Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sudah sebulan Elina berada dirumah mewah itu, suasana sepi dalam hatinya semakin membuatnya bosan. ia merindukan Luna dan juga adiknya Sophia. hari ini Elina berencana keluar ingin menemui Luna,langkahnya terhenti ketika pandangan Elina jatuh di punggung Elizabeth,ibu mertua yang menganggapnya tidak ada.
Elina berdiri di ambang pintu ruang keluarga, ragu-ragu. Elizabeth, ibu mertuanya, duduk di sofa, asyik membaca majalah mode terbaru. Udara di ruangan terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan, tetapi juga karena sikap acuh Elizabeth.
"nyonya" Elina memulai, suaranya nyaris tak terdengar.
"aku ingin meminta izin untuk bertemu Luna sebentar"
Elizabeth tidak mengangkat kepala. Ia membalik halaman majalah, seolah Elina hanyalah udara. Keheningan mencengkeram Elina. Ia menunggu, berharap mendapat respon, sekadar anggukan atau gelengan kepala. Tetapi tak ada.
Elina mencoba lagi, suaranya sedikit lebih keras kali ini.
"Aku sudah berjanji padanya nyonya, Hanya sebentar saja"
Elizabeth masih asyik dengan majalahnya. Ia seakan-akan tidak mendengar, atau mungkin sengaja mengabaikan. Elina merasakan sesak di dadanya. Rasa ditolak dan diabaikan begitu menyakitkan. Ia merasa seperti tak terlihat, seperti keberadaannya pun tak berarti dirumah itu dan bagi Elizabeth.
Dengan langkah gontai, Elina meninggalkan ruangan. Permintaan izinnya terabaikan, sama seperti dirinya. Ia tak perlu menunggu jawaban, karena diam Elizabeth sudah menjadi jawaban itu sendiri.
Elina melangkah keluar dari rumah, langkahnya gontai, namun ada setitik harapan yang menyala di dalam hatinya. Bayangan wajah Elizabeth yang acuh masih menghantuinya, namun pikiran akan pertemuan dengan Luna sedikit meringankan bebannya.
Sesampainya di restoran, Elina langsung menuju meja Luna. Luna, yang sedang membersihkan meja, langsung berseru gembira saat melihat Elina.
"Elina.Astaga, kau datang aku kira kau tidak bisa datang" Luna berlari kecil menghampiri Elina, memeluknya erat. Wajahnya berseri-seri, penuh antusias. ia sangat merindukan sahabatnya itu.
"Aku...aku telat,aku minta maaf" kata Elina, sedikit terbata-bata. Ia masih merasa sedikit terbebani oleh perlakuan Elizabeth, namun kegembiraan Luna berhasil sedikit mencairkan hatinya.
"Telat? tidak sama sekali.aku sudah menunggu sejak tadi" Luna menarik Elina untuk duduk.
"Ceritakan semuanya. Bagaimana dengan nyonya Elizabeth?"
Elina tersenyum, kali ini lebih tulus. Kehadiran Luna, yang begitu hangat dan ceria berhasil membantunya melupakan sejenak beban yang menimpanya. Ia menceritakan semuanya, mulai dari permintaan izin hingga sikap acuh Elizabeth. Luna mendengarkan dengan saksama, sesekali memberikan dukungan dan semangat. Kehangatan sahabatnya itu menjadi obat penawar yang mujarab bagi hati Elina yang sedang terluka. hari ini, setidaknya, ia merasa sedikit lebih baik.
Elina dan Luna asyik bercerita, tawa mereka sesekali memecah kesunyian restoran yang mulai sepi. Tiba-tiba, sebuah bayangan familiar muncul di ambang pintu dapur. Jantung Elina berdebar. Ryan. Mantan atasannya, yang dulunya begitu dekat dengannya.
"Elina?" suara Ryan terdengar sedikit ragu, namun penuh harap.
Elina tersenyum kecut, kenangan masa lalu berputar di kepalanya. perlakuan Ryan yang ramah sangat membekas di ingatan nya. Masa-masa ketika ia dan Ryan begitu dekat, hampir melewati batas profesional. Kenangan itu manis sekaligus pahit.
Ryan menghampiri mereka, raut wajahnya campuran antara gugup dan bahagia. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Elina, matanya tak lepas dari Elina.
"bagaimana kabarmu Elina" katanya, suaranya sedikit serak.
