NovelToon NovelToon
Ketika Kesabaran Berakhir

Ketika Kesabaran Berakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Mengubah Takdir
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nurulina

Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.

Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.

Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29

"Ibu akan semakin mengamuk kalau kita pindah, Tari! Kamu itu gimana sih!" dengus Teguh, suaranya penuh kekesalan yang sudah tertahan lama.

"CK!" Tari berdecak kesal, wajahnya mulai memerah menahan emosi. Ia sudah menebak jawabannya seperti apa, tapi tetap saja, rasa kecewa itu datang begitu saja. Setidaknya, ia merasa ada harapan untuk hidup sendiri, jauh dari segala kecemasan tentang omelan mertua.

"Tuh kan, jawabannya juga begitu," gumam Tari dalam hati, sambil menatap Teguh dengan tatapan yang mulai berpendar dingin.

"Mas, aku sudah mulai lelah, tahu nggak?" ucapnya dengan suara datar, meskipun di dalam hatinya ada api yang berkobar. "Lelah dengan semua ini. Terus-terusan berdebat, terus-terusan mendengarkan ibu yang ngomel tanpa henti, terus-terusan merasa nggak dihargai. Apa kita nggak berhak hidup tenang tanpa tekanan?"

Tari menatap Teguh dengan penuh pertanyaan yang tak terjawab. "Aku juga sudah capek, Mas. Capek terus-terusan berusaha untuk jadi menantu yang baik, tapi apa yang aku dapat? Semua yang aku lakukan salah di mata ibu. Bahkan, kamu pun nggak berpihak sama aku."

Teguh terdiam, wajahnya menunjukkan kebingungan, mencoba memahami perasaan Tari yang sekarang jelas-jelas terluka. Tapi saat ia ingin membuka mulut, Tari melanjutkan dengan nada yang lebih tegas.

"Mas, aku mulai ragu dengan pernikahan kita. Kalau kita terus begini, nggak ada jalan keluar, nggak ada kompromi, aku nggak yakin ini akan langgeng. Aku lelah dengan sikap kamu yang masih ngetek di ketiak ibumu. Kamu itu heran, Mas. Nurut banget sama ibu yang kurang waras itu!"

Kata-kata Tari benar-benar membuat Teguh terdiam. Ia tahu apa yang Tari katakan benar, tapi di sisi lain, ia merasa terjebak. Menghadapi ibunya yang selalu mengatur dan menuntut, dan di sisi lain, berusaha menjaga hati istrinya yang semakin jauh dari dirinya.

Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Teguh. Ia hanya berdiri di sana, merasakan ketegangan yang semakin membebani hubungan mereka.

"Mas, kapan kita mandirinya kalau terus tinggal di sini?" tanya Tari, suaranya mulai menahan frustrasi yang sudah tak tertahankan lagi. "Aku juga pengen hidup tenang, Mas. Punya kehidupan yang bukan cuma diatur orang lain terus. Ah, atau kalau nggak, gimana kalau kita pindah ke rumah orang tuaku? Kan kosong tuh, nggak ada yang nginep di sana."

Tari mencoba mengusulkan lagi, berharap ada perubahan, sedikit harapan agar mereka bisa punya kehidupan sendiri, tanpa selalu direcoki oleh ibu mertuanya.

Namun, suaminya tetap menggelengkan kepala dengan tegas, seakan sudah ada jawabannya yang pasti.

"Ngapain sih, Tari? Rumah orang tuamu kan jauh banget dari pabrik. Bisa tekor besinku nanti!" tolak Teguh dengan nada lelah. Ia merasa segala alasan yang Tari berikan tidak masuk akal. Baginya, pindah ke tempat yang lebih jauh hanya akan menambah masalah.

Tari mendelik sejenak, merasa kesal dengan jawaban yang itu-itu saja. "Mas, alasan itu udah basi banget, tahu nggak? Apa-apa dikaitkan dengan biaya, terus kapan kita bisa maju kalau gitu? Jangan cuma mikirin biaya, mikirin juga kesehatan mental kita, Mas. Kita hidup bukan hanya buat kerja dan ngikutin aturan orang lain, kan?"

Teguh terdiam, wajahnya memucat sedikit, tetapi ia hanya bisa menggelengkan kepala. Baginya, kenyamanan dan kedamaian rumah adalah yang paling utama, dan ia merasa ibu adalah prioritas yang tidak bisa diganggu gugat. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang membuatnya merasa semakin terjepit dalam posisi ini.

"Jangan terlalu keras kepala, Mas," tambah Tari dengan nada lebih lembut. "Aku cuma pengen hidup lebih baik, lebih bahagia. Tanpa tekanan. Apa itu terlalu banyak?"

Tari mendesah panjang, matanya menatap ke arah lantai dengan pandangan kosong. Semua saran yang ia lontarkan tadi langsung ditolak mentah-mentah oleh Teguh tanpa sedikit pun pertimbangan. Ia merasa percuma berbicara lebih jauh jika semuanya hanya akan berakhir dengan penolakan.

Akhirnya, tanpa berkata apa-apa lagi, Tari membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia menarik selimutnya dengan cepat, lalu memunggungi Teguh yang masih berdiri di dekat lemari.

Teguh menatap punggung istrinya yang kini tampak begitu dingin dan jauh. Ia tahu, sikap Tari seperti ini adalah tanda bahwa istrinya sedang sangat kesal. Namun, ia sendiri merasa buntu. Di satu sisi, ia ingin menjaga perasaan Tari tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa meninggalkan tanggung jawab terhadap ibunya.

"Tari..." panggil Teguh pelan, mencoba mencairkan suasana.

Namun, Tari tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, seolah memberi sinyal bahwa ia tak ingin membicarakan apa pun lagi malam ini.

Teguh pun duduk di tepi tempat tidur, menunduk dan memijit pelipisnya. "Aku tahu kamu capek, Tari. Tapi aku juga capek. Situasinya nggak gampang buat aku."

Tari tetap diam, meskipun hatinya terasa panas mendengar kata-kata Teguh. "Kalau capek, kenapa nggak cari jalan keluar?" batinnya kesal. Tapi ia memilih tidak merespons, karena tahu percakapan ini hanya akan berakhir dengan argumen tanpa hasil.

Kamar itu menjadi sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar lambat. Dalam diam, masing-masing dari mereka terjebak dalam pikiran dan perasaan mereka sendiri, sementara jarak di antara mereka semakin terasa, meskipun mereka berada di ruangan yang sama.

1
Wanita Aries
Suka ceritanya..
Semangat thor
Wanita Aries
Naudzubillah dpt laki pelit amit2 dah
Wanita Aries
Gila aj dkasih cm 25rb. Uang saku ankq yg SMP itu
Diah Ratna
ceritanya bagus,thor .
Sulfia Nuriawati
udah d perbudak msh mw bertahan helloooo cinta blh goblok jgn y sayang, bersikap lah tunjuk kan bahwa km pny harga yg lbh dr pelakor jg suami g pny otak itu,mn pelit lg dih ogah bnget😡😡😡
Sulfia Nuriawati
Luar biasa
Nurulina: makasi yaaa🥰
total 1 replies
Aerilyn Bambulu
Aku nunggu update terbaru setiap harinya, semangat terus author!
Nurulina: Waaah makasih yaaaw😍
total 1 replies
Phoenix Ikki
Aku tumpahkan air mata gara-gara endingnya😢
Kazuo
Bikin nagih bacanya 😍
Nurulina: waaah, makasih yaaa🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!