"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Man Who Stayed
Langit malam di Birmingham memancarkan cahaya remang yang berasal dari lampu-lampu jalan dan gedung-gedung pencakar langit yang masih beroperasi hingga larut. Udara dingin menggigit, menusuk melalui sela-sela mantel tipis, memaksa setiap orang untuk berjalan lebih cepat dan mencari kehangatan di dalam bangunan. Angin tipis menyapu daun-daun kering di trotoar, menciptakan suara gesekan samar yang kontras dengan langkah-langkah kaki para pejalan malam.
Beberapa orang masih sibuk di sekitar halte bus, menunggu kendaraan terakhir untuk membawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan moderat di jalanan yang kini tidak sepadat siang hari, tetapi masih terasa hidup. Birmingham tidak pernah benar-benar tidur.
Hotel tempat Elea dan timnya menginap tampak megah dan modern, berdiri tegak di tengah hiruk-pikuk kota. Dinding kacanya memantulkan gemerlap lampu kota, membuatnya tampak seperti sebuah bangunan futuristik yang tidak tersentuh waktu. Lobi hotel dipenuhi oleh nuansa minimalis yang dingin, dengan marmer putih berkilau dan lampu gantung berbentuk geometris yang memberikan cahaya keemasan samar.
Aroma parfum mahal bercampur dengan aroma kopi yang datang dari kafe kecil di pojok lobi. Beberapa tamu terlihat duduk di sofa-sofa mewah sambil mengetik cepat di laptop mereka, sementara seorang concierge dengan setelan rapi menyambut tamu baru dengan senyum profesional. Meski mewah, ada keheningan yang menekan di sana, seperti ruang kosong yang menanti untuk diisi.
Elea memasuki lobi dengan langkah yang tegas, walaupun ia merasakan betapa beratnya tubuhnya setelah hari panjang yang dihabiskan dengan rapat-rapat melelahkan. Wajahnya tetap datar dan profesional, seperti topeng yang selalu ia kenakan, bahkan di saat-saat seperti ini. Matanya sedikit merah, tapi pandangannya tetap tajam dan fokus. Bahunya kaku, seolah menopang lebih dari sekadar beban fisik. Jane dan Mark, dua anggota timnya, sudah lebih dulu menyerah pada kelelahan.
“Selamat malam, Elea,” kata Lisa dengan suara kecil, senyumnya hampir pudar. Mark hanya mengangkat tangan dengan lesu sebelum mereka bergegas menuju lift, seperti dua orang yang telah terkuras habis energinya.
Fiona, yang kelihatannya sudah tak punya tenaga untuk basa-basi, melirik Elea sekilas. “Terima kasih untuk hari ini, Bu Elea. Sampai jumpa besok pagi,” katanya dengan nada formal, suaranya nyaris bergetar karena kelelahan.
Elea menjawabnya dengan anggukan kecil, senyuman tipis yang hanya sekedar bentuk sopan santun. Namun Darren, seperti biasa, tidak terlihat terburu-buru. Langkahnya santai, koper kecilnya diseret dengan suara bergemuruh kecil yang bergaung di lantai marmer.
“Jadi,” Darren memecah keheningan, suaranya ringan seperti angin malam yang menyusup melalui celah pintu, “bagaimana hari pertamamu, bos?”
Elea menghela napas panjang. Dengan tangan dingin, ia melepaskan syal dari lehernya dan menatap lurus ke depan. “Cukup baik,” katanya, nada suaranya lebih rendah dari biasanya. “Meskipun aku berharap beberapa orang lebih fokus pada pekerjaan mereka.”
Darren langsung menaruh tangan di dada dengan dramatis. Matanya membelalak pura-pura terkejut, dan bibirnya membentuk senyum jenaka. “Apakah itu sindiran untukku? Elea, aku tersinggung. Kau benar-benar terlalu keras padaku.”
Elea berhenti, menatapnya sekilas, dingin seperti embusan angin musim gugur. “Aku tidak punya energi untuk bercanda, Darren. Kalau kau tidak punya hal penting untuk dibicarakan, lebih baik kau pergi beristirahat.”
“Ah,” Darren menatap langit-langit lobi dengan berpura-pura putus asa. “Tapi aku pikir aku cukup penting. Dan, aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Seminggu penuh di kota asing ini bisa melelahkan.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Elea tegas. Matanya kembali lurus ke depan. “Dan aku tidak butuh seseorang untuk menjagaku.”
