seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 32
Mentari pagi menyelinap melalui tirai jendela ruang tamu, memberikan kehangatan yang lembut. Suasana rumah Raka mulai hidup dengan aroma masakan yang menggoda dari dapur. Ayana dan Iris sedang sibuk menyiapkan sarapan. Iris tampak mengaduk jus di blender, sementara Ayana berdiri di depan kompor dengan celemek terikat rapi di pinggangnya. Rambut Ayana digulung rapi dan dijepit, menyisakan lehernya yang jenjang, membuat pemandangan pagi itu tampak begitu tenang dan menawan.
Di ruang tamu, Ziyi masih terlelap dengan gaya seenaknya, wajahnya menghadap sofa. Di sisi lain, Biantara perlahan terbangun oleh suara gemerincing peralatan dapur. Ia membuka mata perlahan, mendapati aroma yang akrab namun terasa asing baginya. Mengangkat tubuhnya, ia melihat sekilas ke arah dapur.
Pandangan Biantara terpaku pada sosok Ayana. Punggungnya yang tegap namun anggun, gerakan tangannya yang terampil saat mengaduk sesuatu di atas wajan, dan senyum kecil yang muncul saat Iris berbicara dengannya—semua itu membuat Biantara merasa terhanyut. Dalam keheningan, pikirannya mulai berkelana.
Ia membayangkan skenario yang selama ini hanya menjadi mimpi baginya: Ayana sebagai istrinya, berdiri di dapur rumah mereka sendiri, menyiapkan sarapan untuknya dan anak-anak mereka. Suasana pagi yang hangat, penuh canda tawa anak-anak, dan senyum Ayana yang selalu ia rindukan. Dalam bayangan itu, semuanya terasa sempurna.
Namun, kenyataan kembali menghampirinya saat suara blender berhenti, dan Iris memanggil Ayana untuk mencoba jus yang baru saja dibuatnya.
Biantara dalam hati, sambil menatap Ayana dengan mata lembut
"Jika saja waktu bisa diputar kembali... Aku tidak akan pernah melepaskannya."
Biantara menarik napas dalam, mencoba menyembunyikan gelombang emosi yang menghangatkan sekaligus menyakitkan dadanya. Ia bangkit perlahan dari tempat tidurnya dan berjalan ke dapur, merasa tak mampu lagi hanya menonton dari kejauhan.
Biantara berdeham pelan, membuat Ayana dan Iris menoleh
"Pagi. Apa aku bisa bantu sesuatu?"
Ayana menoleh dengan sedikit terkejut, tetapi segera tersenyum kecil.
Ayana: "Pagi, Bian. Tidak perlu, semuanya hampir selesai. Duduk saja, sarapan sebentar lagi."
Biantara mengangguk, tetapi ia tetap berdiri di dekat meja dapur, memperhatikan Ayana dalam diam. Ia tahu, pagi ini hanyalah fragmen singkat dari apa yang ia inginkan dalam hidupnya. Namun, meskipun hanya sesaat, kehadiran Ayana di momen itu adalah sesuatu yang akan ia kenang selamanya.
Rumah Raka mulai benar-benar hidup. Anak-anaknya keluar dari kamar dengan wajah menggemaskan khas bangun tidur, rambutnya masih berantakan, berjalan menghampiri meja makan sambil menguap lebar. Ziyi, dengan langkah malas dan mata yang masih menyipit, mengikuti mereka ke dapur sambil menarik kursi untuk duduk. Di sisi lain, Raka sudah rapi dalam setelan kemeja, tampak bersemangat untuk memulai hari di kantornya.
Iris tersenyum pada anak-anaknya
"Ayo, habis ini kalian mandi biar segar. Papa yang bantu kalian, ya?"
Anak-anak itu mengangguk ceria, sementara Ziyi hanya menguap lebar.
Ayana berbicara pada Ziyi dan Biantara
"Ziyi, kamu bisa mandi di kamar anak-anak. Dan bi Bian, kamu bisa mandi di kamarku."ayana sedikit gugup mengatakannya namun apa boleh buat, kamar mandi hanya tersedia di dalam kamar masing masing dan kamar kamar itu ketiganya terisi.
Ziyi memutar bola mata, sedikit menggoda sambil berkata
"Wah, kamar anak-anak untuk aku? Benar-benar pas dengan jiwa mudaku."
Semua tertawa kecil, termasuk Biantara, meskipun dalam hatinya ada sedikit perasaan aneh ketika diberitahu untuk mandi di kamar Ayana. Dengan tenang, ia mengangguk dan berjalan menuju kamar Ayana.
Saat Biantara membuka pintu kamar Ayana, ia langsung disambut oleh aroma lembut khas Ayana, perpaduan wangi sabun dan sedikit aroma bunga yang menenangkan. Kamar itu sederhana tetapi bersih dan rapi, dengan seprai putih dan beberapa bantal berwarna pastel. Ada buku yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur, menandakan bahwa Ayana mungkin membacanya semalam sebelum tidur.
