Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DOSEN PENGAWAS
"Adara, kamu kok lama banget sih datangnya? Kita semua nungguin kamu loh!" begitu baru saja kaki Adara menginjakkan langkahnya di ruang kelas, temannya yang cerewet, Livi, langsung menanyakan hal tersebut dengan nada yang tak sabar.
"Iya, Ra, untung aja dosennya belum datang. Kamu nggak lupa kan hari ini hari apa?" tanya Kai, si pria berlesung pipi yang manis itu, sambil tersenyum lebar. Semua orang tahu, dia selalu jadi yang paling ceria di antara teman-temannya.
Adara hanya tersenyum kaku, menatap sahabat-sahabatnya dengan ekspresi yang menunjukkan sedikit rasa bersalah. Sebenarnya, dia terlambat hari ini karena terlalu asyik berbicara dengan seorang pria asing yang ditemuinya di taman kampus tadi pagi. Obrolan yang berawal dari hal sepele ternyata berlarut-larut dan menyita waktu Adara, yang membuatnya akhirnya terlambat datang ke kelas.
"Tapi kenapa kelasnya belum dimulai?" tanya Adara, yang melihat sebagian besar mahasiswa lainnya tampak sibuk dengan urusan mereka sendiri, sementara dosen belum juga datang.
"Nah, itu dia! Untung banget dosennya juga terlambat. Pas banget lo terlambat, dosennya juga telat, mantap!" sambung Nolan, pria kocak yang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih ringan dengan candaan-candaannya yang tak pernah habis. Dia memang terkenal sebagai sosok yang tak bisa diam, selalu membuat semua orang tertawa dengan kelakuannya yang lucu.
"Bughh," Vera, temannya yang cuek namun terkadang galak, langsung menyela, "Diam deh, brisik banget sih!" kata Vera dengan ekspresi datar, meski ada sedikit sindiran di balik kata-katanya. Semua teman mereka tertawa geli mendengarnya, karena tahu betul betapa Vera itu jarang bicara kecuali dia benar-benar kesal.
Adara hanya bisa menggelengkan kepala melihat kejenakaan teman-temannya. Meskipun kadang merasa risih, dia cukup bersyukur memiliki mereka dalam hidupnya. Mereka bukan keluarga sedarah, tapi persahabatan yang terjalin di antara mereka sudah cukup membuatnya merasa diterima, merasa ada tempat untuk dirinya di dunia ini. Seringkali, keberadaan mereka yang konyol itu justru membuat hari-harinya menjadi lebih cerah.
"Bagaimana kalau kita ke kantin?" tanya Zara yang memang selalu mengajak teman-temannya pergi makan atau sekadar minum setelah kelas. Zara adalah tipe orang yang tidak suka berlama-lama di kampus jika tidak ada kegiatan, dia lebih memilih pergi makan atau bersantai di luar kampus.
"Alah-alah, ini nih, ini! Mau liat Boby?" sambung Nolan, dengan tepuk tangan kecil yang khas, menggoda Zara yang memang sedang tergila-gila dengan Boby, seorang pria tampan yang cukup terkenal di kampus mereka. Boby bukan hanya populer di kalangan wanita, tetapi juga dihormati di kalangan mahasiswa laki-laki karena karisma dan sikapnya yang mudah bergaul.
"Is brisik banget Nolan ah, tapi bener sih, hahahaha!" Semua teman-temannya tertawa bersamaan, mengenal Zara yang memang sering kali canggung jika harus berada di sekitar Boby. Itu sudah menjadi bahan lelucon mereka sejak lama, dan mereka semua tahu betapa Zara diam-diam berharap bisa lebih dekat dengan Boby meskipun dia tidak pernah mengungkapkannya.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka, dan dua pria berjas rapi memasuki ruangan. Satu pria terlihat sudah cukup berumur, sementara pria yang satu lagi tampak muda, tampan, dan memikat perhatian hampir semua wanita di kelas. Kulitnya putih bersih, dengan rambut yang tersisir rapi, dan tatapan matanya yang tajam serta penuh percaya diri, membuat semua orang terkesima. Semua wanita di kelas langsung menoleh, tidak bisa menahan kekaguman mereka terhadap sosok pria muda tersebut.
"Selamat siang semuanya!" ucap dosen tua itu, suaranya yang berat memecah keheningan di kelas. "Ayo, silahkan duduk di kursinya masing-masing. Ada pengumuman penting!" katanya, membuat semua mahasiswa segera duduk dengan rapi, menunggu apa yang akan diumumkan selanjutnya.
