Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Bayangan yang Kembali
Elarya melangkah mantap di depan Kael dan Nessa, meskipun tubuhnya masih terasa lelah. Cahaya yang tadi mengalir dari dalam dirinya telah redup, namun kehadiran segel cahaya itu tetap terasa. Ia menyadari betapa pentingnya keseimbangan antara kegelapan dan cahaya yang kini menjadi bagian dari dirinya. Semua pelajaran yang diberikan Kael dan Nessa masih terngiang dalam benaknya—bahwa kegelapan bukanlah sesuatu yang harus dimusnahkan, melainkan dipahami dan diterima.
Namun, meskipun ia merasa sedikit lebih tenang setelah pertempuran dengan bayangan gelap itu, Elarya tahu bahwa ini belum berakhir. Kegelapan yang muncul tadi hanyalah sebagian kecil dari ancaman yang mengintai. Dalam perjalanannya, ia merasa semakin yakin bahwa segel cahaya di tubuhnya bukan sekadar kekuatan yang harus dijaga, tetapi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah nasib seluruh dunia.
Kael dan Nessa berjalan di sampingnya, keduanya dalam diam yang penuh makna. Hutan yang gelap dan sunyi semakin terasa menakutkan seiring dengan berjalannya waktu. Elarya merasakan perubahan dalam udara sekitar mereka—sesuatu yang tak terlihat, tetapi terasa, seperti jejak-jejak langkah bayangan yang mereka tinggalkan di belakang.
"Ada sesuatu yang tidak beres," bisik Kael, suaranya rendah, penuh kewaspadaan. "Aku bisa merasakannya. Kegelapan ini semakin mendekat."
Elarya menatap Kael, matanya berkilat. "Apa yang terjadi? Apa yang kita hadapi kali ini?"
Kael berhenti sejenak, menatap ke depan dengan tajam. "Sesuatu yang lebih kuat dari yang kita duga," jawabnya perlahan. "Kegelapan ini bukan hanya berasal dari makhluk-makhluk yang kita temui. Ini adalah sesuatu yang lebih mendalam—sesuatu yang mengakar pada sejarah kuno."
"Sejarah kuno?" Elarya bertanya, berusaha memahami apa yang Kael maksudkan.
"Ya," jawab Kael. "Segel cahaya yang ada dalam tubuhmu bukan hanya simbol kekuatan. Itu adalah warisan yang tertanam sejak zaman dahulu. Zaman ketika perang antara cahaya dan kegelapan hampir menghancurkan dunia ini. Dan kini, setelah ribuan tahun, bayangan gelap itu mulai bangkit kembali."
Elarya merasakan tenggorokannya tercekat. "Maksudmu, kegelapan yang ada dalam tubuhku, itu bukan hanya milikku?" tanyanya, suara cemas.
Kael mengangguk, wajahnya serius. "Tidak. Kekuatan yang kamu miliki adalah kunci untuk membuka kembali perang besar itu. Dan kegelapan, yang sekarang bergerak mencari kekuatanmu, ingin menggunakannya untuk membangkitkan kembali apa yang telah lama terkubur."
Elarya merasakan beban berat di pundaknya, lebih besar dari sebelumnya. "Jadi, aku... aku harus mencegahnya, kan?"
"Ya, tetapi kita tidak tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan kegelapan itu," jawab Kael. "Ada banyak pihak yang menginginkan segel cahaya yang ada padamu. Mereka tidak hanya mencari kekuatan untuk menguasai dunia, tetapi untuk menghancurkan keseimbangan antara cahaya dan kegelapan. Itu yang harus kita cegah."
Nessa, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Kegelapan itu mulai merasuki banyak orang, Elarya. Tidak hanya para pengikut Penguasa Kegelapan, tetapi juga mereka yang berada di tempat yang paling tak terduga. Kami harus hati-hati, karena musuh kita mungkin sudah dekat."
Elarya menggigit bibir, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukanlah tentang sekadar bertahan hidup, tetapi tentang menentukan arah dunia. Kekuatan dalam dirinya adalah sebuah kunci yang bisa membuka banyak pintu—dan jika salah tangan yang memegangnya, segalanya bisa hancur.
"Kael," Elarya berkata setelah beberapa saat hening, "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa mengendalikan segel ini?"
