"Hanya aku yang boleh menyiksa dan membuatmu menderita. Hanya aku yang boleh mencintai dan memilikimu."_Sean Aznand.
Sonia Elliezza, rumah tangga yang dia idam-idamkan selama ini menjadi mimpi buruk untuknya, walaupun Sonia menikah dengan pria yang sangat dia cintai dan juga mencintainya.
Hanya karena kesalahan di masa lalu, membuat rumah tangga Sonia bersama dengan Sean Aznand menjadi sangat dingin dan menegangkan serta penuh dendam dan amarah yang tak terbantahkan.
Sean memberikan pilihan pahit pada Sonia di awal pernikahan mereka yaitu pergi atau bertahan. Pilihan apakah yang Sonia ambil?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyiksaan
Sonia mengedarkan pandangannya di ruangan yang cukup luas itu, di sana banyak terdapat beberapa alat penyiksaan yang Sonia sendiri tidak tau kegunaannya untuk apa saja.
"Are you ready?"
Mendengar suara Sean, Sonia hanya diam terpaku, di hatinya saat ini sangat takut dan juga begitu tertekan, tapi tidak sama sekali menyesal dengan pilihannya. Sonia menarik nafas dalam dan berjalan mengikuti Sean.
"Bersiaplah untuk awal kehidupan barumu sayang, untuk pertama kali mungkin akan sedikit sakit tapi jika kamu alami setiap hari maka tubuhmu akan kebal dan kamu akan kuat kok." Kata Sean sambil mengikat kedua tangan Sonia ke atas, sekarang posisi sonia kedua tangan yang diikat dengan rantai ke atas dan kaki yang juga diikat dengan rantai.
"Kenapa hidupku harus begini ya Allah, tolong kuatkan aku." Do'a Sonia di dalam hatinya.
"Kau ingin bicara?" Tanya Sean dengan senyum devilnya melihat Sonia yang saat ini sangat ketakutan, Sonia hanya menggeleng.
"Nikmati saja semuanya dan rasa sakitnya akan berkurang, jangan terlalu cengeng, rasa sakit di tubuh itu bisa sembuh sayang tapi di hati, akan susah." Kata Sean.
"Maafkan aku yang sudah menyakitimu, lakukanlah apapun yang membuatmu tidak benci lagi padaku."
"Oke, memang itu yang akan aku lakukan sekarang, kita akan mulai pemanasan. Sekarang katakan padaku, alat mana yang kau inginkan? "
"Maksudmu?"
"Hari ini aku sedang berbaik hati padamu sayang, silahkan pilih salah satu di antara semua alat ini, manakah yang kamu inginkan?" Sonia tidak tau harus memilih yang mana, melihat alat-alat penyiksaan itu saja sudah membuatnya ngeri.
"Terserah padamu saja, aku tidak keberatan."
"Haha oke."
Sean memilih sebuah cambuk, melihat nya saja sudah membuat jantung Sonia akan berhenti, dia tidak bisa membayangkan bagaimana cambuk itu akan melayang di tubuhnya.
Selama ini Sonia tidak pernah menerima kekerasan fisik dari siapapun, dia begitu takut dengan yang namanya kekerasan, itulah kenapa dia memiliki sifat yang sangat manja.
Dia teringat dengan tetangganya Bu Visa yang selalu mendapat kekerasan oleh suaminya, setiap hari dia selalu melihat wajah dan tubuh Bu Visa memar dan setiap hari pula dia mendengar teriakan serta umpatan dari suami Bu Visa itu pada anak dan istrinya.
"Kamu kenapa nak?" Tanya Emir pada putri kecilnya yang sedang menutup telinga karena takut mendengar Bu Visa bertengkar dengan suaminya.
"Sonia takut yah, pasti Bu Visa ditampar dan dipukul lagi sama suaminya." Emir yang sangat tau ketakutan Sonia langsung memeluk erat tubuh mungil itu, ketika itu usia Sonia baru 8 tahun.
"Biarin aja, itu urusan mereka. Gimana kalau sekarang Sonia ikut ayah nonton kartun Doraemon, filmnya udah mulai." Ajak Emir untuk menghilangkan rasa takut Sonia. Inilah alasan kenapa Emir dan istrinya tidak pernah bertengkar di hadapan Sonia, dia sangat takut putrinya kena mental.
"Kamu siap?" Tanya Sean yang seketika itu membuyarkan ingatan masa lalu Sonia. Sonia berharap jika Emir ada disini sekarang dan menolongnya tapi hal itu sangat mustahil terjadi.
"Senyum dong." Sean mendekati Sonia, dia masih tidak habis pikir jika orang yang dia jadikan pelindung dan tempat sandaran sekarang malah menjadi seorang monster yang menakutkan. Sonia memejamkan matanya seakan siap dengan cambukan yang akan Sean layangkan.
"Akhh." Erang Sonia saat cambuk itu melayang di tubuhnya, rasanya begitu sakit dan perih, Sean melakukannya berulang kali di bagian punggung dan kaki Sonia. Tubuh putih mulusnya kini sudah berubah menjadi merah bercampur darah, baju Sonia bagian belakang pun robek walau tidak banyak.