"Mengingat kalian akan melakukan sidang skripsi dalam waktu dekat, pengawasnya adalah bapak ini, namanya adalah bapak Leon Prawira Bhisma. Beliau adalah atasan dosen-dosen di sini dan telah ditunjuk langsung untuk mengawasi proses skripsi kalian," ujar dosen tua itu dengan serius. "Dan saya akan langsung tunjuk siapa yang akan membantu bapak ini sebagai asistennya, yaitu Adara!" katanya, sambil menunjukkan Adara yang duduk di bangkunya. Semua mahasiswa di kelas langsung terkejut, ada yang tertawa, ada yang melongo, bahkan ada yang tampak iri melihat Adara yang terpilih menjadi asisten dosen muda yang tampan tersebut.
"Gile, Adara jadi asisten dosen!" Livi, yang duduk di samping Adara, berkata dengan mulut terbuka, mengacungkan kedua jempolnya. Livi dan yang lainnya langsung memberikan tepuk tangan riuh, menyemangati Adara dengan penuh antusias. Mereka semua bangga dan kagum karena salah satu dari mereka terpilih untuk posisi yang cukup prestisius itu.
"Pak, ini cuma Adara saja, pak? Dia kan cewek, pak. Cowo-nya nggak ada?" tanya seorang mahasiswa lain yang tampaknya merasa aneh dengan keputusan tersebut, seolah-olah mempertanyakan kenapa hanya Adara yang dipilih. Dosen tua itu berpikir sejenak, seolah mempertimbangkan pertanyaan itu. Kemudian, dia berbisik kepada dosen muda, Leon, sebelum akhirnya mengumumkan lagi.
"Benar, dan satu lagi tambahan adalah Dean. Mereka berdua akan membantu bapak Leon dalam pengawasan skripsi kalian," lanjutnya, menjelaskan bahwa Dean juga terpilih untuk menjadi asisten. Semua mahasiswa bertepuk tangan lagi, semakin kagum melihat kedua nama yang diumumkan.
Setelah pengumuman selesai dan kelas pun bubar, Leon, yang ternyata adalah suami dari Clarissa, memanggil Adara dan dean untuk datang ke ruangannya. "Duduklah!" kata Leon dengan nada yang cukup serius, meskipun ada sedikit kesan santai di balik sikapnya.
Adara dan Dean mengikuti instruksi Leon dan duduk di kursi yang telah disediakan. Dari pandangannya, Adara merasa bahwa wajah pria yang berada di depannya ini tidak asing sama sekali. Seperti dia pernah melihatnya sebelumnya, entah di mana. Mungkin di rumah? Atau mungkin di foto keluarga? Adara pun mulai bertanya-tanya dalam hatinya, tetapi perasaan itu semakin membuatnya bingung.
Setelah diskusi selesai, Adara dan Dean berjalan beriringan menuju gerbang kampus, di mana teman-teman mereka pasti sudah menunggu. Udara sore yang sejuk membawa ketenangan tersendiri bagi Adara, meskipun pikirannya masih terfokus pada wajah Leon yang seolah-olah sudah dikenalnya sejak lama.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Dean dengan nada penuh perhatian, sambil melirik Adara yang tampak melamun dan tidak terlalu fokus pada langkah mereka.
"Tidak ada," jawab Adara singkat, berusaha menutupi kebingungannya. Dia tahu Dean adalah pendengar terbaik di dunia, dan dia bisa mengungkapkan segala hal tanpa merasa dihakimi. Namun, kali ini dia memilih untuk tetap diam, merasa tak perlu menceritakan perasaan aneh yang menghantuinya.
"Kita ini sudah berteman sejak sekolah dasar, kau lupa?" tanya Dean, melirik Adara dengan tatapan yang agak penasaran. Dia tahu betul, mereka sudah saling mengenal sangat lama. Tapi entah kenapa, ada hal yang membuat Adara merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang dalam ingatannya.
"Hm, aku merasa tidak asing dengan wajah dosen pengawas kita. Aku seperti pernah melihatnya," jawab Adara, berbicara jujur tentang perasaan yang mengganggunya. Dia tahu Dean adalah orang yang paling bisa dipercaya untuk mendengarkan tanpa menghakimi.
"Kau yakin? Kau tidak dengar dia berasal dari luar negeri?" tanya Dean, dengan nada sedikit serius, seolah dia tahu sesuatu yang lebih dari apa yang Adara ketahui.
Adara hanya mengangguk pelan, namun perasaan itu terus menggelayuti pikirannya. Seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang sangat penting, tapi tidak bisa dia ingat dengan jelas.