Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kirana menghilang
Pagi itu, suasana di gedung forensik mendadak gempar. Surat pengunduran diri dokter Kirana, yang tiba-tiba muncul di meja kepala divisi, mengejutkan semua orang. Dokter Kirana dikenal sebagai salah satu tenaga medis terbaik, dengan kinerja yang selalu memuaskan dan dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaannya.
"Dokter Kirana mengundurkan diri? Ini pasti ada yang salah," bisik seorang staf kepada rekannya di ruang istirahat.
"Benar, dia kan baru saja menangani kasus besar akhir-akhir ini. Tidak ada tanda-tanda dia akan pergi," sahut yang lain, penuh kebingungan.
Desas-desus mulai menyebar. Ada yang menduga dia mendapat tawaran kerja yang lebih baik, ada pula yang berspekulasi bahwa dia mengalami tekanan dari pihak tertentu. Namun, tak satu pun dari mereka yang tahu pasti alasan di balik keputusan mendadak ini.
Sementara itu, kepala divisi hanya bisa menatap surat pengunduran diri itu dengan alis berkerut. "Kirana, kenapa kau pergi di saat kita sedang membutuhkanmu?" gumamnya pelan, penuh rasa penasaran sekaligus kehilangan.
---
Berita pengunduran diri dokter Kirana dengan cepat menyebar, bahkan sampai ke kantor polisi. Arka, yang sedang duduk di mejanya, tertegun saat mendengar kabar itu dari salah satu rekan kerjanya.
"Apa? Kirana mengundurkan diri? Nggak mungkin!" gumam Arka, tidak percaya. Tanpa pikir panjang, dia meraih ponselnya dan langsung menelepon Kirana.
Nada sambung terdengar, tapi tak ada jawaban. Arka mencoba lagi, kali ini dengan rasa cemas yang semakin besar. "Angkat, Kirana ... tolong angkat," desaknya pelan, seolah Kirana bisa mendengar suaranya. Namun, panggilan itu kembali tak terjawab.
Arka menggenggam ponselnya erat, pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi. "Kenapa dia mundur? Apa sesuatu terjadi padanya?" tanyanya pada dirinya sendiri. Dia tahu Kirana adalah sosok yang kuat, profesional, dan berdedikasi tinggi. Keputusan seperti ini sangat tidak sesuai dengan karakter wanita itu.
Arka berdiri dari kursinya, merasa tidak bisa tinggal diam. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, bahkan jika itu berarti dia harus menemui Kirana secara langsung.
Dengan rasa cemas yang kian memburu, Arka memutuskan untuk pergi langsung ke apartemen Kirana. Dia berharap bisa mendapatkan penjelasan langsung dari wanita itu. Sesampainya di sana, dia segera mengetuk pintu dengan penuh semangat. Namun, tidak ada jawaban.
Arka mencoba lagi, kali ini lebih keras. "Kirana! Aku tahu kamu di dalam. Tolong buka pintunya!" serunya. Tapi, tetap saja, tidak ada suara dari dalam.
Merasa ada yang aneh, dia memeriksa ke bagian resepsionis gedung. Seorang petugas wanita yang sedang berjaga menatap Arka dengan bingung.
"Maaf, Pak. Apa Anda mencari penghuni unit 501?" tanya petugas itu.
"Iya, benar. Kirana, penghuni apartemen itu. Saya Arka, temannya. Apa dia ada di dalam?" tanya Arka cepat.
Petugas itu menggeleng pelan. "Unit itu sudah kosong, Pak. Dokter Kirana pindah kemarin. Dia bahkan menitipkan kunci apartemennya kepada kami sebelum pergi."
Jawaban itu membuat dada Arka terasa sesak. "Pindah? Dia nggak bilang apa-apa ke saya. Apa dia meninggalkan pesan atau sesuatu?" tanyanya, suaranya bergetar.
Petugas kembali menggeleng. "Tidak ada, Pak. Dia hanya mengatakan ini adalah keputusan mendadaknya."
Arka terdiam, menatap kosong ke arah pintu apartemen Kirana yang kini terasa dingin dan hampa. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Ke mana Kirana pergi, dan apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan dia tidak akan berhenti sampai menemukan jawabannya.