Kael menatapnya, matanya lembut namun penuh dengan beban yang tak bisa ia sembunyikan. "Kita harus menemukan tempat yang aman, tempat di mana kamu bisa belajar lebih banyak tentang segel itu. Kita perlu mencari tahu bagaimana cara menggunakannya dengan bijak, dan bagaimana menghindari godaan kegelapan yang akan terus mengikutimu."
"Apa yang kita cari?" tanya Elarya lagi. "Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak aku pahami."
Nessa mengangkat bahunya dengan tenang. "Kita harus mencari petunjuk-petunjuk yang tersembunyi di dunia ini. Ada banyak tempat yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memiliki segel cahaya, seperti dirimu. Tetapi untuk menemukannya, kamu harus memahami lebih dalam tentang siapa dirimu, dan kekuatan yang mengalir dalam tubuhmu."
Mereka berjalan dalam diam untuk beberapa waktu, merenungi kata-kata Nessa. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat, seiring dengan semakin dekatnya bayangan kegelapan yang mengintai dari kejauhan. Elarya tahu bahwa apapun yang akan terjadi, ia harus siap. Segel cahaya dalam dirinya bukan hanya untuk perlindungan dirinya sendiri, tetapi untuk keselamatan dunia. Dan itu adalah tugas yang sangat besar.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari jauh, dan ketiga mereka berhenti sejenak. Kael menyentuh gagang pedangnya, siap menghadapi apapun yang datang. "Siapa itu?" tanya Kael, matanya menilai sekitar mereka.
"Teman atau musuh?" tanya Nessa, siaga dengan tongkat sihirnya.
Elarya berusaha menenangkan diri, merasakan kekuatan cahaya di tubuhnya yang mulai berkumpul kembali. Apapun yang akan terjadi, ia harus siap. Tiba-tiba, sosok itu muncul dari balik pepohonan, seorang pria dengan mantel gelap yang hampir menyatu dengan bayangan malam. Wajahnya tersembunyi sebagian oleh tudung, tetapi matanya berkilat tajam, menatap mereka dengan intens.
"Kael, Nessa," pria itu menyapa dengan suara dalam dan tegas. "Aku datang untuk memperingatkan kalian. Kegelapan telah bangkit, dan kalian tidak akan bisa menghindar lagi."
Kael melangkah maju, bersiap menghadapi siapapun yang berdiri di depan mereka. "Siapa kau?" tanyanya, matanya tajam.
Pria itu tersenyum tipis, dan perlahan mengangkat tangannya, memperlihatkan segel hitam yang terukir di kulitnya. "Aku adalah pengikut Kegelapan. Dan aku datang untuk memberitahumu, Elarya, bahwa waktumu sudah hampir tiba."
Elarya merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan dan kebingungan melanda dirinya. "Kamu... apa yang kamu inginkan dariku?"
Pria itu mengangkat alisnya, tatapannya penuh peringatan. "Kegelapan itu ingin kamu bergabung dengannya. Dan ketika saatnya tiba, kamu akan memilih: cahaya atau kegelapan."
Dengan kata-kata itu, pria itu melangkah mundur, menghilang ke dalam bayangan malam, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara. Elarya berdiri terdiam, matanya mengikuti bayangannya yang semakin memudar.
Apa yang baru saja terjadi? Dan apa artinya pertemuan ini bagi nasibnya? Satu hal yang jelas—kegelapan yang mereka hadapi bukan hanya ancaman fisik, tetapi juga ujian batin yang harus ia hadapi.
Elarya berdiri terdiam, mata terpaku pada tempat di mana pria itu menghilang. Angin malam yang dingin berdesir di antara pepohonan, namun tubuhnya terasa seperti membeku. Kata-kata pria itu berputar-putar dalam pikirannya, menghantui setiap inci kesadarannya. "Kegelapan itu ingin kamu bergabung dengannya," kata-kata itu terus terngiang, menambah berat yang sudah terpendam di dalam hati.
"Elarya?" suara Kael memecah keheningan. Ia berdiri di sampingnya, matanya penuh perhatian dan kekhawatiran. "Apa yang kamu rasakan?"
Elarya menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Aku... aku tidak tahu." Ia melirik Kael, kemudian menatap Nessa. "Apa maksudnya? Apa yang dia katakan tentang aku?"
Nessa melangkah maju, wajahnya serius. "Kegelapan yang dia maksudkan... bukan hanya makhluk atau entitas tertentu. Itu adalah kekuatan yang lebih tua, lebih dalam. Setiap segel cahaya selalu disertai dengan kekuatan kegelapan yang tersembunyi, dan kekuatan itu akan terus menggoda kita untuk menggunakannya. Tidak ada yang pernah berhasil menahan godaannya selamanya."