Lift tiba dengan suara dentingan halus. Mereka berdua masuk, dan pintu tertutup perlahan, menyisakan mereka berdua dalam ruang kecil yang terasa lebih sempit dari biasanya. Keheningan menyelimuti selama beberapa detik. Darren, yang biasanya tak pernah berhenti bicara, kini hanya memandang ke arah panel angka di dinding lift. Ada sesuatu yang berubah di wajahnya—sesuatu yang lebih serius.
“Kau tahu,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan kali ini, seolah takut memecahkan keheningan, “aku benar-benar kagum padamu, Elea. Kau selalu terlihat kuat, seperti tidak pernah membutuhkan siapa pun.”
Elea menoleh padanya, ekspresinya kaku seperti patung. “Itu karena aku memang tidak membutuhkannya.”
Darren tersenyum kecil, senyum yang tak lagi lelucon, tetapi penuh pengertian. Ada sorot mata yang tak bisa Elea pahami—hangat, tulus, namun tak menghakimi. “Tapi bukankah berat jika harus selalu seperti itu?”
Elea terdiam. Untuk sesaat, kata-kata Darren menusuk ke dalam sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Tapi ia segera memadamkan percik emosi itu. “Jika aku mulai bergantung pada orang lain,” katanya lirih, “mereka hanya akan mengecewakanku.”
Darren memandangnya lama, seperti seseorang yang berusaha memahami teka-teki sulit. Namun, sebelum ia sempat membalas, lift berbunyi pelan dan pintu terbuka. Elea melangkah keluar lebih dulu, bahunya tegap meskipun kelelahan memancar dari setiap gerakannya.
“Selamat malam, Darren,” katanya tanpa menoleh.
Darren hanya berdiri di sana, membiarkan pintu lift perlahan menutup di depannya. Tatapannya masih mengikuti punggung Elea yang menjauh, senyum kecil menghiasi wajahnya—bukan senyum biasa, tetapi senyum seorang pria yang telah menemukan sesuatu yang berharga untuk dikejar.
***
Kamar hotel itu luas namun terasa dingin dan kosong. Dindingnya abu-abu lembut, lampu meja kecil memberikan cahaya temaram yang hanya menambah kesan kesepian. Dari balik jendela besar, Birmingham tampak masih terjaga dengan lampu-lampu kotanya yang berkelip seperti bintang-bintang artifisial.
Elea duduk di tepi tempat tidur, laptopnya masih terbuka di depan mata. Di layar ponselnya, sebuah pesan dari Adrian terpampang. Singkat, datar, tanpa emosi.
"Aku ada rapat pagi-pagi besok. Jangan ganggu aku malam ini."
Elea menutup laptop dengan gerakan pelan, suaranya berdecit kecil. Dadanya terasa sesak. Ia selalu bilang pada dirinya bahwa ini bukanlah hal baru—bahwa Adrian memang begitu. Tapi malam ini, keheningan kamar terasa lebih menekan dari biasanya. Ada sesuatu yang kosong di hatinya, seperti ruang besar yang tak bisa diisi.
Ketukan pelan di pintu membuatnya terkejut. Siapa yang akan datang selarut ini?
Ia berjalan menuju pintu, menarik napas sebelum membukanya sedikit. Darren berdiri di sana, senyum lembut terukir di wajahnya. Tangannya memegang dua buah gelas kertas dengan aroma cokelat panas yang samar tercium.
“Aku pikir kau mungkin butuh ini,” katanya pelan.
Elea memandangnya curiga. “Apa yang kau lakukan di sini, Darren?”
“Aku hanya menjalankan misi mulia,” jawab Darren ringan. “Bosku ini butuh sesuatu yang manis di malam yang dingin seperti ini.”
Elea menghela napas, tetapi akhirnya membuka pintu lebih lebar. “Kau tidak perlu repot-repot.”
“Bukan repot. Ini kesenangan,” jawab Darren, menyerahkan satu gelas kepadanya.
Mereka duduk di sofa kecil dekat jendela, memandangi kota yang berkilauan. Keheningan di antara mereka terasa lebih hangat kali ini, seperti ada sesuatu yang mulai runtuh di dinding tebal pertahanan Elea.