Selama 20 menit Sean dengan membabi buta mencambuk Sonia, namun istrinya itu tidak bersuara sama sekali, Sonia menahan semuanya, dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa sakit di tubuhnya saat ini.
"Ayaahhh tubuh Sonia sakit yaahh." Jerit batin Sonia.
Sean menghentikan aksinya dan beristirahat sejenak, dia mengambil sebatang rokok kemudian membakar dan menghisapnya.
"Bagaimana? Sakit?" Tanya Sean santai sedangkan Sonia sudah meringis kesakitan.
"Iya." Jawab Sonia dengan lemah
"Baru 20 menit, waktu kita masih panjang, aku ingin kamu di sini selama satu jam, berarti masih ada 40 menit lagi. Aku akan kasih kamu waktu 10 menit untuk istirahat dan kita akan mulai kembali, aku masih belum puas karena belum mendengar teriakan kesakitan dari mulut mu."
Sonia tidak menjawab ucapan Sean lagi, dia fokus pada tubuhnya yang saat ini terasa sangat perih. Kekerasan yang selama ini dia takuti malah datang menghampirinya dan itupun dia dapatkan dari suaminya sendiri.
Sean mendekati Sonia dan memandang remeh istrinya itu, keringat Sonia sudah membasahi seluruh tubuhnya, lututnya begitu lemah untuk berdiri saat ini.
"Yang kamu rasakan saat ini hanya sakit di bagian luarnya saja Sonia, kamu bisa bayangkan bagaimana sakitnya aku ketika kau tinggalkan dulu."
"Maafkan aku." Ucap Sonia pelan tanpa menatap wajah Sean.
"Sssttt jangan minta maaf terus, aku tidak butuh maafmu. Sekarang katakan padaku, sudah berapa kali kau tidur dengan papaku?" Sonia hanya bungkam tak menjawab, dia tidak mau buka suara mengenai hal itu, Sonia lebih baik bungkam dan disiksa daripada dia harus menjelaskan semuanya pada Sean.
"Ayo jawab! Sudah berapa kali?" Sean yang tidak menerima jawaban apapun dari istrinya langsung menjambak kuat rambut panjang Sonia hingga kepala Sonia mendongak menatap Sean, Sonia kini terisak.
"Tinggal jawab saja apa susahnya hah? Apa segitu cintanya kau pada tua bangka itu sampai kau rela bungkam dan disiksa olehku?" Sonia masih diam tak bicara sepatahpun, Sean dibuat geram olehnya.
"Baik,aku akan membuatmu bersuara." Sean kembali mengambil cambuk dan terus mendera istrinya, cambukan itu terus melayang di permukaan kulit Sonia,air matanya tak henti mengalir namun suaranya masih dia tahan hingga 20 menit kemudian berlalu, kondisi Sonia saat ini begitu mengenaskan, tubuhnya penuh dengan darah dan luka.
Sonia mengatur nafasnya dan terduduk di lantai setelah Sean melepaskan rantai di tangan dan kakinya.
"Khadijah akan mengobatimu, besok aku ingin kau lebih kuat dari hari ini agar aku bisa membuat luka baru di tubuh cantikmu ini. Tubuh yang sangat aku benci karena sudah ternoda dan itu sangat menjijikkan bagiku." Kata-kata Sean sangat menyakiti hatinya.
Sean melenggang keluar dan membiarkan Sonia menangis sendiri di ruang penyiksaan itu. Sonia dengan tertatih berjalan menuju kamarnya, dia harus kuat karena ini baru awal. Untuk lima tahun ke depan dia akan menghadapi hal ini setiap harinya. Sonia membersihkan tubuhnya dan berendam dengan air dingin di dalam bathub, dia mencoba untuk menetralisir rasa sakit dan perih di tubuhnya itu.
"Aku bisa bertahan, aku yakin bahwa aku mampu." Kata Sonia menyemangati dirinya sendiri.
Sonia memejamkan matanya, dia merasa sedikit lebih baik dari pada tadi, tak terasa Sonia tertidur sambil berendam. Sonia terbangun karena mendengar ketukan pintu, dia segera mengakhiri mandinya dan keluar dari kamar mandi tersebut dengan menggunakan handuk yang hanya menutupi dada hingga pahanya. Sonia sudah melihat Khadijah dengan wajah yang panik, Sonia hanya tersenyum padanya.
"Ibu pikir kamu kenapa di dalam sana." Panik Khadijah.
"Maaf bu, Sonia tadi ketiduran di dalam kalo nggak ibu ketuk tadi pasti aku masih tidur hehe." Dalam kondisi seperti ini Sonia masih bisa tertawa.
Khadijah begitu ngilu melihat luka di tubuh Sonia saat ini, dia bisa melihat jelas semua luka itu karena Sonia hanya menggunakan handuk. Khadijah sudah memilih baju tidur yang nyaman untuk Sonia pakai, sebelum mengenakan pakaian, Khadijah mengoleskan obat luka pada Sonia.