Kael menyilangkan tangannya, tatapan penuh tekad. "Tapi kamu berbeda, Elarya. Kamu sudah menunjukkan bahwa kamu bisa menghadapinya. Kegelapan itu mungkin mencoba merasuki pikiranmu, tetapi selama kamu tetap teguh, kamu bisa mengendalikannya."
Elarya menggigit bibir, merasakan beratnya takdir yang sudah menantinya. "Tapi apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu apakah aku bisa menang melawan godaan itu. Setiap kali aku merasa aku mengendalikan cahaya, kegelapan itu datang lagi, mencoba mengalahkan aku."
Nessa menghela napas, lalu mendekat. "Kegelapan itu akan terus datang, dan kamu harus siap. Kamu tidak sendirian dalam perjuangan ini. Kael dan aku akan membantumu, tetapi pada akhirnya, pilihan itu ada padamu. Jika kamu benar-benar ingin mengendalikan segel cahaya itu, kamu harus mengerti bahwa kegelapan itu bukan hanya sesuatu yang ada di luar dirimu. Itu ada dalam dirimu—dalam setiap keputusan yang kamu buat."
"Pilihan?" Elarya bertanya, bingung. "Apa maksudmu?"
Kael menatapnya, dengan senyum yang hampir tak terlihat di wajahnya. "Maksudnya adalah, kamu harus memilih siapa dirimu. Cahaya atau kegelapan, keduanya ada dalam dirimu. Dan kamu harus memutuskan yang mana yang akan kamu biarkan memimpin jalanmu."
Suasana menjadi semakin berat, dan Elarya merasakan rasa takut yang menggelora di dalam dirinya. Bagaimana ia bisa memilih? Cahaya yang ada dalam dirinya terasa begitu murni, tetapi kegelapan yang ditawarkan juga memiliki kekuatan yang tak bisa ia abaikan. Mungkinkah dia memilih untuk membiarkan salah satu dari keduanya menguasai dirinya sepenuhnya?
"Apakah... apakah ada cara untuk menghapus kegelapan itu?" tanyanya, suara yang hampir tidak terdengar.
Nessa menggelengkan kepala. "Kegelapan itu adalah bagian dari dunia ini, dan bagian dari dirimu. Menghapusnya bukanlah pilihan yang bisa diambil. Yang bisa kamu lakukan hanyalah mengendalikannya, menyeimbangkannya dengan cahaya dalam dirimu."
"Jadi, aku harus hidup dengan keduanya?" Elarya bertanya, merasa seperti tak ada jawaban yang cukup memadai. "Aku harus menerima kegelapan itu sebagai bagian dari diriku?"
"Ya," jawab Kael. "Tapi itu tidak berarti kamu harus menyerah pada kegelapan itu. Kamu bisa memilih untuk menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan, untuk melawan kekuatan yang lebih besar yang mengancam dunia ini."
Elarya menutup mata, merenungkan kata-kata Kael dan Nessa. Di luar, malam semakin larut, dan angin bertiup semakin kencang. Sesuatu terasa menggelayut di langit, tanda-tanda buruk yang akan datang. Ia tahu bahwa pilihan yang akan ia buat akan menentukan takdirnya, dan tak hanya takdirnya sendiri, tetapi juga takdir dunia yang kini bergantung padanya.
"Tapi jika aku memilih jalan yang salah?" suara Elarya bergetar. "Jika aku tidak bisa mengendalikan segel cahaya itu?"
Kael meraih bahunya dengan lembut, menatapnya dengan mata yang penuh harapan. "Jangan takut, Elarya. Kami ada di sini untukmu. Kami akan membantumu mencari jalan yang benar."
Nessa menambahkan, "Tidak ada yang tahu apa yang akan datang di depan. Tetapi dengan setiap langkah, kamu akan semakin memahami kekuatanmu dan bagaimana mengendalikannya. Hanya dengan keyakinan diri, kamu bisa mengatasi segala tantangan."
Elarya menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kecemasan yang masih menggelayuti hatinya. "Aku tidak bisa melakukan ini sendirian," katanya dengan suara yang lebih pasti. "Aku akan membutuhkan kalian. Dan aku akan berjuang. Untuk diri aku sendiri, untuk kalian, dan untuk dunia ini."
