"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 24 : ENTOK
Arrazi melajukan motor menuju kebun teh sesuai permintaan istrinya. Sampai di kebun teh, Arrazi memarkirkan motornya di dekat beberapa motor yang terparkir di sana. Daniah langsung turun dari motor lalu merentangkan tangannya sambil menghirup udara di kebun teh yang terasa sejuk.
"Huaaa udaranya sejuk banget Mas!" seru Daniah, sementara itu Arrazi hanya memperhatikan sang istri sambil duduk menyamping di motor.
Bisa di bilang, ini pertama kalinya Arrazi benar-benar melihat wajah sang istri begitu senang dengan senyum lebar yang begitu indah, serta matanya yang berbinar. Menambah kecantikan aura sag istri.
"Mas, aku pengen ke atas sana deh. Yuk kesana!" ajak Daniah, ia langsung menarik tangan suaminya menuju tempat yang ingin di tujunya.
"Jangan lari-lari, nanti jatuh." ujar Arrazi dengan datar sambil mengikuti langkah Daniah yang menggenggam tangannya.
"Nggak akan, kan ada Mas yang jagain aku!" balas Daniah dengan genit.
Arrazi berdecak pelan.
"Mas, kita lomba yuk, siapa duluan yang sampai kesana dia pemenangnya dan pemenangnya boleh minta apapun!" seru Daniah sambil menunjuk sebuah pohon mangga besar yang berada di puncak kebuh teh.
Sementara pegangan tangan di tangan Arrazi sudah terlepas lima menit yang lalu. Bahkan saat ini sepasang suami istri itu sudah berjarak satu meter dari tempatnya masing-masing.
Sang istri yang begitu excited, sementara sang suami yang gengsi untuk mengejar langkah istrinya. Arrazi menggeleng. Ia tidak mau, ide istrinya itu terlalu kekanakan baginya.
"Kamu aja, saya nggak mau."
"Ah, cemen! Masa ke sana aja nggak kuat.Ck! Maklum sih faktor U kayaknya." cibir Daniah sambil bersedekap tangan memindai tubuh sang suami dari atas ke bawah.
Tentunya hal itu membuat Arrazi gengsi, ia langsung berjalan mendahului sang istri menuju tempat yang di tunjuk.
"Eh eh eh....mau kemana Mas?" Daniah dengan langkah kecilnya menyusul sang suami yang begitu cepat langkah.
"Ke atas."
"Tunggu dulu. Kita harus mulai bareng Mas, jangan duluan."
"Kelamaan!"
"Ish Mas, namanya juga lomba harus dari garis start dong. Jangan curang!" protes Daniah.
Padahal yang Arrazi lakukan saat ini bukan mengabulkan ajakan sang istri untu berlomba, Arrazi hanya ingin menunjukkan kalau ia masih kuat untuk sampai ke atas sana, tidak terpengaruh dengan usia. Padahal usia Arrazi un tergolong masih muda dan sedang masa kuat-kuatnya.
"Dari sini Mas garis start nya, nanti finish nya di pohon mangga itu. Ayo sini." perintah Daniah menyuruh Arrazi berdiri di sampingnya untuk memulai perlombaan star antar mereka berdua.
Sambil bersungut, Arrazi menuruti perintah sang istri dan mengikuti instruksi Daniah memadu perlombaan dua anak manusia itu.
"Siap ya Mas. Satu.....dua....tiga....."
Arrazi berdecak melihat Daniah langsung berlari mendahuluinya. Tak mau kalah, Arrazi langsung lari cepat dengan kakinya yang panjang itu, hingga ia mampu melewati Daniah yang awalnya berlari di depannya.
Melihat Arrazi melewatinya, Daniah menambah kecepatan larinya, sehingga ia berhasil menyusul sang suami. Arrazi sampai membelalakkan mata melihat kecepatan lari istrinya itu. Perasaan Arrazi sudah berlari cepat juga.
