Cerita ini hanya fiktif belaka, hasil kehaluan yang hakiki dari Author gabut. Silahkan tinggalkan jejak jempol setelah membaca dan kasih bintang lima biar karya ini melesat pesat. Percayalah Author tanpa Readers hanyalah butiran debu.
Siti dan Gandhi tetiba menjadi pasangan nikah dadakan, karena Siti menghindar perjodohan dari sang ayah yang akan di pindah tugas keluar Pulau.
Sebelumnya Siti sudah punya kekasih, tetapi belum siap untuk menikahinya. Jadilah Gandhi yang bersedia di bayar untuk menjadi suami pura-pura hingga Arka siap meminang Siti.
Isi rumah tangga Siti dan Gandhi tentu saja random, isi obrolan mereka hanya tentang kapan cerai di setiap harinya.
Mari kita simak bagaimana akhir rumah tangga Siti dan Gandhi yang sejak awal berniat bercerai. Apakah sungguh berpisah atau malah bucin akut?
Happy Reading All
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmeLBy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 : NTAR LU MATI
Drama Siti gagal membuat ayam goreng berakhir di sebuah warteg dan di ajak belanja oleh Gandhi. Lelaki itu baik, sangat perhatian pada Siti, tapi ia tidak mau menunjukkan dengan jelas akan sifat baiknya tersebut, takut di jajah brutal oleh Siti istri yang membayarnya tersebut. Pelan tapi pasti dengan caranya, Gandhi tiap hari memberikan shock terapi pada Siti. Alhasil, sudah hampir dua purnama berlalu. Tidak ada lagi pakaian tertumpuk di kamar mandi seperti awal mereka tinggal di rumah tersebut.
"Gan, gua nyuci baju loe. Tapi Elu aja yang masak ya. Gua bakalan lama di perpustakaan hari ini, sama itu. Gua, elu anter aja, biar irit bensin gua." Negosiasi gak tuh. Siti harus mengencangkan ikat pinggangnya, mengecilkan pengeluaran sebab bulan ini ia harus bayar Gandhi untuk pembayaran bulan ke tiga pernikahan mereka.
"Bisa sih, tapi waktu gua hanya 30 menit. Kalo lu mau nebeng, tolong kerjasamanya." Jika kemarin Siti bebas mau bangun jam berapa dan menghabiskan waktu berapa jam untuk mencuci dan melakukan pekerjaan lainnya, tidak dengan sekarang. Gandhi lebih memperketat waktu Siti dalam bekerja. Siti gak merasa, jika sekarang ia bahkan sedang melaksanakan wajib militer di rumah tangga yang ia buat sendiri.
"Anjir loe, masa ia gua nyuci 30 menit doang. Belum mandi ini." Jawab Siti cemas tidak sempat ngapa-ngapain.
"Mesin itu buat meringkas pekerjaan, lu ngapain pelototin dia kerja. Lu tinggal mandi kek, nyapu kek. Ingat, pake otak lu buat rencanakan semua kerjaan supaya efisien." Dumel Gandhi yang kini sudah menggunakan apron, siap akan membuat sarapan mereka berdua.
"Gan, lu belajar masak sejak kapan sih. Kok masakan loe enak-enak terus?" Puji Siti saat beberapa suap makanan masuk dalam mulutnya.
"Masak mah, gua gak pernah belajar. Gua expert dari lahir kali Sit." Ujar Gandhi memuji dirinya sendiri.
"Expert sejak lahir haha ... haha.. Mungkin karena lu emang jauh lebih tua dari gua kali ya Gan?" Siti mengingat-ingat tanggal dan tahun lahir Gandhi di surat nikah mereka. Iya, Gandhi itu tua 6 tahun darinya. Sepertinya lepas SMA Gandhi tidak langsung melajutkan kuliah. Bisa jadi ia menganggur dulu untuk mencukupi keuangan untuk studinya. Itu yang ada di otak Siti.
"Iya, gua emang jauh lebih tua dari Loe, makanya panggilnya Mas. Gak boleh loe loe gue gue gitu. Gak sopan. panggil kakak kek." Tegur Gandhi pada Siti yang memang belum 24 tahun.
"Emang gua Manisa. Dia siapa loe sih, Gan?" tanya Siti masih penasaran dengan hubungan Gandhi dan perempuan cantik dan muda itu.
