"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Support System
Om Lino menghela napas berat. Aku bisa melihat cara dadanya naik turun sebelum akhirnya dia membungkuk, menumpukan satu tangannya ke meja belajarku, sementara tangan satunya menggenggam sandaran kursi yang kududuki.
Mukanya sekarang tepat di depanku, terlalu dekat sampai aku bisa melihat detail ekspresi wajahnya—tatapan matanya yang tajam tapi tenang, garis-garis tipis di dahinya yang samar, dan rahangnya yang mengeras seolah menahan sesuatu.
Astaga, aku berasa dikurung.
Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa sesak. “Om ...,” gumamku ragu.
Om Lino menatapku lurus, tanpa ragu. “Jihan, jangan pernah meragukan diri kamu sendiri hanya karena kamu tidak menguasai suatu hal.”
Suara bass-nya rendah, tapi jelas.
“Kepintaran mungkin memang diukur dari seberapa banyak kamu menguasai pelajaran. Tapi jika kamu tidak menguasai salah satunya, itu tidak akan membuat kamu pantas disebut bodoh.”
Aku mencengkeram ujung lengan bajuku, merasa kata-katanya mulai menggoyahkan keyakinan yang tadi kubangun sendiri—bahwa aku nggak cukup baik.
“Setiap orang itu pintar, Jihan,” lanjutnya. “Semua orang memiliki keahlian dan pengetahuan yang luas di bidangnya masing-masing.”
Aku masih diam, menunduk, tapi telingaku menangkap setiap kata yang ia ucapkan.
“Dan mungkin, bahasa ataupun sastra memang bukan keahlian kamu.”
Aku sontak mendongak. Sedikit kesal, sedikit kecewa. Bukannya seharusnya dia membantah dan bilang aku bisa belajar?
Tapi sebelum aku bisa buka mulut, dia melanjutkan.
“Kenapa? Karena bidang kamu sendiri ada di dunia kedokteran.” Suaranya tetap tenang, tapi aku bisa menangkap ketegasan di dalamnya. “Minat dan bakat kamu lebih dominan dengan hal-hal berbau medis.”
Aku menggigit bibir. Itu memang benar. Dari dulu aku selalu tertarik dengan dunia medis, sampai sekarang aku masih suka baca jurnal kesehatan atau sekadar nonton video bedah di YouTube.
“Semua itu ada takarannya. Dan semua itu memiliki tempatnya masing-masing.”
Aku mulai bisa melihat arah pembicaraan ini.
“Kamu dengan dunia medis kamu, dan saya dengan wawasan bahasa dan sastra saya.”
Sial. Rasanya kayak ada sesuatu yang mencair di dalam dadaku.
Om Lino menarik napas ringan sebelum melanjutkan, kali ini dengan nada suara yang lebih santai. “Saya masih ingat betul bagaimana kamu menjelaskan tentang jenis virus yang menyerang kucing saya.”
Aku mengerjap. Itu … kejadian beberapa bulan lalu.
“Lalu bagaimana kamu mengajarkan cara menyikapi mimisan dengan benar.”
Otakku otomatis memutar ulang ingatan itu. Waktu itu aku nggak sadar kalau yang kulakukan berarti sesuatu buatnya.
“Kamu juga menjelaskan bagaimana mimisan itu bisa terjadi. Apa penyebabnya dan apa solusinya.”
Jadi dia benar-benar memperhatikan?
“Semua itu tidak saya ketahui sebelumnya. Tapi kamu bisa menjelaskannya dengan mudah tanpa perlu berpikir keras. Seolah semuanya sudah ada di luar kepala kamu.”
Aku menahan napas. Kata-kata Om Lino mulai terasa menusuk ke dalam.
“Dan saya yakin, dalam otak kamu juga masih banyak menyimpan berbagai macam ilmu pengetahuan lain yang sama sekali tidak saya ketahui.”
Aku menggigit bibir lebih keras. Pandanganku mulai kabur.
“Kita pintar dalam bidang keahlian kita masing-masing, Jihan.”
Suara itu terdengar lebih lembut sekarang.
“Sampai sini kamu mengerti?”
Aku diam. Mataku kembali berair. Entah kenapa, aku merasa terenyuh banget.
Rasanya kayak kamu kehilangan kepercayaan diri dan nggak dapat dorongan apa pun buat membangkitkan kepercayaan diri itu lagi. Tapi, dia tiba-tiba datang sebagai support system baru. Hanya dengan kalimatnya aja, kamu berasa tertampar dan kembali sadar akan kemampuan diri sendiri.
Air mataku jatuh, tanpa suara. Aku buru-buru mengusapnya dengan punggung tangan, nggak mau terlihat lemah di depannya.
Tapi saat aku mendongak, Om Lino masih menatapku dengan cara yang sama.
Tenang. Tegas.
Dan tanpa kata-kata lagi, aku tahu—aku nggak sendirian.
Om Lino masih menatapku dengan sorot mata yang tenang, tapi tajam. Ada sesuatu di sana—bukan sekadar nasihat kosong, tapi keyakinan yang tulus.