"Bagus," kata Kael, senyum tipis muncul di wajahnya. "Itulah semangat yang kami butuhkan. Ingat, tidak ada jalan yang mudah, tapi dengan kekuatan yang ada dalam dirimu, kita bisa melalui semua ini."
Dengan tekad yang baru, mereka melanjutkan perjalanan mereka, menyusuri hutan yang semakin gelap. Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada bayangan yang mengikuti mereka, menunggu waktu yang tepat untuk melompat dan menggulingkan mereka. Namun Elarya merasa sesuatu yang berbeda. Cahaya dalam dirinya terasa lebih kuat daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa ia belum sepenuhnya menguasainya, tetapi ia sudah lebih dekat. Dan ketika kegelapan kembali datang, ia akan siap menghadapinya.
Di tengah hutan yang sunyi, di bawah langit yang gelap, mereka berjalan menuju takdir yang belum diketahui. Satu hal yang pasti: perjalanan ini baru saja dimulai, dan Elarya tahu bahwa hanya dengan memilih jalannya sendiri, ia bisa melindungi dunia dari kegelapan yang mengancam. Tetapi, di hati kecilnya, ia juga tahu bahwa pilihannya tidak akan mudah.
Malam semakin pekat saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Udara terasa semakin dingin, dan pepohonan yang menjulang tinggi seolah menelan setiap jejak mereka, menutupi cahaya bulan yang coba menembus celah-celah daun. Setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin jauh dari dunia yang mereka kenal, seolah memasuki wilayah yang tidak pernah disentuh oleh manusia.
Elarya merasakan ketegangan yang semakin menumpuk di dalam dirinya. Meski ia berusaha tetap tenang, hati kecilnya merasa ada sesuatu yang menyelinap di setiap bayang-bayang gelap yang melintas di hadapannya. Sejak pertemuan dengan pria misterius yang mengaku sebagai pengikut Kegelapan, perasaan cemas itu tak kunjung hilang. Ia tahu, saatnya untuk memilih bukan hanya soal dirinya, tetapi juga masa depan dunia yang sudah mulai terancam.
Kael, yang berjalan di sampingnya, menoleh sejenak, seakan merasakan kegelisahan yang menggelayuti hatinya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Kael, suaranya rendah namun penuh perhatian.
Elarya mengangguk, meskipun ia tahu Kael bisa membaca perasaan yang tersembunyi di balik ekspresinya. "Aku hanya... berpikir tentang apa yang akan datang. Semua ini terasa begitu besar."
"Ya," Kael menjawab pelan. "Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Kami akan bersama-sama menghadapi apapun yang datang."
Nessa yang berjalan di depan mereka menoleh, matanya tajam menilai lingkungan sekitar. "Elarya benar," katanya dengan suara yang lebih serius. "Kegelapan yang akan datang bukan sesuatu yang bisa kita hadapi dengan kekuatan biasa. Kita perlu lebih berhati-hati, lebih cermat."
Elarya memperhatikan Nessa, yang sepertinya lebih banyak tahu tentang ancaman yang mereka hadapi, meski tidak semuanya ia ungkapkan. Sejak perjalanan mereka dimulai, Nessa selalu memiliki informasi lebih banyak daripada yang Elarya tahu. Namun, ada sesuatu dalam diri Nessa yang membuatnya merasa tidak cukup nyaman untuk bertanya lebih jauh.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, bukan?" Elarya akhirnya bertanya, suaranya penuh keraguan. "Kenapa kau tidak memberitahuku lebih banyak tentang kekuatan ini, tentang kegelapan yang aku hadapi?"
Nessa berhenti dan menghadap Elarya, wajahnya serius. "Ini bukan tentang apa yang aku sembunyikan, Elarya. Ini tentang waktunya yang belum tepat. Kita semua memiliki bagian dari kisah ini, dan setiap saat kita semakin dekat pada jawaban yang kita cari. Tapi untuk itu, kita harus melangkah dengan hati-hati. Kita tidak tahu siapa yang sedang mengawasi kita."
Kael mengangguk, menunjukkan bahwa ia juga setuju dengan pernyataan Nessa. "Terkadang, terlalu banyak informasi bisa menjadi beban yang justru akan menghalangimu untuk bertindak. Kita harus fokus pada apa yang ada di depan kita, bukan terjebak pada apa yang telah lewat."
