, tapi apalah daya semuanya harus hancur karena kabar kehamilan Lita.
Tanpa berkata lagi, Zafran membawa dirinya menaiki anak tangga menuju kamar. Membuka lemari pakaian Seira, menatapnya sedih.
"Untuk baju-baju kamu biar aku yang urus, nggak udah Bi Sari. Aku mau berbakti sama suami secara sempurna," ujarnya saat pertama kali ia datang ke rumah itu. Manis sekali dan memang selama berumahtangga, semua keperluan Zafran Seira yang menyiapkan sekalipun ada asisten.
Kenangan itu amat mencubit hatinya, dengan enggan ia keluarkan semua pakaian sang istri dan meletakkannya di dalam koper. Hingga tiba pada satu pakaian sakral yang selalu digunakan Seira saat malam.
Katanya, "Ini baju dinas malam. Supaya kamu bisa mendapat kepuasan yang maksimal."
Dan selama ini, tak ada servis Seira yang tidak memuaskan. Jika dipikir-pikir apa kurangnya Seira? Hanya karena terlambat hamil dan Zafran yang tak sabar menunggu, semuanya hancur.