Arka berjalan keluar dari gedung apartemen dengan langkah berat. Pikirannya kacau, mencoba memahami keputusan Kirana yang begitu mendadak. Wanita itu dikenal tegas dan penuh dedikasi, tak mungkin dia pergi begitu saja tanpa alasan.
“Kenapa, Kirana? Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, sambil mengingat kembali percakapan terakhir mereka beberapa minggu lalu. Saat itu, Kirana tidak menunjukkan tanda-tanda ada masalah besar.
Dia mengeluarkan ponselnya lagi, berharap kali ini Kirana akan menjawab. Namun, hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.
Arka berhenti di sisi jalan, memandang kosong ke arah lalu lalang kendaraan. “Kalau memang ada masalah, kenapa kamu nggak cerita? Kamu tahu aku selalu ada buat kamu, kan?” pikirnya dengan frustrasi.
Sebuah firasat buruk mulai merayapi benaknya. Keputusan Kirana untuk mundur dari pekerjaannya, mengosongkan apartemennya, dan menghilang tanpa jejak bukanlah sesuatu yang biasa. Sesuatu pasti terjadi, dan Arka merasa harus mencari tahu, apapun risikonya.
Dengan tekad baru, dia memutuskan untuk menggali informasi dari orang-orang yang dekat dengan Kirana. Jika Kirana tidak ingin ditemukan, maka dia harus mencari jalan lain untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Arka memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut, jadi dia menghubungi beberapa orang yang mungkin tahu tentang keadaan Kirana. Pertama, dia mencoba menghubungi rekan-rekan kerja Kirana di forensik, berharap ada yang bisa memberinya petunjuk. Namun, sebagian besar tampaknya terkejut dan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Maaf, Arka. Kami juga baru tahu dia mengundurkan diri," kata salah satu koleganya, suara penuh kebingungan. "Tidak ada yang tahu alasan pastinya. Kirana selalu profesional, jadi ini sangat mengejutkan."
Frustrasi mulai merayap ke dalam diri Arka, tapi dia tidak akan berhenti. Jika Kirana memilih untuk menghilang seperti ini, pasti ada alasan yang mendalam, dan dia bertekad untuk menemukannya.
Langkah berikutnya, Arka pergi ke rumah kerabat Kirana. Mungkin mereka bisa memberinya wawasan tentang keputusan mendadak yang diambil putri mereka. Sesampainya di sana, Arka mengetuk pintu dan menunggu dengan penuh harap.
Beberapa saat kemudian, salah satu saudara Kirana membuka pintu, wajahnya sedikit cemas namun penuh kehangatan.
"Arka? Ada apa? Kok kamu datang ke sini?" tanya Bibi Kirana, matanya menyapu wajah Arka dengan rasa ingin tahu.
"Bu, saya butuh bicara. Tentang Kirana ... saya khawatir dengan keputusannya mengundurkan diri dan meninggalkan semua ini begitu saja," ujar Arka, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya terasa berat.
Bibi Kirana menghela napas panjang, lalu menatap Arka dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kirana memang tidak memberi tahu kami banyak, Arka. Tapi belakangan, dia sering terlihat tertekan. Ada banyak hal yang terjadi dalam hidupnya yang mungkin kamu tidak tahu. Saya rasa dia butuh waktu untuk sendiri."
Arka merasa semakin cemas. "Tapi kenapa tiba-tiba dia memutuskan untuk pergi begitu saja? Apa dia tahu akan ada konsekuensi besar? Apa ada orang yang mengancamnya?"
Bibi Kirana terdiam sejenak, tampak ragu untuk mengungkapkan lebih banyak. "Saya tidak tahu pasti, Arka. Tapi yang saya tahu, Kirana itu sangat keras kepala. Kadang, dia berusaha menanggung semuanya sendirian, bahkan jika itu membebani dirinya. Saya hanya berharap dia bisa menemukan kedamaian."
Arka merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat, sesuatu yang sedang disembunyikan. Dia mengucapkan terima kasih kepada Bibi Kirana dan pergi dengan hati yang lebih berat dari sebelumnya. Kirana menghilang begitu saja, dan Arka tahu ini bukan keputusan yang bisa dia biarkan tanpa penjelasan.
Dengan tekad yang semakin kuat, Arka melangkah keluar, bersumpah untuk menemukan jawaban. Dia tidak akan berhenti sampai Kirana kembali dan membuka semua rahasia yang selama ini disembunyikan.