NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:920
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦢꦺꦭꦥꦤ꧀ꦮꦼꦭꦱ

Meskipun Amangkurat II kembali menguasai Mataram, kerajaan ini sudah tidak lagi kuat seperti dulu. Kekuasaan Amangkurat II menjadi sangat tergantung pada VOC, yang semakin memperbesar pengaruh mereka di Jawa. VOC mengontrol perdagangan, pajak, dan memiliki pasukan yang lebih kuat dibandingkan dengan pasukan kerajaan.

Benar nyatanya bahwa Amangkurat ll berhasil mengambil alih ke kuasaan di Mataram setelah kematian Trunojoyo, namun ia tidak bisa sepenuhnya mengendalikan keadaan kerajaan. Rakyat terus menyuarakan ketidakpuasan mereka, dan ketergantungan Mataram pada VOC memperburuk posisi Amangkurat II sebagai pemimpin yang dianggap tidak lagi sah oleh banyak pihak. Pada tahun 1705, Amangkurat II akhirnya digantikan oleh putranya, Pakubuwono I, yang mencoba untuk membangun kembali kekuatan Mataram setelah masa yang penuh dengan pemberontakan dan intervensi asing.

William berdiri di balkon ruang kerjanya yang menghadap ke pelabuhan. Laut Jawa yang luas tampak tenang di kejauhan, namun di dalam dirinya, ombak kecemasan dan keinginan untuk menguasai semakin kuat. Di belakangnya, suara ketukan pintu terdengar, membawa para bawahannya yang telah lama menantikan arahan.

"Masuk," kata William, suaranya tegas namun mengandung ketegangan.

Dua pria tinggi besar memasuki ruangan dengan langkah yang penuh keyakinan. Mereka adalah Johan dan Pieter, dua pejabat VOC yang selama bertahun-tahun telah menjadi tangan kanan William dalam mengelola kekuasaan perdagangan di Jawa.

"William," Johan memulai, "kami baru saja menerima laporan dari daerah sekitar. Ekspor rempah-rempah dan hasil bumi lainnya sedang stagnan. Sepertinya para pedagang pribumi semakin enggan untuk bertransaksi dengan kita."

William mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Tidakkah mereka sadar siapa yang memberi mereka kesempatan untuk memperdagangkan barang-barang mereka? Tidakkah mereka tahu betapa besar keuntungan yang kami berikan kepada mereka, meski mereka terus mengeluh tentang pajak dan aturan kita?"

Pieter mengangguk. "Itulah yang menjadi masalah, Tuan William. Mereka mulai merasa tertekan dengan beban pajak yang terus meningkat. Bahkan, para pejabat lokal yang bekerja sama dengan kita mulai mempertanyakan apakah kita terlalu banyak mengambil dari mereka."

William menghela napas panjang, menatap jauh ke arah pelabuhan. "Pajakan. Pajakan itu harus lebih tinggi. Kita perlu memastikan bahwa mereka tahu siapa yang memegang kendali di sini. Mataram sudah lemah. Kerajaan itu semakin terpecah setelah Trunojoyo dan perang saudara itu. Mereka tidak akan berani melawan kita."

Johan dan Pieter saling berpandangan. Mereka tahu bahwa meskipun William sering berbicara dengan keyakinan tinggi, langkah-langkah yang diambilnya tidak selalu bijaksana. Namun, mereka tahu lebih baik dari pada membantah langsung. Sebaliknya, mereka memutuskan untuk mencari cara untuk melaksanakan perintah itu tanpa menyebabkan ketegangan yang lebih besar.

"Jadi, Anda ingin kami menaikkan pajak dagang lebih tinggi lagi?" Pieter bertanya, memastikan apa yang dimaksud William.

"Ya," jawab William tanpa ragu. "Tidak ada yang akan merusak peluang kita di Jawa. Kita akan menggunakan kekuatan kita untuk membuat mereka tunduk pada keinginan kita. Kita akan meminta para pejabat lokal untuk menekan para pedagang, memastikan mereka tidak bisa menolak. Berikan mereka pilihan: bayar pajak yang lebih tinggi atau kehilangan akses ke pasar ekspor kita."

Johan mengangguk dengan perlahan. "Tapi, William, kita tahu bahwa pajak yang semakin tinggi ini bisa memicu perlawanan. Jika mereka merasa terlalu terjepit, bisa jadi ada pemberontakan. Terutama para petani dan pedagang yang sudah lama berjuang untuk bertahan hidup."

William memutar tubuhnya, wajahnya serius. "Pemberontakan? Tidak akan ada pemberontakan yang berani melawan kita. Mereka tidak punya kekuatan untuk itu. Yang mereka miliki hanyalah tanah dan hasil bumi yang bisa kita ambil dengan mudah. Mereka akan memilih untuk hidup di bawah kendali kita daripada berjuang melawan kita."