Hening mulai menguasai kamar. Hanya suara samar dari lalu lintas malam Birmingham yang sesekali terdengar melalui jendela kaca besar di sisi ruangan. Elea masih memandang ke luar jendela, cokelat panas yang sudah dingin berada di tangannya. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya, dan Darren, yang duduk di sofa kecil di seberangnya, memutuskan untuk mengamati dalam diam.
Namun, Darren tak pernah tahan terlalu lama dalam keheningan, terutama jika Elea menjadi objek diamnya. "Kau tahu," katanya akhirnya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Kalau kau terus memandang keluar seperti itu, aku akan mulai berpikir kau merindukan seseorang."
Elea menoleh, alisnya terangkat. "Dan kau berpikir siapa yang kurindukan?" tanyanya datar, meskipun nada bicaranya menyiratkan sedikit tantangan.
Darren menyandarkan dirinya ke sofa, memasang ekspresi pura-pura berpikir. "Mungkin suamimu? Atau..." Ia berhenti, senyumnya melebar. "Aku?"
Elea mendengus kecil, setengah geli, setengah jengkel. "Kau selalu tahu bagaimana cara mengganggu seseorang, Darren. Tapi itu tidak berhasil padaku."
"Oh, aku tidak mencoba mengganggumu," balas Darren dengan nada main-main. "Aku hanya mencoba membuatmu tersenyum. Kau terlalu serius sepanjang waktu, Elea. Bahkan sekarang, kau terlihat seperti memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah dunia."
Elea menggelengkan kepala, tetapi ia tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. "Kau seharusnya berhenti bersikap seperti anak kecil, Darren. Dunia nyata tidak bisa dihadapi dengan candaan dan lelucon seperti itu."
Darren menatapnya, dan kali ini, senyumnya memudar sedikit. Ada sesuatu yang berubah di matanya, sesuatu yang lebih dalam dan serius. "Mungkin kau benar," katanya pelan. "Tapi kadang-kadang, aku pikir, kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau selalu mencoba menjadi kuat, mencoba mengendalikan segalanya. Tidakkah kau lelah, Elea?"
Elea terdiam. Kata-kata Darren menusuk sesuatu yang dalam di dalam dirinya, sesuatu yang jarang ia akui bahkan kepada dirinya sendiri. Tapi ia cepat-cepat menutupi perasaannya dengan senyuman tipis. "Semua orang punya beban masing-masing, Darren. Aku hanya tahu cara menghadapinya."
"Tapi siapa yang ada untuk membantumu menghadapi itu semua?" Darren bertanya, suaranya rendah tetapi intens. "Adrian? Dirimu sendiri? Atau kau hanya terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja?"
Elea mendesah panjang. Ia tahu bahwa Darren mencoba memahami sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaannya atau malam yang tenang di hotel ini. Tapi ia tidak siap untuk menjawab pertanyaan itu. Tidak malam ini.
"Ini sudah larut," katanya akhirnya, berdiri dari tempat duduknya. "Kau sebaiknya kembali ke kamarmu. Kita punya banyak pekerjaan besok."
Darren tidak langsung bergerak. Ia hanya menatap Elea selama beberapa detik, seperti mempertimbangkan apakah ia harus berkata sesuatu lagi. Tapi akhirnya, ia mengangguk dan bangkit dari sofa.
"Baiklah," katanya dengan senyum kecil, meskipun ada sedikit kekecewaan di matanya. "Tapi jangan berpikir bahwa aku akan menyerah begitu saja. Aku akan terus mencoba membuatmu tersenyum, Elea. Kau tidak bisa melarikan diri dariku."
Elea memutar matanya, meskipun ada sedikit kehangatan di dalam dirinya yang tidak ia akui. "Selamat malam, Darren," katanya sambil membuka pintu.
"Selamat malam," Darren balas, berhenti sejenak di ambang pintu. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh dan menambahkan, "Dan, Elea? Kalau kau butuh seseorang untuk mendengarkan, kau tahu di mana mencariku."
Elea tidak menjawab. Ia hanya menutup pintu perlahan setelah Darren pergi, kemudian bersandar di sana, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya lagi. Ada sesuatu tentang Darren—sesuatu yang menyebalkan tetapi juga... menghibur.
***