Elarya merasa sedikit lega mendengar kata-kata Kael. Memang, tidak ada gunanya terlalu terfokus pada ketidakpastian yang ada. Namun, keinginan untuk memahami lebih jauh tentang kekuatan yang ada dalam dirinya tetap membara. Segel cahaya yang kini terpatri di dalam tubuhnya bukan hanya sekadar simbol—itu adalah sesuatu yang luar biasa, namun sekaligus menakutkan.
Tidak lama setelah percakapan itu, mereka tiba di sebuah clearing yang cukup luas di tengah hutan. Di sana, terlihat sebuah bangunan tua yang sebagian besar telah runtuh, namun masih cukup kokoh untuk memberi mereka tempat berlindung. Bangunan itu tampak seperti reruntuhan kuil kuno, dengan pilar-pilar batu yang tertutup lumut dan tanaman merambat. Tempat ini sepertinya sudah lama tidak dihuni, dan Elarya bisa merasakan aura yang kuat di udara—sesuatu yang mengingatkan pada kekuatan lama yang terpendam.
Nessa melangkah maju terlebih dahulu, memeriksa area tersebut dengan cermat. "Ini adalah tempat yang tepat," katanya, suara mantap. "Kuil ini dulunya adalah tempat para penjaga segel cahaya bersembunyi. Kita bisa belajar banyak di sini."
Elarya merasakan beban yang semakin berat di dalam hatinya. Tempat ini, dengan segala keheningan dan kegelapannya, memberikan perasaan bahwa mereka sedang berjalan di jalur yang tidak bisa lagi mereka mundur. Ini adalah tempat yang menguji tekad, tempat yang akan mengungkapkan lebih banyak rahasia tentang dirinya—dan mungkin juga tentang masa depan dunia.
Mereka memasuki kuil tersebut, yang meskipun terlantar, masih menyimpan banyak keajaiban dan misteri. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno, menggambarkan pertempuran antara cahaya dan kegelapan, serta cerita-cerita tentang segel cahaya yang terpecah dan disembunyikan. Elarya merasa ada sesuatu yang memanggilnya di dalam kuil itu—sesuatu yang membangkitkan kekuatan dalam dirinya.
Saat mereka melangkah lebih dalam, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang terlihat seperti altar utama. Di tengahnya, terdapat sebuah batu besar yang dipenuhi simbol-simbol yang Elarya kenali—simbol yang mirip dengan segel yang ada dalam dirinya. Hatinya berdegup lebih cepat saat ia melangkah lebih dekat, merasakan kekuatan yang terpancar dari batu tersebut.
Kael dan Nessa berdiri di sampingnya, mengamati dengan seksama. "Ini adalah pusat kekuatan dari segel cahaya," kata Nessa. "Di sini, kamu bisa belajar lebih banyak tentang kekuatanmu. Tetapi ingat, ini bukan perjalanan yang mudah."
Elarya menyentuh batu itu dengan lembut, merasakan getaran yang mengalir melalui telapak tangannya. Dalam sekejap, ia merasa terhubung dengan kekuatan kuno yang ada di dalamnya. Cahaya yang hangat dan kuat mengalir melalui dirinya, tetapi kegelapan juga hadir, mengintai, menunggu saat yang tepat untuk mempengaruhi pikirannya.
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar di luar, mengguncang dinding-dinding kuil. Kael dan Nessa berbalik, siap menghadapi ancaman apapun yang datang. "Ada sesuatu yang datang," kata Kael, wajahnya tegang.
Elarya menarik tangannya dari batu itu, merasa sebuah kekuatan baru terbangun di dalam dirinya. "Aku bisa merasakannya," katanya pelan. "Kegelapan itu... mereka datang."
Nessa mengangkat tongkat sihirnya, siap untuk bertempur. "Siapapun mereka, kita harus siap menghadapinya."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, suara gelap yang dalam dan mengerikan terdengar dari pintu masuk kuil. "Elarya," suara itu memanggil dengan nada yang mengenalinya. "Kamu tidak bisa menghindar dari takdirmu."
Mata Elarya membelalak. "Kamu... siapa?"
Sosok itu muncul dari bayang-bayang, seorang pria dengan aura yang sangat gelap dan kuat. Di tangannya, sebuah tongkat yang terukir dengan simbol-simbol kegelapan yang mengingatkan pada segel yang ada dalam dirinya.
"Perkenalkan, aku adalah salah satu yang menginginkan kekuatan yang ada dalam dirimu," katanya dengan senyum yang dingin. "Saatnya memilih, Elarya. Cahaya atau kegelapan?"