Biantara melangkah masuk, lalu berhenti sejenak di tengah kamar. Matanya mengamati setiap detail—tempat tidur yang sudah rapi, jendela kecil yang tirainya terbuka setengah, dan beberapa barang pribadi Ayana yang terletak rapi di meja rias. Ia tiba-tiba merasa hangat, membayangkan bagaimana rasanya jika kamar ini menjadi kamar mereka berdua.
Bayangan itu muncul begitu jelas di benaknya: Ayana yang tertidur di sebelahnya, senyumnya di pagi hari, dan kebahagiaan sederhana yang ia inginkan selama bertahun-tahun. Ia memejamkan mata sejenak, membayangkan skenario itu dengan sangat nyata.
Biantara dalam hati
"Apa mungkin suatu hari kita akan berbagi kamar ini? Apa mungkin aku masih punya kesempatan untuk membangun hidup yang hangat bersamanya?"
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum melangkah ke kamar mandi. Saat pintu kamar mandi tertutup, Ayana yang baru saja lewat di depan kamar itu berhenti sejenak. Ia menatap pintu yang tertutup rapat, hatinya berdebar kecil, tetapi ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang mengganggunya.
Sementara itu, suara air mulai terdengar dari dalam kamar mandi. Namun, untuk Biantara, suara itu tidak cukup untuk menenggelamkan gelombang perasaan yang terus menghantui pikirannya.
___
Aroma nasi goreng yang menggoda, telur dadar yang renyah, dan beberapa lauk sederhana lainnya memenuhi ruangan. Iris dengan penuh senyum menyampaikan bahwa sarapan hari ini sepenuhnya hasil karya Ayana, sementara dirinya hanya membantu membuat jus dan mempersiapkan hal-hal kecil.
Iris menyodorkan segelas jus kepada Ziyi
"Ayana yang memasak semuanya pagi ini. Aku cuma bantu-bantu sedikit. Hebat, kan?"
Ziyi, dengan gaya khasnya, mencicipi nasi goreng yang baru saja ia ambil, lalu menutup mata dengan dramatis.
Ziyi: "Wah, ini bukan cuma hebat. Ini surga dunia! Aku bisa menetap di sini kalau makanannya selalu begini."
Semua tertawa kecil, termasuk Raka yang sedang menyuapi anak-anaknya. Biantara, yang duduk di ujung meja, diam-diam mencicipi nasi goreng itu. Begitu ia menyuapkan satu sendok ke mulutnya, rasa yang kaya dan pas langsung menyapa lidahnya. Ia terkejut, tetapi wajahnya tetap tenang seperti biasa.
"Masakannya... enak sekali. Dulu dia pernah memasak untukku beberapa kali, tapi rasanya jauh dari ini. Apa dia belajar memasak untuk Devano? Apakah selama tujuh tahun ini dia memasak untuk orang lain?" biantara bergumam dalam hatinya
Pikirannya mulai terganggu, membayangkan Ayana di dapur rumahnya sendiri bersama Devano, memasak dengan penuh usaha. Sesuatu di hatinya terasa tidak nyaman, bahkan sedikit tidak terima.
Raka tersenyum pada Ayana sambil menyuap nasi
"Ayana, kamu serius masak semua ini sendiri? Luar biasa, sih. Nasinya pas, lauknya juga enak."
Ayana tersipu sedikit, tersenyum kecil
"Dulu aku memang tidak bisa masak sama sekali. Tapi setelah menikah... eh, maksudku, setelah sering tinggal di rumah, aku jadi belajar dari maid-maid di rumah. Kadang aku coba-coba resep baru juga untuk mengisi waktu."
Ucapan Ayana terdengar ringan, tetapi bagi Biantara, setiap kata itu terasa seperti jarum kecil yang menusuk. Ia diam, hanya menunduk sambil menggenggam sendoknya lebih erat. Namun, di balik rasa tidak nyamannya, ia juga merasa lega mendengar bahwa Ayana belajar memasak untuk dirinya sendiri, bukan karena terpaksa oleh keadaan.
Ziyi tertawa kecil sambil menunjuk Ayana dengan sendok
"Wah, jadi ternyata para maid di rumah Ayana juga jadi chef dadakan, ya? Kalau aku yang jadi mereka, pasti senang banget diajari Ayana."
Ayana tersenyum hangat
"Mereka sebenarnya lebih ahli daripada aku. Aku hanya suka belajar bersama mereka supaya tidak bosan. Mereka selalu menyambut hangat setiap kali aku mencoba sesuatu yang baru."
Ucapan itu membuat Biantara sedikit tenang. Ia tahu bahwa Ayana selalu punya cara untuk menemukan kebahagiaan kecil di tengah situasi yang sulit. Tapi tetap saja, di hatinya, ada keinginan kuat untuk bisa menikmati masakan Ayana setiap hari di rumah mereka sendiri, sebagai pasangan yang saling mencintai.
Biantara dalam hati, sambil memandang Ayana yang sedang tersenyum pada anak-anak Raka
"Aku tidak akan membiarkan lagi kebahagiaan kecil seperti ini hanya menjadi kenangan. Aku ingin menjadi bagian dari hari-harinya."