Arrazi akui, istrinya itu berbadan kecil, tapi gesit! Kemudian jarak mereka hampir seimbang. Dengan jiwa kompetitif yang penuh, Arrazi tidak mau kalah. Ia segera menyusul sang istri dengan menambah lagi kecepatan larinya.
Lagi-lagi Daniah membelalakkan mata melihat sang suami yang berlari mendahuluinya. Tentu Daniah pun tidak mau kalah, ai mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari, namun sayangnya ia tidak bisa menyusul sang suami yang sudah sampai lebih dulu di bawah pohon mangga itu.
"Huh hah huh hah!" deru nafas Daniah tidak beraturan, ia langsung menjatuhkan diri di bawah pohon mangga samping suaminya. Sementara Arrazi sudah lebih dahulu berselonjoran kaki.
"Lain kali jangan sok-sok-an nantangin, kalau akhirnya kalah." ujar Arrazi dengan sinis.
Daniah melirik suaminya.
"Ish gitu aja sombong! Ini mah karena Mas lagi beruntung aja bisa menang dari aku!" gerutu Daniah.
"Ck! Udah kalah masih ngeles aja."
"Nggak tuh, aku emang ngasih kesempatan Mas buat menang. Liatin aja nanti, aku nggak akan ngasih kesempatan sedikit pun buat Mas menang dari aku."
"Ya udah liat aja nanti." ujar Arrazi dengan ketus, membuat Daniah kesal mendengarnya.
Daniah memilih diam, deru nafasnya kini mulai teratur, namun ia merasa kehausan setelah mengeluarkan banyak cairan keringat dari tubuhnya. Daniah ingin sekali minum. Menoleh ke sampingnya, Daniah langsung terpesona dengan keindahan pahatan sang maha pencipta yang berbentuk wajah suaminya.
Arrazi saat ini sedang duduk dengan lutut bertekuk dan kedua tangan melingkar di betisnya. Laki-laki itu memejamkan mata, menikmati sejuknya udara sekitar perkebunan teh, angin sepoi-sepoi menyentuh kulit wajahnya hingga menggerakkan poni rambutnya mencapai alis.
"Bisa ganteng juga ni orang." gumam Daniah dengan pelan sambil terus memandang dari samping wajah sang suami.
Namun sayang, ia tak bisa lama menikmati keindahan rupa sang suami saat netranya mendapati seekor entok muncul dari balik pohon teh menuju ke arahnya. Daniah yang phobia keluarga unggas yang menggemaskan itu langsung berteriak membuyarkan kenikmatan angin sepoi-sepoi yang sedang suaminya rasakan.
"Apaan sih teriak-teriak?" omel Arrazi yang keget mendengar teriakan sang istri tepat di telinganya.
"Itu Mas ih, itu!" tunjuk Daniah ke arah hewan unggas yang sedang berlari-lari. Sedangkan dirinya berusaha untuk bersembunyi di samping suaminya.
"Iya itu entok, kenapa?" ujar Arrazi dengan seringai dibibirnya sepertinya ia tahu yang menyebabkan istrinya itu tiba-tiba berteriak.
Tapi apakah istrinya takut dengan hewan unggas yang menggemaskan ini? Seekor entok berwarna putih kecoklatan itu berlari di sekitarnya ternyata tidak hanya satu, ada lima ekor entok muncul dari arah yang sama.
"MAS ITU KOK JADI ADA BANYAK?" teriak Daniah semakin memepetkan tubuhnya kepada sang suam, ia sampai mencengkram erat lengan Arrazi.
Arrazi bangun dari duduknya, melepaskan tangan sang istri yang kini mencengkram bahunya.
"Mas jangan tinggalin aku, aku takut..." rengek Daniah ikut bangun dan kembali meraih tangan Arrazi.
"Apaan sih Daniah. Itu cuma entok." ujar Arrazi berusaha menahan tawanya.
"Tapi dia galak Mas, bisa nyosor." Daniah bersembunyi di belakang punggung suaminya, sedangkan entok-entok itu berlarian dengan riang, berlenggak lenggok badan.
Arrazi tertawa.
"Yang nyosor itu soang Daniah, bukan entok."
