kisah ini sekuel dari novel Karma pemilik Ajian Jaran Goyang.
Adjie merasakan tubuhnya menderita sakit yang tidak dapat diprediksi oleh dokter.
Wati sang istri sudah membawanya berobat kesana kemari, tetapi tidak ada perubahannya.
Lalu penyakit apa yang dialami oleh Adjie, dan dosa apa yang diperbuatnya sehingga membuatnya menderita seperti itu?
Ikuti kisah selanjutnya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petaka2
"Kamu jangan nakut-nakutin dong, Kang. Mana beban hidup sudah horor, ditambah lagi cerita Kang Jali bertambah horor saja," Wati menggerutu.
Mereka sudah jauh masuk ke dalam hutan, dan suasana semakin sepi dan gelap, bahkan jalanan tampak terlihat sedikit semak, karena jalanan yang sepertinya jarang dilalui orang.
"Ta...," ucapan Jali terhenti saat mesin mobil tiba-tiba mogok dan tentu saja lampu penerang juga mati, sehingga membuat suasana semakin gelap dan mencekam.
"Waduh, ada apa, Kang? Kok lampunya mati?" Wati terlihat sangat cemas. Ia mengedarkan pandangannya kesisi kiri dan kanan hutan yang memperlihatkan suasana yang sangat mencekam.
Perlahan gerimis turun dengan rintik-rintik, dan memaksa Jali untuk turun dari mobil dan memeriksa kondisi mesin.
Pria itu membuka kap mobil bagian depan. Ia melihat asap yang keluar dari komponen mesin dan berasal dari tabung radiator.
Jali menggaruk kepalanya. Ini sebuah kesalahan dan ia lupa menambahkan air coolant khusus radiator sehingga mengalami kekeringan dan mesin overheat.
"Sial! Mana sudah semakin gelap lagi!" makinya dalam hati.
Kedua matanya mengitari sekelilingnya. Semuanya tampak gelap dan ia merasakan sesuatu yang sedang mengintainya, tapi entah apa.
Pria itu mengusap tengkuknya yang mama tiba-tiba meremang.
"Kok, merinding, ya?" gumamnya lirih.
Ia menutup kap mesin, lalu kembali ke dalam mobil dan akan mengambil senter yang ia simpan dilaci nakas.
Ia menemukan benda yang dicarinya, dan juga dua botol kosong bekas air mineral.
"Mbak, tunggu disini ya, saya mau ambil air yang ada didepan sana, jangan keluar dari mobil, sebab Mbak Wati masih masa nifas," pesan pria itu.
"Iya, Kang." sahut Wati dengan perasaan yang kalut bercampur bergidik ngeri.
Ia tidak dapat membayangkan jika harus terjebak ditempat yang membuatnya begitu ngeri dan bergidik.
Jali berjalan menyusuri jalanan yang berbatu dan menuju sumber air yang tadi sempat ia lihat disekitaran jurang yang tidak terlalu curam.
Berhubung hari sudah gelap dan gerimis rintik-rintik, ia harus ekstra hati-hati dalam menapaki jalannya agar tidak terpeleset karena potensi licin yang cukup besar.
Sesaat ia melihat halilintar seolah sedang membelah langit kelam, dan ia merundukkan tubuhnya karena takut petir akan menyambar.
Duuuuuar....
Benar saja dugaannya, petir menyambar pohon pinus dan membuat ia bergidik ngeri.
Sementara itu, Wati memegang dadanya yang tersentak kaget karena suara petir yang datang dengan tiba-tiba.
Sedangkan Adjie terlihat menahan sakit dibagian perutnya yang terasa melilit, bahkan perkututnya terus merembes cairan pekat berwarna merah dengan campuran nanah yang mengeluarkan aroma sangat menyengat.
Wanita itu menanti kedatangan Jali dengan harap-harap cemas.
Pria itu terpaksa mengganti air radiator menggunakan air biasa karena kondisi darurat dan tidak memiliki pilihan, meskipun ia tahu jika resikonya sangat besar.
Detik berikutnya, terlihat kembali halilintar berkedip dan saat cahayanya membelah kegelapan, Wati melihat sosok wanita berambut panjang berdiri tepat didepan ujung mobil dengan wajah hancur dan sorot mata yang tajam menatapnya.
"Hah!" ia tersentak dari duduknya. Dadanya bergemuruh dan membuat ia merasakan degub jantungnya berpacu lebih cepat.
"Siapa itu?" gumamnya lirih dengan rasa takut yang begitu besar.
Sesaat dibagian belakang mobil, ia mendengar suara cakaran yang berasal dari kuku tajam sosok makhluk yang ia sendiri tidak dapat melihatnya.