Pieter masih ragu. "Tapi, bagaimana dengan kerajaan Mataram? Mereka semakin lemah, tetapi mereka masih memiliki kekuatan. Jika kita terlalu menekan mereka, mungkin Mataram bisa bangkit kembali dan melawan kita."

William tertawa pelan. "Mataram? Mereka lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan di dalam negeri. Apa yang tersisa dari mereka hanyalah serpihan-serpihan kerajaan yang tidak mampu mengatur rakyatnya sendiri. Kita, di sisi lain, menguasai perdagangan. Kita adalah penguasa sejati di sini. Mereka akan tunduk pada kita, seperti yang selalu terjadi. Jika mereka berani menentang kita, kita hanya perlu menambah tekanan dengan menguasai lebih banyak daerah. Mereka akan melihat betapa tidak berdayanya mereka tanpa dukungan perdagangan kita."

Johan dan Pieter saling bertukar pandang, lalu mengangguk pelan. Mereka tahu bahwa William tidak akan mundur dari keputusannya. Ia sudah sangat bertekad untuk mengendalikan perdagangan dan ekonomi Jawa sepenuhnya. Dan mereka, sebagai pegawai VOC, tidak punya pilihan selain melaksanakan perintah tersebut.

"Baiklah, William," kata Pieter dengan suara berat. "Kami akan segera memulai untuk menegakkan pajak yang lebih tinggi. Kami akan mengirimkan utusan ke daerah-daerah penghasil rempah-rempah dan hasil bumi untuk memberlakukan keputusan ini."

William mengangguk puas. "Pastikan para pejabat lokal juga diberitahu tentang kenaikan pajak ini. Jangan biarkan ada celah bagi siapa pun untuk menghindari kewajiban mereka. Ingat, ini demi kelangsungan kekuasaan kita. Kita tidak bisa membiarkan mereka berani menantang VOC."

Setelah para bawahannya meninggalkan ruangan, William kembali ke balkon dan menatap cakrawala, merasakan angin laut yang membawa harapan dan ketakutan. Ia tahu bahwa langkah ini bisa menjadi langkah yang menentukan. Jika ia berhasil menguasai ekonomi lebih dalam lagi, tak ada yang akan bisa menghentikannya. Namun, ia juga tahu bahwa risiko besar selalu menyertai setiap keputusan yang diambil.

Keesokan harinya, utusan VOC bergerak cepat ke seluruh pelosok kerajaan Mataram. Para pejabat lokal dipanggil untuk menerima instruksi baru yang akan memberatkan mereka dan rakyat mereka. Pajak dagang yang baru semakin menekan para pedagang pribumi. Semua ekspor rempah-rempah, lada, dan komoditas lainnya harus dikenakan pajak lebih tinggi, dan mereka yang tidak mampu membayar harus menghadapi ancaman kehilangan hak berdagang.

Di satu desa kecil, seorang pedagang lada bernama Suryanto sedang berbicara dengan sesama pedagang. Mereka tampak gelisah, wajah mereka menunjukkan keputusasaan.

"Bagaimana kita bisa membayar pajak yang semakin tinggi ini? Kita sudah kesulitan bertahan hidup dengan harga yang semakin tinggi di pasar. Sekarang, kita harus membayar lebih banyak lagi?" keluh Suryanto.

Temannya, seorang pedagang rempah-rempah, menggelengkan kepala. "Kita tidak punya pilihan, Suryanto. Mereka akan memotong hak kita berdagang. Kita harus bayar. Jika tidak, kita tidak akan bisa menjual apa pun. Tapi apakah kita akan diam saja? Apa yang bisa kita lakukan?"

Suryanto terdiam. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa melawan VOC begitu saja. Tapi hati kecilnya menolak. Ia merasa bahwa kebijakan ini akan semakin memperburuk keadaan mereka. Mataram yang sudah lemah, kini dipaksa menjadi lebih tergantung pada VOC, sementara VOC semakin mengeratkan cengkeramannya pada leher ekonomi mereka.

Namun, di balik kepasrahan itu, ada bisikan kecil dalam diri Suryanto yang mengatakan bahwa suatu saat, jika tekanan ini terus berlanjut, mungkin akan ada saatnya ketika mereka tak bisa lagi tinggal diam.

Di sisi lain, di dalam ruang kerja VOC, William tersenyum tipis. Ia tahu bahwa dengan kebijakan ini, ia semakin mengukuhkan kekuasaannya di Jawa. Namun, ia juga tahu, seperti yang selalu ia katakan, kekuatan besar sering kali dibangun di atas ketegangan yang tak terelakkan.

Dan ketegangan itu, seperti ombak yang selalu menghantam pantai, tidak akan pernah berhenti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!