"Ah sama aja sama-sama punya mulut yang kayak gitu! AaaaaaaMas tolong Maaaaas!"
Melihat tiga entok berlari ke arahnya, Daniah menghindar sambil loncat-loncat. Arrazi tertawa melihat sang istri yang loncat-loncat berlarian menghindar entok yang entah kenapa hanya mengejarnya.
"Mas ih tolong usir bebeknya."
"Itu entok bukan bebek Daniah." ujar Arrazi meralat sambil terkekeh. Ia membiarkan tiga ekor entok masih mengejar sang istri. Tak mau menghentikan tontonan dadakan yang seru itu.
Ternyata seorang Daniah takut dengan seekor entok!
"HEH HUS HUS HUS SANA, JANGAN MENDEKAT, AKU NGGAK CANTIK, AKU JELEK BELUM MANDI!" teriak Daniah mengusir entok lain yang menghampirinya.
Membuat gelak tawa Arrazi terdengar nyaring. Bisa-bisanya istrinya itu mengusir entok dengan menjelekkan istrinya.
"Eleh eleh ieu nu di teangangan kalah didieu....cuk dieu cuk, acik, ukit, ukut, cicik, kadieu! (*Aduh aduh, ini yang di cariin malah di sini. Cuk sini cuk, acik, ukit, ukut,cicik, kesini*!)" seru seorang laki-laki paruh baya memanggil kelima ekor entok dengan sebilah bambu yang ada bulu ayam di ujungnya.
Lima ekor entok itu langsung menghampiri pria paruh baya yang mengenakan paci hitam miring.
"Punten nya Jang, Neng, ieu entok teh bangor, malah kadie, lain ngilu nu babaturana....mangga neng, Jang (*Maaf ya Bang, Dek, entok ini nakal, malah kesini. Bukannya ikut sama teman-temannya, mari Dek, Bang*!)" ujar laki-laki itu membawa pergi kelima entok miliknya yang terlihat nurut dengannya.
"Nuhun Pak." jawab Arrazi kepada Bapak itu.
Setelah Bapak itu pergi, Arrazi tersenyum menahan tawa teringat kejadian beberapa detik lalu yang dialami sang istrinya. Daniah menghela nafas lega, dua detik kemudian ia langsung melayangkan *bombastis side eyes* ke arah suaminya.
Bibir Arrazi yang tadinya melengkung senyum, kini berubah menjadi datar, melihat tatapan tak bersahabat dari istrinya. Aura tidak enak langsung terasa oleh Arrazi. Tanpa mengucapkan satu kata pun, Daniah pergi dengan menghentakkan kakinya meninggalkan suami menuju tempat parkir motor tadi.
Daniah ingin segera pulang, ia langsung badmood dan marah kepada suaminya itu, juga Daniah merasa sangat haus. Arrazi menyusul Daniah, namun membiarkan istrinya itu berjalan di depannya.
"Alamat marah nih bocah." gumam Arrazi.
"Kita ke rumah Wak Jullanar dulu." ujar Arrazi saat keduanya sudah berada di atas motor dan Arrazi sudah menyalakan mesin motor.
"Pulang!"
"Ambil pesenan Nenek dulu Daniah, Wak Jullanar juga sudah pulang kayaknya."
"Pulang!"
Mendengar satu kata yang di ucapkan dengan ketus oleh sang istri, Arrazi mematikan kembali mesin motor. Lalu ia menoleh ke belakang. Daniah sedang bersedekap tangan dangan kepala berpaling ke samping dan bibir yang mencebik. Gadis itu sedang merajuk.
Arrazi tersenyum samar melihat kelakuan istri kecilnya itu.
"Ke rumah Wak Jullanar dulu ya." ujar Arrazi kali ini dengan lembut. Namun di sambut geplakan tangan sang istri di punggungnya.
"Nyebelin banget sih! Di bilang pulang ya pulang!" amuk Daniah sudah tak bisa tertahankan. Arrazi hanya bisa mengaduh pelan mendapati pukulan sang istri di punggungnya. Ia juga sambil menahan keseimbangan agar tidak jatuh dari motor.