Saat bersamaan, Adjie mengeluh sakit yang mana dibagian perkututnya terasa sangat panas dan pedas, seolah disiram cairan cabai setan.
"Sakit, sakit," erangnya dengan lirih.
Wati menggenggam jemari tangan sang suami. "Sabar ya, Kang. Sebentar lagi," wanita itu mencoba menenangkan sang Adjie dan ia celingukan mencari keberadaan Jali yang juga belum kembali.
Perlahan harapannya kembali tumbuh, setelah melihat sebuah cahaya senter dikejauhan yang menuju kearahnya, dan suara cakaran dibagian kap belakang mobil menghilang bersamaan cahaya senter yang semakin mendekat.
"Sabar, Kang. Itu kang Jali sudah datang," Wati menyemangati suaminya.
Orang yang ditunggunya tiba dengan dua botol air dan mengisii radiator mesin.
Pria itu memasuki mobil dan menghidupkannya.
"Sudah hidup mesinnya, ya Kang?" tanya Wati dengan perasaan cemas.
Jali hanya diam saja dan berbelok arah dari petunjuk maps online tersebut.
"Kang, kita mau kemana? Bukankah arahnya kesana?" Wati terlihat gusar, sebab Jali tak juga menyahut, ia hanya bersikap dingin.
Ditengah perasaan Wati yang berkecamuk dan juga rintihan Adjie yang terus menggaung, mobil melaju menuju arah yang tidak diketahui, dan saat hampir tengah malam tiba, mobil itu berhenti didepan sebuah rumah tua berbahan kayu dengan banyaknya hewan ba-bi yang berkeliaran diperkarangan rumah, karena itu peliharaan sang empunya.
Wati tercengang. Ia menatap rumah tersebut dan melihat bangunannya yang terbuat dari kayu dan tampak kumuh.
"Kita sudah sampai," jawab Jali dengan sikapnya yang dingin.
Wati bernafas lega, akhirnya ia tiba juga ditempat yang mereka tuju, tetapi hal aneh yang masih mengganjal hatinya, bagaimana Jali bisa tahu rumah dukun tersebut? Sedangkan siang tadi mereka sama tersesatnya.
Wati mengajak Adjie untuk turun. Ia memapah sang suami untuk masuk kerumah Opung Saragih yang merupakan keturunan Batak Karo.
Kali ini Kang Jali tidak membantunya, sikapnya sungguh berbeda sejak pergi mengambil air dan tidak ada kehangatan didalam dirinya.
Dengan bersusah paya, akhirnya Wati tiba didepan rumah tersebut.
Ia mengetuknya, dan terdengar suara langkah yang cukup berat berasal dari dalam rumah, tampaknya pria itu tinggal sendirian ditengah hutan yang sunyi sebab tidak ada tetangga disekitarnya.
Suara derit pintu terdengar nyaring yang diiringi dengan rintik hujan yang tak jua berhenti.
Seorang pria berambut ikal dan gondrong tampak berdiri memandang dua tamunya.
"Masuklah," sambut pria itu dengan suara yang parau. Sesaat matanya melirik kearah dalam mobil dan melihat Jali dengan pandangannya yang kosong menatap ke depan.
Pria itu mengalihkan pandangannya kepada Wati dan Adjie yang tampak kelelahan.
Wati menoleh ke arah Jali. "Kang, ayo masuk," ajaknya.
Jali tak menyahut, ia masih fokus dengan tatapannya yang masih lurus kedepan.
"Biarkan dia tetap disana, bawa suamimu masuk dan aku akan memeriksanya," pria itu melangkah masuk dan menuju sebuah tikar lusuh yang terbuat dari anyaman pandan berduri.
Tak ada perabotan yang berharga, bahkan terdapat banyak sarang laba-laba didalam rumah tersebut.
Wati membantu Adjie untuk duduk, akan tetapi pria itu tak sanggup, dan memilih untuk berbaring.
Sementara itu, pria bernama Opung Saragih yang memiliki sikap misterius, mengambil sebuah tulang lengan manusia yang terlihat sudah sangat lama umurnya dan membakar arang didalam sebuah anglo, lalu menaburkan bubuk kemenyan dan juga percikan minyak duyung yang berbau menyengat.
Pria itu merapalkan mantra dengan bahasa daerahnya, terlihat asap mengepul diudara dan membuat gumpalan membentuk sesuatu.
ternyata kamu kembang desa tapi kekurangan. sehingga orang semena-mena sama kamu...😥
yang pasti bukan Mande kan... jauh dari kriteria...
tapi masalahnya, kenapa mereka teriak-teriak dirumah Mande . minta pertanggungjawaban...
ada apakah gerangan...???