Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa mencari?
Tanpa berganti pakaian lagi, Aryan segera melajukan mobil menuju rumah orang tuanya. Ia terus memikirkan kejadian yang belum tentu terjadi, tapi bisa saja terjadi. Ia benar-benar takut orang tuanya marah atau lebih parah dari itu.
Satu jam lamanya ia di jalan, karena macet. Apalagi ini kan sudah jam pulang kantor, jadi jalanan benar-benar macet.
Aryan mengambil nafas dalam-dalam, saat ia sudah ada di halaman rumah orang tuanya. Ia pun segera berjalan masuk, karena beberapa menit lagi akan adzan maghrib.
"Assalamualaikum, " ucap Aryan setelah membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam, " sahut papa Heri tanpa menatap ke arah Aryan. Papa Heri terlihat sedang mengelap sendal yang akan di gunakan ke masjid.
"Papa mau ke mesjid?' tanya Aryan basa-basi. Padahal dari pakaian yang digunakan Papa Heri, sudah bisa menjawab pertanyaannya.
"Iya."
"Pa, kata bu Imas,.....
"Udah mau adzan, pergi mandi sana, biar gak telat," potong Papa Heri lalu pergi melewati Aryan begitu saja.
Aryan pun mengangguk pelan, bergegas ke kamarnya. Kalau benar papa-nya membawa Aira ke sini, pasti sekarang Aira ada di kamarnya.
Namun, perkiraannya salah. Saat ia masuk ke kamar, tidak ada siapapun di sana. Bahkan kamar ini seperti tidak pernah dihuni.
Kemana Aira di bawa? Apa Aira masuk rumah sakit? Apa sakit istrinya semakin parah?
Aryan mengusap kasar wajahnya, lalu bergegas ke kamar mandi. Ia akan mandi kilat, karena sebentar lagi adzan maghrib.
Setelah selesai mandi, Aryan langsung berganti pakaian. Adzan maghrib sudah berkumandang, ia pun segera bergegas ke masjid, supaya tidak ketinggalan shalat berjamaah.
Setelah shalat maghrib, Aryan mendekati kedua orang tuanya yang sedari tadi tak membahas Aira sama sekali.
"Kenapa kamu natap papa kayak gitu?" tanya papa Heri sembari mengoleskan minyak urut ke kakinya.
"Aira dimana, pa? Kata bu Imas, papa bawa Aira ke rumah ini," tanya Aryan setelah sekian lama hanya diam.
"Ngapain kamu cari Aira? Kan kamu juga gak butuh dia. Toh dia mau sakit, sekarat, sakaratul maut, kamu juga gak bakalan peduli," celetuk Mama Elisa menatap sinis putra semata-wayangnya itu.
"Ma,....
"Pekerjaan kamu kan lebih penting, jadi kerja aja sana. Jangan buang waktu kamu, Aryan. Lebih baik, sekarang kamu pergi kerja. Tumpuk uang kamu, sampai bisa kamu bawa mati," sambung mama Elisa membuat Aryan sulit mengelak.
"Papa udah nanya ke Adrian, kalau jadwal kamu hari ini itu gak padat-padat banget, sampai gak ada waktu luang. Jam 11 kamu udah keluar kantor dan bertepatan dengan itu, bu imas nelpon kamu ngasih tau keadaan Aira. Kemana kamu jam 11 itu, Aryan? Bukannya kamu bilang kamu sibuk, tapi kenapa Adrian bilang kamu pergi makan siang sampai jam 2!"
Aryan tak bisa berkutik lagi, saat melihat tatapan penuh intimidasi papanya. Ya, ia salah dan ia mengakui itu.
"Jawab!" bentak papa Heri.
"Aryan makan sama temen, pa. Aryan kira Aira baik-baik aja."
"Temen yang mana? Bukannya sore kamu juga ketemu temen kamu. Jadi, teman mana yang kamu maksud itu?" tanya papa Heri membuat Aryan benar-benar gugup.
"Kamu mau jawab atau papa yang nyari sendiri jawabannya? Kamu tau kan, resiko kalau papa sendiri yang dengar jawabannya dari orang lain," lanjut papa Heri semakin menekan Aryan untuk bicara jujur.
"Aryan ketemu Diana, Pa."
"Bagus, lanjutkan," seru Mama Elisa sembari bertepuk tangan. "Lanjutkan, Aryan. Mungkin kamu memang gak bisa hidup tanpa Diana, " lanjut mama Elisa dengan nada kecewa.
"Bukan gitu, Ma."
