Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DELAPAN
Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya pintu di ruang operasi pun terbuka, dua dokter keluar dengan ekspresi datarnya. Pak Tono, Bu Anas dan Anisa segera beranjak mendekat pada sang dokter.
"Bagaimana putra kami, Dok?" seorang Ibu adalah hati yang pertama terluka ketika buah hatinya dalam bahaya, ia juga yang akan pertama datang dengan segala kekhawatirannya.
Dokter itu mengulas senyum kecilnya, satu hal yang membuat keluarga itu merasa lega, "Operasi berjalan lancar, putra bapak telah melewati masa kritisnya, hanya tinggal menunggu siuman dari anestesi, beberapa hal lainnya mari saya sampaikan di ruangan saya."
Pak Tono mengikuti langkah dokter Andika dengan hati yang berharap-harap cemas. "Kenapa juga harus ngebut-ngebut anak itu! Tunggu saja nanti kalau sadar, nggak ada ampun! Nggak bakal tak kasih motor apalagi hape! Dasar anak menyusahkan!" bukannya berdoa untuk kesembuhan sang putra, pak Tono justru terpancing kemarahan akan hal lain.
Langkah pak Tono pun terhenti sesaat, sewaktu mereka melewati lobi utama, "Ellah kenapa bocah itu di sini juga?Kenapa lihatin gue begitu sih tuh bocah?" batin pak Tono saat melihat Anggun berdiri mematung bertemu tatap dengannya beberapa detik.
Anggun menunjuk lurus ke arah pak Tono, dengan sorot mata tajam dipenuhi dengan dendam dan kebencian. Dokter Andika yang menyaksikan hal itu pun menghentikan langkah, posisinya yang sejajar dengan pak Tono, membuat dokter Andika salah paham, menganggap bahwa Anggun sedang menunjuk dirinya.
"Ngapain lagi tuh bocah? Duh! Malah nunjuk-nunjuk gue lagi, sialan ... jangan-jangan dia lapor polisi! Gawat, aku harus menyusun strategi dan menghilangkan bukti!" pikir panik pak Tono.
Dokter Andika berjalan mendekati Anggun yang berteriak histeris seraya menjatuhkan dirinya duduk di lantai dengan kedua tangan terlipat menutup kedua telinganya.
"Putri bapak sepertinya mengalami trauma, bahkan sampai harus takut melihat seragam dokter saya, panggilkan perawat, akan saya bantu untuk menjaga putri anda,"ucap dokter Andika lalu berjongkok di samping Anggun.
Dokter Andika mengambil sebuah alat pemutar musik mini dari sakunya, "Nak, coba dengarkan suara ini, dokter minta maaf atas apa pun yang kamu alami, tapi percayalah aku bukan ketakutan yang sedang kamu hadapi." Dokter Andika memasangkan satu kepala headset pada telinga Anggun.
Perlahan, Anggun menurunkan telapak tangannya setelah samar-samar ia dengar suara alunan musik dari kepala headset itu. Tatapan anggun pun mulai berangsur sedikit lebih tenang, saat dokter Andika meraih telapak tangan Anggun lalu memberikan kepala headset yang satunya lagi.
Dokter Andika tersenyum lega melihat Anggun masih bisa kembali pada kesadarannya dengan cepat, dimana itu artinya, trauma yang anggun hadapi masih bisa diselamatkan dengan penanganan yang tepat.
"Kita boleh berteman ya?" ucap lembut dokter Andika.
Pada dasarnya, dokter Andika adalah dokter muda spesialis bedah orthopedi dan traumatical, namun pengalaman buruk masa mudanya membawanya sedikit banyak mengerti bagaimana ia melihat perilaku Anggun.
Perlahan Anggun mulai kembali pada kesadarannya, tangis kecil Anggun mulai terdengar sebagai akhir dari penguasaan emosinya.
"Menangislah, luapkan semua ketakutan itu, biarkan semua keluar perlahan dengan lega, tapi jangan biarkan dirimu terlalu lama berada di kubangan takut itu, bicaralah perlahan, temanmu ini akan mendengarkan dan menemanimu hingga sesak itu akan merubahmu menjadi sosok super yang kamu idolakan."
Hanya berdasar pengalaman yang pernah dialaminya, dokter tampan itu dengan mulus mampu memberikan sugesti positif. Kalimat-kalimatnya begitu mudah dicerna Anggun, membuat tangis Anggun terdengar lebih leluasa.
"Dokter Andika?" seorang perawat menghampiri bersama dokter seorang dokter lainnya.
Melihat rekannya datang, dokter Andika memberi sedikit isyarat agar memberinya sedikit lagi waktu untuk berbicara dengan Anggun, dan ijin itupun diberikan dengan mudah oleh dokter Wirya sang dokter umum yang bertugas jaga malam itu.