"Kepo banget sih." Hardik Gandhi yang sudah menyelesaikan sarapan paginya dan bergegas mencuci piring bekas makannya.
"15 menit lagi gua berangkat." Tegasnya masuk kamar untuk bersiap.
Siti kelimpungan, lari ke belakang untuk menjemur pakaian mereka berdua. Lalu merapikan tampilan dan mengoles tabir surya agar kulit wajahnya tidak gosong dan lipstik tipis di bibirnya. Ternyata Siti bisa gerak cepat juga jika di paksa oleh Gandhi.
Tiba di perpustakaan Siti bertemu dengan Nira, sama berjibaku dengan buku-buku penunjang tulisan tugas akhir mereka.
"Nira, gua kangen banget sama loe." Peluk Siti yang sudah lama tidak dekat dengan Nira. Selama ia menjadi istri Gandhi. Iya selama itu ia dan Nira tetiba menjadi orang asing.
"Stt ... ini perpus. Kita gak boleh berisik." Jawab Nira dingin pada Siti.
"Pulang ini kita nongkrong ya Nir." Bisik Siti lagi pada Nira yang terlihat bete saat bertemu dengan sahabatnya itu.
"Emang kita bakalan pulang bareng?" tanya Nira masih dengan nada sinis.
"Ya.. kalo loe selesai. Gua juga udahan deh." Jawab Siti tersenyum tulus pada Nira yang sejak dulu selalu baik padanya. Namun Nira hanya mengangkat kedua bahunya.
Selanjutnya sungguh, Siti tenggelam dengan buku-buku yang ia anggap perlu untuk menyempurnakan tugas akhirnya. Siti duduk di pojokan, agak sepi tempat itu. Sangat membantunya untuk berkonsentrasi dan lupa waktu. Benar saja, saat perutnya memberi tanda lapar. Siti baru sadar, di ruangan itu hanya sisa dia dan penjaga saja. Sedangkan Nira sepertinya sudah sejak tadi meninggalkannya. Ternyata benar Nira sedang tidak ingin nongkrong bersamanya.
"Udah makan belum sih?" chat Gandhi Siti baca saat kakinya tiba di parkiran dan Gandhi sudah di sana menunggunya.
"Belum." Jawab Siti memegang perutnya, ketika ia sudah berhadapan dengan Gandhi yang ada di atas motornya.
"Mau makan di mana, di sini atau di rumah?" tanya Gandhi tidak mau melihat wajah Siti yang terlihat pucat karena lapar.
"Kalo aku makan di sini, di tungguin gak?" tanya Siti. Maklum ia hanya nebeng. Ya kali, Gandhi gak mau nungguin seperti Nira juga.
"Ya udah buruan, 10 menit." Jawab Gandhi sembari men scroll ponselnya. Sepertinya Gandhi sedang sibuk, tapi juga kasian pada Siti yang terlihat sedang sungguh-sungguh ingin menyelesaikan skripsinya itu.
"Loe lagi buru-buru? gua makan di rumah aja." Siti mulai peka dengan gestur Gandhi.
"Makan aja udah, nanti lu mati. Siapa lagi yang bayar gua?" agak vrengsek emang Gandhi kalo ngomong sama Siti. Tapi keduanya sudah biasa dengan cara komunikasi seperti itu.
"Udah." Amazing. Siti bahkan kurang dari 10 menit untuk menghabiskan makanan yang Gandhi bawakan untuknya.
"Oke."
"Enak Gan, beli dimana?" tanya Siti penasaran.
"Buatan Manisa itu, anak itu emang keren. Kecil-kecil udah pintar masak, rajin bekerja lagi. Calon makmum yang sholehah pasti." Puji Gandhi pada Manisa membuat hati Siti kesal lagi. Kenapa tidak ia tanyakan dari awal saja makan itu buatan siapa. Udah kemakan ini, gak mungkinkan ia muntahkan. Benci Siti lama-lama sama Manisa.
BERSAMBUNG ...
Ramaikan komennya dong
Tenang saja cerita ini tidak akan lebih dari 100 BAB kok, ntar kangen
ujan ujan gitu, mknya cakit/Grin//Grin/
🏃🏃🏃🏃🏃🏃
Keren kok alurnya