"Kamu gak perlu khawatir, Aryan. Mama sama papa, bakalan atur perceraian kamu sama Aira, biar kamu bisa lanjut sama mantan kamu itu. Tapi, perlu kamu ingat satu hal! Kalau kamu bercerai dengan Aira, tanpa alasan yang jelas, maka semua harta milik kamu jatuh ke tangan Aira! Begitu juga kalau Aira yang mengajukan cerai. Kita lihat, apa mantan terindah kamu itu mau sama kamu yang miskin atau enggak," kata mama Elisa penuh penekanan.
"Kalau kamu berpikir bisa cerai dengan alasan gak cinta atau gak nyaman, pikiran kamu itu salah! Karena pernikahan ini terjadi atas kehendak kamu, bukan kehendak kami, maupun Aira. Kamu yang mengambil jalan pernikahan, itu berarti kamu siap hidup dengan perempuan yang gak kamu cintai! Kamu yang ngambil keputusan, kamu juga yang harus bertanggung jawab!" sambung papa Heri menambah tekanan batin Aryan.
"Malam ini istirahat di sini, tapi besok, pulang sana ke rumah kamu! Jumpai mantan kamu itu, biar kamu bisa bernafas. Mana tau kamu gak bisa bernafas kalau sehari aja gak ketemu dia," cibir papa Heri lalu pergi meninggalkan Aryan yang tak membantah sama sekali.
"Ma, Aira dimana?" tanya Aryan menatap penuh harap mamanya. Namun, sang ibu malah pergi begitu saja, tanpa menghiraukannya yang sudah pusing mencari Aira.
Apa Aira di rumah sakit? Kalau iya, di rumah sakit yang mana?
Di sisi lain.
Aira tengah mengupas kulit biji nangka yang sudah di rebus. Ia bersama adik laki-lakinya asik makan biji nangka rebus, sedangkan ayahnya sedang minum kopi di teras dan ibunya menonton televisi.
"Si Aryan udah kamu kasih kabar, Ra?" tanya pak Aiman dari arah teras. Teras dan ruang menonton hanya beda satu dinding saja, jadi masih bisa mengobrol.
Aira tak menjawab, karena memang ia tak tau harus menjawab apa. Takut rasanya menceritakan kisah hidupnya ke orang tuanya.
"Di tanya bukannya di jawab," seru pak Aiman membuat Aira menghela nafas berat.
"Kalau orang gak mau jawab, jangan di paksa. Kadang memang lagi gak baik, makanya pulang," sahut Bu Yasmin menatap ke arah pintu yang terbuka.
"Bukan dipaksa loh, bu. Ini cuma nanya aja kok," sanggah pak Aiman. "Kalau ada masalah kan bisa diselesaikan baik-baik, di bicarakan, didiskusikan. Mana tau dengan itu, semuanya kembali baik lagi," lanjut pak Aiman.
"Kalau mau di bicarakan, nanti di bicarakan. Kalau memang sedang gak mau, jangan di tanya-tanya. Anak baru pulang pun banyak di tanya," celetuk bu Yasmin mengambil satu biji nangka rebus, lalu memakannya.
"Orang itu udah berjasa sama kita loh, bu. Udah kasih ini, kasih itu, gak mungkin kita diam aja kalau memang sedang lagi ada masalah. Kita kan bisa bicara baik-baik, di selesaikan apa yang jadi permasalahannya."
"Walaupun berjasa, kalau orang itu jahat sama Aira di sana, buat apa juga. Dari awal kita gak minta mereka ngasih ini sama itu kok," gerutu bu Yasmin.
"Susah lah ngomong sama ibu ini."
"Bapak tuh yang susah! Mikirnya jasa orang mulu, padahal orang kadang mana mikirin jasa kita."
Kedua orang tua Aira itu pun berhenti berdebat dan ia masih lanjut makan biji nangka, sesekali diseling dengan daging buah nangka yang manis.
"Kandungannya udah di cek?" tanya bu Yasmin tanpa menatap Aira.
"Udah, nanti di cek lagi," jawab Aira pelan.
"Kamu tuh harus sehat, harus kuat. Kalau sakit bilang, jangan di pendam. Miskin-miskin begini, kami masih bisa biayain obat kamu, walau yang murah. Setidaknya bisa buat kamu hidup sementara. Kalau memang ada yang salah sama hidup kamu sekarang, di ceritain! Kami masih bisa kerja, hidupin kamu sama Aldi, tanpa uang mereka," ujar bu Yasmin membuat Aira tak mampu menahan tangisnya.
Ia tau meskipun orang tuanya sudah sakit-sakitan, pasti akan tetap menghidupinya, jika keluarga suaminya berhenti bertanggung jawab. Tapi, apa ia rela melihat itu semua? Di usianya yang ke-23 tahun ini, ia masih menjadi beban orang tuanya.