Percakapan mereka mengalir lancar, tapi ada ketegangan yang tersirat di antara mereka. Kenangan masa lalu yang begitu dekat, yang hampir berujung pada hubungan romantis, menghantui mereka berdua. Mereka membahas hal-hal umum, namun tatapan mata mereka menceritakan kisah yang berbeda. Kisah tentang kedekatan yang tak terucap, yang terhenti karena berbagai alasan.
Luna, yang jeli mengamati, melihat percikan api yang masih menyala di antara Elina dan Ryan. Ia tersenyum simpul, memahami ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional di masa lalu. Setelah Ryan pamit, Luna menatap Elina dengan penuh arti.
"Dia masih menyimpan perasaan" tebak Luna, suaranya lembut. Elina hanya tersenyum tipis, tak membantah. Hari ini pertemuan tak terduga dengan Ryan telah membangkitkan kembali perasaan yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
Setelah Ryan pamit, keheningan menyelimuti meja mereka. Luna menatap Elina, matanya berbinar dengan campuran emosi yang rumit. Elina tahu apa yang dipikirkan Luna. Ia menghela napas, merasa beban di hatinya semakin berat.
"Luna" Elina memulai, suaranya sedikit gemetar.
"Aku… aku ingin meminta maaf."
Luna mengangkat alisnya, menunggu Elina melanjutkan.
"Dulu… aku sangat tidak peka. aku tidak menyadari perasaanmu pada Ryan. aku terlalu fokus pada cerita hidupku. jika bukan karena ibu, aku tidak tahu perasaanmu" Elina mengakui kesalahannya dengan tulus. Ia merasa bersalah karena telah menyakiti sahabatnya sendiri.
Luna tersenyum getir.
"Tidak apa-apa, Lin. aku juga minta maaf atas ibuku" katanya, suaranya lembut.
"dan Itu sudah lama. aku sudah melupakannya." Namun, raut wajahnya terlihat sedih dan sedikit gelisah
"Tapi aku tidak" Elina melanjutkan.
"Aku merasa bersalah. Aku seharusnya lebih peka terhadap perasaanmu. Sebagai sahabat, aku gagal menjadi teman yang baik untukmu"
air mata mulai menggenang di pelupuk mata Elina. Ia benar-benar menyesali kesalahannya di masa lalu.
Luna meraih tangan Elina, memberikan sedikit tekanan yang menenangkan.
"Sudahlah, Lin. Yang penting sekarang kita sudah baik-baik saja. Kita tetap sahabat, kan?"
Elina mengangguk, air matanya menetes.
"Terima kasih, Lun. terima kasih, kamu adalah sahabat paling pengertian" Ia memeluk Luna erat, merasa lega karena sahabatnya masih mau memaafkannya. Meskipun masa lalu tak bisa diubah, permintaan maaf Elina telah membuka jalan bagi mereka untuk memperbaiki hubungan persahabatan mereka.
Setelah permintaan maaf Elina, suasana menjadi lebih hangat. Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, Ryan kembali muncul, terlihat lebih yakin dan tegas. Ia mengajak Elina bicara di luar.
Di taman kecil dekat restoran, Ryan menyatakan perasaannya, mengatakan ia tak peduli dengan Axel dan ingin Elina bersamanya. Elina terdiam, hatinya bercampur aduk. Namun, sebelum ia bisa menjawab, ia melirik ke arah Luna yang masih duduk di restoran. Kemudian, Elina berbisik kepada Ryan
"Sebenarnya… ada sesuatu yang ingin kukatakan. Tentang Luna…"
Ryan mengerutkan dahi, bingung. Elina melanjutkan
"Luna… sebenarnya dia sudah lama menyukaimu. Sejak pertama aku bekerja di restoran ini" Ia memberikan isyarat halus, menjelaskan bahwa Luna menyimpan perasaan untuk Ryan selama ini, dan ia baru menyadari hal itu sudah sejak lama. Ia berharap Ryan bisa mengerti situasinya.
Ryan tertegun. Ia menatap Elina, lalu ke arah restoran tempat Luna duduk. Ia tampak berpikir keras, mencerna informasi baru ini. Perasaannya terhadap Elina masih kuat, namun ia juga menyadari perasaan Luna. Situasi menjadi lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Ia harus mempertimbangkan perasaan Elina, perasaannya sendiri, dan perasaan Luna yang selama ini terpendam.
Keputusan yang harus ia ambil kini jauh lebih berat daripada yang ia perkirakan sebelumnya. Ia harus memutuskan, apakah akan mengejar cintanya pada Elina yang entah sampai kapan ia akan mendapatkannya atau menghormati perasaan Luna yang selama ini tersembunyi.
.
.
.
.
.
Lanjut yah
like komentar dan favorit 😍
See you