"Mending kamu mundur saja nak, daripada harus begini setiap hari." Saran Khadijah sambil mengoleskan obat luka pada Sonia.
"Nggak bu, aku yakin ini tidak akan berlangsung lama, aku hanya akan menikah sekali seumur hidup, aku tidak akan pernah meninggalkannya dan kami akan menua bersama. Ibu doakan saja rumah tangga kami ya." Sonia tersenyum seakan dia ikhlas menjalani kehidupannya bersama dengan Sean.
"Segitu cintakah kau padanya?"
"Hanya dia pria yang sangat aku cintai bu, aku sangat mencintai suamiku, apa dan bagaimana dia, aku tetap mencintainya." Khadijah menitikkan air mata mendengar jawaban Sonia, dengan cepat dia hapus.
"Kalau memang begitu, ibu juga tidak mungkin memaksa kamu meninggalkan suamimu, ibu takut berdosa juga. Semoga Allah membukakan pintu hati tuan agar melihat ketulusanmu."
"Aamiin insyaallah ya bu."
Sonia selesai diobati, Khadijah meninggalkan kamar Sonia dan melihat kalau Sean sudah berdiri di depan kamar Sonia. Mata Sean tampak menahan air mata namun dia tidak ingin terlihat lemah.
"Aku sudah mengobatinya tuan, apa anda ingin masuk?"
"Mosi pergi saja, aku yang akan mengunci kamar ini." Khadijah berjalan menjauhi kamar itu, Sean membawa langkahnya memasuki kamar Sonia, dengan cepat Sonia bangun dari tidurnya dan duduk. Dia sangat ketakutan menatap Sean yang tengah duduk di sampingnya, Sonia memaksakan senyum pada Sean agar tidak terlihat kaku.
"Apakah sakit?" Tanya Sean dengan suara sedikit bergetar.
"Aku akan terbiasa, mungkin ini hal pertama bagiku jadi terasa sakit." Sonia mencoba terus tersenyum.
"Tidurlah, aku akan menemanimu hingga kau terlelap." Suara Sean terdengar lembut, Sonia mengangguk lalu merebahkan tubuhnya, Sean menyelimuti Sonia lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Sonia dan berbisik.
"Aku mencintaimu Sonia, aku sangat mencintaimu, tidurlah dan jangan buka matamu." Suara Sean terdengar begitu tulus dan lembut. Mendengar pernyataan cinta dari Sean sukses membuat air mata Sonia lolos, dia terisak dan tubuhnya bergetar.
...***...
Vanno mencoba untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita asal Spanyol bernama Laura, mereka sudah dekat dua bulan belakangan ini. Mereka awalnya hanya menjalin kerja sama namun timbul rasa tertarik di hati Laura pada Vanno, dan Vanno juga mencoba membuka hati pada Laura.
Hitung-hitung belajar move on dari Sonia yang sekarang sudah menjadi istrinya Sean.
"Mau kemana?" Tanya Laura pada Vanno yang saat ini sedang fokus mengemudikan mobilnya.
"Cari tempat makan dulu, aku lapar, kamu pasti juga laparkan? Sejak tadi aku belum lihat kamu makan. Apa kamu sedang diet?"
"Noo Vanno, aku tidak suka diet, bagiku diet itu adalah sebuah penyiksaan diri. Aku tidak mau begitu." Jawab Laura dengan ceria.
"Kamu mau makan dimana?"
"Aku ingin makan pecel ayam, mumpung sekarang aku lagi di Indonesia, aku mau makan masakan Indonesia."
"Okeee kalau begitu aku tau dimana tempat yang enak untuk makan pecel ayam."
Vanno menuju ke warung makan Mbak Nem, disana adalah tempat makan pecel favoritnya Sonia, Sonia dulu yang merekomendasikan warung ini dan saat Vanno mencoba memang enak. Mereka mencari tempat duduk yang nyaman dan dekat dengan kipas angin, warung ini sangat sederhana namun begitu banyak pelanggan.
Vanno memesan pecel ayam 2 pakai nasi dan jus jeruk 2, sambil menunggu pesanan mereka siap, Vanno memainkan ponselnya, begitu juga dengan Laura yang sibuk dengan sosial medianya.
"Mas Vanno, sekarang sudah jarang ya makan di sini, dulu sering ke sini sama Sonia." Sapa Mbak Nem pemilik warung pada Vanno.
"Iya mbak, dia sudah menikah sekarang dan saya sibuk dengan pekerjaan jadi jarang makan di sini."
"Oh ini siapa mas? Istrinya ya?"
"Bukan mbak, ini teman saya, Laura." Laura menatap Vanno dengan senyum semar, dia kecewa karena Vanno hanya menganggapnya teman.
"Oh sangat cantik, saya permisi ya."
"Iya." Vanno melihat guratan kekecewaan di wajah Laura tapi dia tidak ingin mengatakan apapun.
"Aku pikir kita lebih dari teman." Tukas Laura tanpa menatap Vanno, pandangannya tetap ke layar ponsel miliknya itu.
"Jalani saja dulu Lau."
"Okee."
Sorry aku langsung emo... geram perangai perempuan mcm nie.