"Mamak ini bicara gak ngukur-ngukur, kan kak Aira nangis jadinya," celetuk Aldi membuat bu Yasmin langsung menoleh ke arah Aira yang sudah sesegukan.
Pak Aiman pun ikut masuk ke rumah, lalu menutup pintu.
"Udah, udah, besok kita buat kolak ya," ucap pak Aiman menepuk pelan pundak Aira.
Keesokan harinya.
Aryan langsung pamit pulang, sebelum sarapan dimulai. Orang tuanya juga tidak mencegahnya, setidaknya menyuruh sarapan dulu gitu.
Mungkin orang tuanya masih kecewa padanya.
Aryan pun terus berpikir, kemana ia harus mencari Aira. Mana mungkin Aira ke kampung orang tuanya kan.
Tunggu.
Tapi bisa jadi Aira memang pulang kampung. Apa ia telepon saja ke sana ya? Tapi, kalau Aira tidak pulang kampung dan ia terlanjur menanyakan keberadaan Aira, bisa-bisa mertuanya nanti curiga.
Sepertinya ia akan datang saja ke sana, tanpa bilang, lalu memantau dari jauh. Kalau ada tanda-tanda Aira di sana, baru ia akan menampakkan diri.
Ya, hari ini Aryan akan ke kampung istrinya.
Sebelum itu, ia mengirim pesan ke Adrian untuk mengurus pekerjaannya sementara.
Perjalanan ke rumah mertuanya lumayan jauh, bisa memakan waktu sampai 6 jam lamanya. Untuk itu, Aryan menyiapkan semua keperluannya di jalan, termasuk baju dan juga makanan. Tak lupa ia membeli ole-ole, untuk diberikan ke keluarga mertuanya.
Bunyi notifikasi pesan terdengar, saat Aryan tengah fokus mengemudi, menuju kampung istrinya. Aryan pun menurunkan kecepatan mobil, lalu melihat pesan yang dikirimkan Diana.
^^^"Dimana, Iyan? Aku buat makanan enak loh, karena kita udah baikan. Datang ya ke rumah nanti pulang kerja." ^^^
Aryan meletakkan kembali ponselnya di tempat, tanpa ada niatan membalas pesan itu.
Pikirannya sedang kacau sekarang, jadi ia malas menambah pikiran lagi.
Lagipula, sepertinya ia harus mulai menjaga jarak dari Diana, agar rumah tangganya baik-baik saja dan ia tidak menjadi seperti sosok ayahnya Rian
Beberapa jam kemudian.
Mobil Aryan sudah memasuki desa tempat mertuanya berada. Ia mengintip dari kaca mobil, memperhatikan pintu rumah mertuanya yang terbuka.
Di depan rumah, ada adik iparnya yang sedang main ponsel, selain itu tidak ada siapa-siapa lagi. Namun tak berselang lama, Aira terlihat keluar rumah, sembari memanggil Aldi untuk membuang sampah.
Aryan menghela nafas lega, karena Aira berada di sini.
Ia pun dengan segera menekan klakson mobil, agar adik iparnya itu membuka pagar lebih luas.
"Bang Aryan kapan datang?" tanya Aldi setelah Aryan keluar dari mobil.
"Ini baru nyampek," jawab Aryan ramah, lalu mengeluarkan bawaannya.
"Mamak sama ayah di rumah?"
"Eh, ada Aryan. Kapan datang, Yan?" sapa pak Aiman dari dekat pagar rumah.
"Iya, Ayah, ini baru aja datang." Aryan pun langsung menyalim ayah mertuanya yang tersenyum ramah ke arahnya.
"Mamak sama Aira ada di dalam, baru bikin kolak tadi. Kebetulan kamu datang, kita makan sama-sama ya," ujar pak Aiman membantu mengambil barang-barang Aryan.
"Memangnya boleh?" tanya Aryan ragu, membuat pak Aiman tertawa pelan.
"Boleh lah, masa gak boleh sih."
"Kalau Aira gak bolehin, gimana?"
"Dibolehin kok, masa gak dibolehin sih. Anak ayah itu baik hati, gak dendam orangnya. Jadi, kalau kamu sia-siain, kamu sendiri yang nyesel toh," sahut pak Aiman mengajak Aryan masuk ke dalam.
"Bu, Aira, ini ada Aryan datang."
"Eh, ada Aryan, duduk sini. Kebetulan banget kolaknya baru mateng, jadi bisa makan bareng, " seru bu Yasmin membuat Aryan tersenyum canggung. Bukan karena ajakan mertuanya, tapi karena Aira yang sedari tadi tak menatapnya, seperti tak menganggapnya ada di sini.
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya
.