“Jangan membandingkan diri kamu dengan orang lain,” katanya, suaranya dalam dan mantap.
Aku menelan ludah.
“Jangan pula karena melihat teman kamu memiliki wawasan yang luas, kamu seketika merasa diri kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan dia.”
Aku menggigit bibir, menunduk. Jujur, itu memang yang aku rasakan. Setiap kali melihat teman-temanku, terutama Yara, berbicara tentang bahasa dan sastra dengan lancar, aku merasa kecil.
“Sekali lagi, Jihan, semua itu ada takarannya.”
Aku diam, membiarkan kata-katanya masuk ke kepalaku.
“Dia mungkin lebih hebat di mata kuliah bahasa Indonesia dibanding kamu. Tapi saya yakin kamu unggul pada beberapa mata kuliah lain.”
Aku mendongak sedikit.
“IPK kamu tidak akan ditentukan hanya dengan satu mata kuliah saja. Jika nilai kamu tinggi di mata kuliah lain, maka IPK kamu juga akan tinggi.”
Dia benar. Aku tahu itu, tapi tetap saja…
Om Lino menarik napas perlahan sebelum melanjutkan, “Saya memang menyuruh kamu untuk lebih mempelajari tentang bahasa, tapi bukan berarti saya menyuruh kamu begitu karena kamu bodoh.”
Aku mengerjap.
“Jika saya memang menganggap kamu tidak pintar, kemarin saya tidak akan mengajak kamu untuk memperbaharui hubungan kita dan mengatakan kalau kamu perempuan baik-baik dan cerdas.”
Aku terpaku.
Om Lino menatapku dalam, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. “Karena sekali lagi, Jihan, semua orang pintar di bidangnya masing-masing.”
Aku merasakan sesuatu menghangat di dadaku.
“Lalu mengapa saya tetap menyuruh kamu belajar bahasa Indonesia?” lanjutnya, masih dengan nada yang sama.
Aku tidak menjawab.
“Karena saya tahu kamu pintar. Saya tahu kamu penyimak yang baik. Saya tahu kamu tipe orang yang mudah menerima suatu pembelajaran kemudian mengingatnya.”
Aku mengembuskan napas perlahan.
“Saya yakin kamu bisa menguasainya juga.”
Kata-katanya begitu yakin, seolah dia lebih percaya pada diriku dibanding aku sendiri.
“Jadi jangan pernah berkecil hati lagi, Jihan.”
Aku menelan emosi yang tiba-tiba memenuhi dadaku.
“Ilmu yang kamu miliki saat ini, tidak semua orang memilikinya. Alih-alih memikirkan kekurangan kamu, akan lebih baik kalau kamu memperluas wawasan kamu.”
Aku mengepalkan tangan di pangkuanku, mencoba menahan rasa yang tiba-tiba ingin meluap.
“Saya yakin kamu bisa menguasainya juga nanti.”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat wajah, menatapnya dengan senyum tipis. “Makasih, Om,” ujarku pelan. “Saya udah ngerasa lebih baik sekarang.”
Perasaan aneh yang tadi mengganjal di hatiku mulai mereda. Kata-kata Om Lino benar-benar berpengaruh buatku.
Aku menghela napas sebelum menunduk sedikit. “Maaf banget Om harus lihat saya uring-uringan gini. Saya bahkan sampai nyalahin Om tadi.”
Om Lino tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, saya mengerti,” ujarnya. “Bagaimanapun juga, saya pun pernah berada di posisi seperti kamu.”
Aku mengerjap. Om Lino juga pernah merasa seperti ini?
Sebelum aku sempat bertanya, dia sudah berganti topik. “Karena sekarang kamu sudah merasa lebih baik, kamu sudah mau makan malam?”
Aku tertawa kecil. “Wkwk … iya-iya, saya ikut makan malam deh.”
“Baiklah.”
Om Lino mengangguk dan berbalik menuju pintu. Setelah dia keluar, aku menghela napas, lalu bangkit untuk cuci muka. Kan nggak enak kalau makan dalam keadaan muka sembap begini.
Setelah selesai, aku mengambil ponselku yang tadi tergeletak di meja. Baru mau melangkah ke luar kamar, tiba-tiba ada notifikasi masuk.
Aku melirik layarnya.
Notifikasi dari grup … mata kuliah Bahasa Indonesia.
Aku mengernyit. “Lah, dari Om Lino?” gumamku pelan.
Perlahan, aku membuka chat itu. Mataku membesar saat membaca isi pesannya.
[Deadline tugas yang saya berikan hari ini diperpanjang hingga minggu depan. Jadi tidak perlu terburu-buru mengerjakannya. Silakan kerjakan dengan baik karena waktunya masih lama. Good luck.]
Aku terdiam, memproses kata-kata itu.
Pesan itu memang ditujukan untuk semua mahasiswa, tapi … entah kenapa aku merasa ter-notice.
Om Lino tiba-tiba memperpanjang deadline setelah melihat aku nangis dan ngeluh kesulitan sama tugas yang dia kasih…
Berarti alasannya tiba-tiba memberi keringanan itu karena aku, dong?
Huhu … aku makin baper ini mah!