Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Dan Monika
Malam itu, aku pulang dari kampus setelah mengikuti acara organisasi yang berlangsung hingga larut. Saat melewati sebuah hotel besar di pinggir jalan, tiba-tiba seorang wanita berdiri di tengah jalan dan menghadang laju motorku. Aku menghentikan motor dengan mendadak.
"Hei! Apa yang kamu lakukan di tengah jalan seperti ini?" tanyaku kesal.
Wanita itu menatapku tajam. "Bawa aku pergi dari sini," katanya tegas.
Aku mengenali wajah itu. "Monika?"
Tanpa menjawab, dia langsung naik ke motorku. "Cepat jalan," perintahnya dengan nada dingin.
Aku bingung. "Tunggu dulu, apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu ada di sini?"
"Nggak usah banyak tanya. Jalan sekarang," jawabnya singkat sambil melirik ke belakang, seolah menghindari sesuatu.
Aku menyalakan motor lagi. Ketika aku mulai melaju, aku melihat seorang laki-laki dari kaca spion. Dia berlari mengejar kami sambil berteriak memanggil nama Monika.
"Monika! Hei, Monika! Berhenti!"
"Siapa itu?" tanyaku, mencoba memahami situasinya.
"Nggak penting. Cepatlah!" katanya sambil mendesakku memacu motor lebih kencang.
Aku menghela napas, mematuhi permintaannya. Kami melaju di jalanan yang semakin lengang.
"Monika, aku rasa aku berhak tahu. Ini aneh banget," kataku lagi, mencoba mencari penjelasan.
Dia menatapku dari sudut matanya. "Kamu nggak perlu tahu. Jangan ikut campur. Setelah ini, lupakan semuanya," katanya dengan nada tajam.
Aku terdiam. Tak lama kemudian, dia menyuruhku berhenti di depan sebuah rumah besar yang megah. Gerbangnya terbuka perlahan oleh seorang satpam. Aku memasuki halaman rumah itu dengan perasaan gugup. Rumah itu terlihat seperti istana.
Ketika Monika turun dari motor, seorang pria paruh baya keluar dari pintu utama. Tatapannya tajam dan suaranya berat.
"Dari mana saja kamu?" tanyanya pada Monika dengan nada penuh otoritas.
Monika melipat tangan di dadanya. "Aku habis kencan dengan pacarku," jawabnya santai, lalu menarik tanganku dan melingkarkan lengannya di sana.
Aku terkejut. "Apa?!"
Pria itu menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Dia pacarmu?"
"Iya," jawab Monika dengan tegas, mencubit lenganku agar aku tetap diam.
Pria itu mendekat. Tatapannya lebih tajam daripada sebelumnya. "Siapa namamu, Nak?" tanyanya.
Aku berusaha tetap tenang. "Alan, Pak."
"Alan," ulangnya, sambil memperhatikan wajahku. "Dari mana kamu kenal Monika?"
Aku menelan ludah, mencoba menjawab dengan tenang. "Kami teman satu kampus, Pak. Satu jurusan juga."
Pria itu mengangguk pelan. "Hmm, jadi kamu teman kampusnya. Apa yang kamu pelajari di jurusan itu?"
"Manajemen, Pak. Kami belajar tentang pengelolaan bisnis, administrasi, dan strategi," jawabku, berusaha terdengar sopan.
Dia mengangguk lagi, kali ini lebih puas. "Kamu suka main catur, Alan?"
"Kadang-kadang, Pak," jawabku, bingung dengan arah pembicaraannya.
"Bagus. Ayo, temani saya main catur di ruang tamu," katanya sambil melangkah masuk tanpa menunggu jawaban.
Aku melirik Monika, berharap dia akan menolongku. Tapi dia hanya memberi isyarat dengan dagunya agar aku mengikutinya. Dengan berat hati, aku mengikuti pria itu masuk ke dalam rumah. Ruang tamunya luas dengan meja catur yang sudah tertata rapi di tengahnya.
"Duduklah," katanya. Aku pun duduk berhadapan dengannya. Dia mulai menyusun bidak-bidak catur.
"Jadi, Alan," katanya sambil menggerakkan bidak pertama, "Monika sering bercerita tentang teman-temannya. Tapi ini pertama kali saya melihat dia membawa seorang pria ke rumah. Apa yang membuat kamu berbeda?"
Aku terdiam sejenak, merasa pertanyaannya seperti ujian. "Saya rasa tidak ada yang istimewa dari saya, Pak. Mungkin hanya kebetulan saya lewat dan bisa membantu Monika pulang."
Dia tersenyum tipis. "Kebetulan, ya? Monika jarang sekali bergantung pada orang lain. Dia biasanya sangat mandiri."
Aku hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Kami melanjutkan permainan catur sambil berbicara.
"Kamu dari mana asalmu, Alan?" tanyanya lagi.
"Saya dari Cilacap, Pak."
"Cilacap," ulangnya. "Kota yang tenang. Jadi, apa rencanamu setelah lulus?"
"Saya ingin bekerja di bidang manajemen atau mungkin membuka usaha sendiri, Pak," jawabku.
Dia mengangguk, tampak puas dengan jawabanku. "Bagus. Anak muda harus punya rencana. Jangan seperti Monika. Kadang dia terlalu impulsif."
Aku hanya tersenyum canggung. Saat itu, aku merasa Monika mengintip dari jendela di lantai atas. Entah apa yang ada di pikirannya.
Setelah beberapa ronde catur, pria itu tampak lebih rileks. "Baiklah, Alan. Kamu boleh pulang sekarang. Terima kasih sudah menemani saya."
Aku berdiri dan menunduk hormat. "Terima kasih juga, Pak."
Ketika aku berjalan keluar, Monika berdiri di depan pintu. Tatapannya tidak bisa ditebak. "Cepat pulang. Ingat, lupakan semuanya," katanya singkat sebelum masuk ke dalam rumah.
Aku hanya mengangguk, lalu menyalakan motor dan melaju pulang dengan kepala penuh pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi malam ini? Monika memang benar-benar sulit dimengerti.