"Temanmu ini memiliki banyak teman yang bisa membantumu, jangan ragu, dengarkan mereka, jika kamu percaya, maka teman-temanku akan membantumu juga. Sekarang kembali ke ruanganmu dulu ya, kita nanti bertemu disana bersama temanku yang lainnya."
Mendengar ucapan dokter Andika, Anggun mengangguk kecil meskipun masih tertunduk menyembunyikan wajah. Seorang perawat pria itu membopong Anggun dan menempatkannya di atas kursi roda dan membawanya kembali ke ruang rawat inap.
"Terimakasih Dokter Andika, sepertinya harus ada jadwal untuk Dokter Lina untuk menangani hal ini," terang dokter Wirya seraya menepuk pundak rekannya.
Dokter Andika mengangguk sebagai tanda setuju, "Segerakan saja, respon positif gadis itu masih berfungsi dengan baik, semoga segera pulih, usut apapun itu yang menurut Dokter perlu."
Dokter Wirya segera menyusul Anggun, sementara dokter Andika kembali pada pak Tono yang berdiri sedikit bersembunyi di tempatnya semula.
"Maaf Pak, sedikit intermezo, mari kita lanjutkan ke ruangan saya!" ajak dokter Andika setelah celingukan mencari keberadaan pak Tono.
"Orang itu tadi kenapa Dok?" tanya pak Tono seraya berjalan mengekor dibelakang dokter Andika.
"Entahlah Pak, sepertinya gadis malang itu mengalami trauma psikologis yang menyakitkan, hingga membuatnya mengalami serangan panik hanya karena melihat sesuatu yang mirip dengan apa yang menyakitinya sebelumnya," terang dokter Andika.
"Trauma? Berarti bisa dikatakan gadis itu tadi gila begitu Dok?"
Mendengar ucapan pak Tono, dokter Andika menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangannya, bahkan tangannya yang telah terulur memegang gagang pintu pun ia hentikan seakan terkejut dengan pertanyaan pak Tono.
Dokter muda itu menghela napas, "Jangan mudah mengklaim seseorang itu gila, hanya karena berperilaku seperti orang gila, mereka hanya sedang membentengi dirinya sendiri dan melawan ketakutan karena kebiadaban perilaku orang lain yang di tujukan padanya sebelumnya. Saya harap Bapak lebih bijak untuk menilai orang."
Mendengar ucapan dokter Andika yang terdengar ada penekanan emosi di sana, pak Tono mengerutkan wajahnya, lalu tertunduk. "Ah, maafkan saya Dok. Saya tidak bermaksud begitu, saya hanya penasaran saja," sesalnya bercampur sedikit rasa takut.
"Ah, sudah, mari masuk Pak. akan saya jelaskan mengenai kondisi putra anda." Dokter Andika membuka pintu ruangannya, diikuti pak Tono.
"Jadi, beruntung sekali putra anda tidak separah yang kita bayangkan. Memang ada sedikit pendarahan di bagian kepala, namun sepertinya putra anda masih sempat melindungi kepalanya dengan kedua tangan saat terjatuh, sehingga tidak ada tulang tengkoraknya yang cedera."
"Terimakasih, Dok. Lalu kira-kira kapan anak saya bisa siuman?"
"Tunggu saja, Pak. Kami akan memantau kondisi putra anda, semoga esok pagi sudah siuman."
"Berikut hasil MRI, hanya beberapa luka kecil di bagian kepala, namun patah tulang dan beberapa dislokasi justru dialami di bagian kaki dan tulang rusuk. Kami akan melakukan beberapa terapi, silahkan bapak baca dulu prosedur lanjutannya, jika ada yang tidak mengerti silahkan bertanya, jika sudah mengerti silahkan tanda tangan di sini."
Pak Tono memeriksa beberapa lembar foto rontgen yang diberikan dokter Andika, lalu berganti membaca lembaran-lembaran keterangan serta mengisi beberapa hal, "Sebenarnya banyak yang tidak saya mengerti Dok, terutama mengenai beberapa istilah kedokteran ini, tapi saya memilih percaya dengan semua tindakan Dokter dan rumah sakit. Pasti semua bertujuan baik untuk kesembuhan anak saya."
Mendengar kepolosan ucapan pak Tono, dokter Andika tertawa kecil, "Baiklah pak Tono, terimakasih atas kerjasama dan kepercayaan yang bapak berikan, semoga putra anda lekas pulih."
TOK ... TOK ... TOK ...
Terdengar seseorang mengetuk perlahan ruangan dokter Andika. Seorang perawat melongok dari pintu masih sambil memegangi gagang pintu, "Dokter Lina menunggu anda di depan, Dok."
"Hmmm ... suruh nunggu sebentar, saya selesaikan ini dulu, Sus."
...****************...
To be continue....
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