"Iya-iya...." ujar Arrazi pasrah, ia kembali menyalakan mesin, lalu melajukan motor.
Biarlah nanti kalau Nenek tanya barang titipannya, Arrazi beralasan kalau tidak ketemu Wak Jullanar, karena wanita paruh baya itu sedang di ladang. Saat ini sepertinya keamanan dirinya dari amukan Daniah lebih penting.
Pukulan Daniah di punggungnya terasa sakit dan perih, Arrazi yakin akan membekas berwarna merah di punggungnya. Tenaga istrinya itu sangat kuat!
Sampai di pekarangan rumah Kakek Dzaki, Daniah langsung turun dari motor saat Arrazi baru saja menghentikan laju motornya. Dan masih sempat-sempatnya perempuan itu mencubit lengan suaminya, membuat sang suami mengaduh kesakitan.
Daniah berlari ke dapur untuk mengambil minum, ia sudah sangat haus. Segelas air putih langsung habis dalam satu tegukan.
"Haus banget ya Nia?" tegur Nenek Dariah yang saat itu menghampiri cucu menantunya yang baru datang langsung lari ke dapur.
"Eh iya Nek. Haus banget aku." ujar Daniah malu-malu tercyduk minum dengan rakus, untungnya ia minum sambil duduk. Kalau tidak, alamat dicap cucu menantu tidak ayu kalau sampai minum dengan rakus sambil berdiri.
"Habis ngapain memang sampai sehaus ini?" tanya Nenek Dariah yang saat ini sudah duduk di kursi meja makan samping Daniah.
"Habis di kejar-kejar bebek Nek. Ish kesel banget Nek. Masa aku di kejar-kejar bebek Mas Arrazi malah ngetawain aku coba, bukannya bantuin aku gitu. Ngeselin kan Nek, cucu Nenek itu." ujar Daniah lalu mencebikkan bibirnya, merajuk. Hal ini membuat Nenek Dariah tersenyum lebar melihat tingkah cucu menantunya itu.
Inilah yang disukai oleh Dariah, seperti yang di ceritakan oleh Athifah, Neneknya Daniah. Kalau cucunya itu begitu ekspresif menunjukkan hal yang sedang dirasakan. Bahkan tak malu-malu bertingkah layaknya anak kecil saat sedang merajuk atau ngambek.
Tidak gengsi atau jaim. Daniah pun mudah bergaul da humble. Dariah yang tidak memiliki cucu perempuan merasa sangat bahagia mendapatkan cucu menantu seperti Daniah yang langsung dekat dengannya.
Bahkan barusan ia tidak segan mengungkapkan kekesalannya kepada suaminya yang notabenenya adalah cucu kandung dari Dariah sendiri, sedangkan Daniah adalah orang yang baru hadir di keluarganya.
"Lebay dia mah Nek, entok cuma sekecil itu takut dia." cibir Arrazi yang baru datang hendak mengambil minum.
"Lebay apaan sih Mas. Kamu nggak tau aja kalo hewan itu bahaya, bisa nyosor. Sakit tau sosorannya!" omel Daniah tak terima di bilang lebay oleh suaminya.
Daniah punya pengalaman tidak enak dengan hewan dari keluarga unggas itu waktu ia masih kecil. Daniah kecil yang saat itu sudah mandi, bersih, cantik dan wangi di ajak main oleh teman di kampung Kakeknya, namun saat ia dan temannya main, tiba-tiba segerombolan angsa datang menyerang lalu menyosor badan kecilnya.
Daniah saat itu semakin ketakutan berlari hingga ia jatuh terjerembab di sawah. Badannya yang bersih, cantik dan juga wangi berubah menjadi hitam dan bau karena lumpur.
"Yang nyosor itu soang atau angsa Daniah, bukan entok."
"Ya udah sih sama aja. Sama-sama punya mulut kayak itu!"
"Ya beda lah."
"Sama Mas."
"Beda Daniah."
"Sama!"
"Beda."
"Aduh-aduh kalian ini malah jadi ribut cuma gara-gara entok. Udah sekarang kalian mandi sana, bersihin badannya tuh, bajunya udah pada lepek, keringetan." ujar Nenek Dariah memperhatikan pasangan pengantin baru itu bergantian.
"Iya Nek." jawab Daniah dan Arrazi berbarengan.
"Pesenan Nenek mana, Razi?" tanya Nenek Dariah teringat kalau cucunya ini pergi karena akan mengambil pesanannya.
"Daniah tuh Nek, Nggak mau ngambil." ujar Arrazi dengan santai, malah menyalahkan Daniah. Ia meneguk air putih yang baru di tuangnya ke gelas.
Meskipun pada kenyataan benar, Daniah menolak untuk mengambil pesanan Neneknya di rumah Wak Jullanar, setelah kejadian entok yang mengejarnya di kebun teh tadi. Tapi apakah Arrazi harus setega itu menyalahkan istrinya dihadapan Neneknya?
Daniah membulatkan matanya ke arah sang suami. Lalu berpaling ke Nenek Dariah dengan tatapan mengiba.
"Nek.... tadi tuh kata tetangganya, Wak Jullanar lagi di ladang belum pulang. Terus kita belum kesana lagi." ujar Daniah membela diri dengan memberikan alasan yang sebenarnya juga.
"Terus kamu minta jalan-jalan ke kebun teh, main sama entok, terus ngambek pengen pulang, nggak mau ke rumah Wak Jullanar." cibir Arrazi dengan santai menceritakan inti perjalanan mereka tadi.
Membuat Daniah semakin kesal dengan suaminya itu. Cepu banget sih jadi orang. Daniah menggeser kursinya lebih dekat dengan sang Nenek mertua, ia meraih tangan yang keriput itu dan mengelusnya dengan lembut.
Saat ini Daniah sedang memakai triknya saat merayu Nenek Athifah ketika Daniah melakukan kesalahan. Semoga triknya ini ampuh juga dipakai untuk merayu Nenek Dariah saat ini. Ia mengabaikan suami yang sama sekali tidak bisa membantunya, malah menyalahkannya.
"Maafin Nia Nek. Tadi tuh Nia kesel banget sama Mas Arrazi. Masa istrinya lagi ketakutan dia malah ngetawain. Kan Nia jadi nggak mood Nek, Nia pengen pulang aja tadi tuh....tapi Nia janji, besok Nia bakal ambil pesenan Nenek, nggak papa nanti Nia ambil sendiri. Nia masih ingat kok jalannya." ujar Daniah dengan memelas menampilkan puppy eyes nya di hadapan sang Nenek mertua.
Melihat apa yang sedang dilakukan oleh istrinya itu. Arrazi hanya mengerutkan keningnya.
"Iya, nggak papa Nia. Nanti biar Nenek minta aja sama suaminya Bi Intishar." ujar Nenek Dariah dengan lembut, ia membelai pipi Daniah yang chubby.
Ah, rasanya bahagia sekali memiliki cucu perempuan.
"Nggak papa Nek?" tanya Daniah memastikan. Nenek Dariah mengangguk.
"Iya nggak papa sayang, nah sekarang Nia mandi sana. Bersih-bersih ya." ujar Nenek Dariah dengan tangan keriputnya itu mengelus rambut Daniah.
Daniah mengangguk, layaknya anak kecil yang habis di bujuk. Lalu ia pergi meninggalkan Nenek dan suaminya menuju kamar suaminya dan mandi.
"Arrazi."
"Iya Nek?"
"Daniah itu istri kamu loh. Tanggung jawab kamu. Ayomi dia, beri dia rasa tenang, rasa nyaman, bahagiakan dia ya, Nak."
Arrazi mengangguk pelan. Pesan itu bukan pertama kali ia dengar dari Neneknya. Kalau di hitung mungkin sudah ke lima puluh sekian kalinya dari sebelum menikah dengan Daniah, hingga hari ini.
Sepertinya Daniah sudah mendapatkan posisi di hati sang Nenek.
ha..ha...ha