Seorang dokter muda yang idealis terjebak dalam dunia mafia setelah tanpa sadar menyelamatkan nyawa seorang bos mafia yang terluka parah.
Saat hubungan mereka semakin dekat, sang dokter harus memilih antara kewajibannya atau cinta yang mulai tumbuh dalam kehidupan sang bos mafia yang selalu membawanya ke dalam bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NOVEL BARU PENJARA CINTA TUAN ADRASTA
Dunia ini nggak pernah adil untuk orang kecil sepertiku.
Aku tahu itu sejak pertama kali kaki ini melangkah ke ruangan megah berbalut marmer dingin milik keluarga Mahendra — keluarga paling berpengaruh di negeri ini.
Mereka duduk tinggi di atas singgasana kekuasaan.
Sementara aku?
Aku cuma pecundang yang dipaksa tunduk di bawah bayang-bayang nama besar mereka.
Tanganku mengepal kuat di atas pangkuan, mencoba menahan getar tubuh yang tak kunjung bisa aku kendalikan. Suara detik jam terasa seperti dentuman palu godam di kepala. Menghitung waktu menuju eksekusi.
Lalu suara itu datang.
Dingin. Dalam. Berat.
"Rania Alesha."
Aku menegakkan kepala. Memandang pria yang kini menjadi alasanku membenci napas ini masih berhembus.
Arzandra Adrasta.
Pewaris tunggal keluarga Mahendra. Pria dengan tatapan setajam belati, setenang badai sebelum menghancurkan. Wajahnya nyaris sempurna. Andai saja... andai saja aku bertemu dengannya dalam situasi berbeda, mungkin aku juga bisa jatuh.
Sayangnya, aku bukan jatuh cinta.
Aku jatuh ke dalam perangkap neraka ciptaannya.
"Kamu tahu kenapa kamu ada di sini?" Suaranya datar. Bahkan tanpa niat basa-basi.
Aku mendongak, menahan sakit hati dan amarah yang sejak tadi berkecamuk.
"Bapakmu punya hutang. Banyak." Ia menyilangkan kaki, elegan dan kejam dalam satu waktu. "Dan aku bukan orang dermawan yang suka melunasi tanpa imbalan."
Hatiku makin tercekat.
"Aku bisa saja menyeret keluargamu ke penjara. Menghancurkan bisnismu yang kecil itu. Membuat hidupmu berakhir sebelum sempat bermimpi."
Diam.
Adrasta menyender malas, menatapku seolah aku makhluk paling rendah di hadapannya.
"Tapi aku orang yang adil, Rania."
Adil?
Kuharap telingaku salah dengar.
"Aku beri kamu pilihan."
Pilihan? Ha. Lucu sekali.
"Pilihannya cuma dua," lanjutnya santai. "Menikah denganku... atau menunggu semua yang kamu cintai hancur perlahan-lahan."
Dunia rasanya berhenti berputar.
Pernikahan?
Dengan dia?
Pria yang bahkan melihatku saja seperti sampah?
Aku tertawa miris. "Kenapa aku?"
"Karena kamu murahan. Mudah dikendalikan. Tidak punya apa-apa. Tidak punya siapa-siapa." Senyumnya terangkat sinis. "Sempurna untuk seorang istri palsu."
Dadaku serasa diremuk.
"Kenapa harus pernikahan?" Aku mencoba bertahan, walau suara mulai bergetar.
Dia mendekat.
Langkahnya berat. Mengancam. Mengiris nyali.
Lalu dia berbisik tepat di telingaku.
"Karena aku butuh sesuatu yang lebih kuat dari kontrak... aku butuh penjara. Dan pernikahan adalah penjara paling legal untuk membuatmu tetap di sisiku."
Deg.
Jantungku seolah mati sesaat.
Tangannya meraih daguku kasar, memaksa aku menatap matanya.
"Kamu pikir ini tentang cinta? Salah besar, Rania." Tatapannya tajam. "Ini tentang kekuasaan. Tentang kendali. Tentang membuatmu tunduk... sampai lupa rasanya jadi manusia bebas."
Air mataku hampir jatuh.
Tapi aku tak boleh lemah.
Aku menatap balik matanya. Liar. Marah. Tapi juga takut.
"Aku nggak akan pernah mencintaimu, Adrasta."
Dia tertawa kecil. Pelan. Sangat menyebalkan.
"Aku nggak butuh cintamu," bisiknya. "Aku cuma butuh kepatuhan mu."
Dan di detik itu...
Sepucuk kertas kontrak pernikahan dilempar ke hadapanku.
Hitam di atas putih.
Nama di atas nyawa.
Tanganku bergetar saat menyentuh pena di sampingnya.
Satu tanda tangan. Satu keputusan. Satu jalan pulang menuju neraka.
"Putuskan sekarang," katanya ringan. "Karena kalau tidak..."
Matanya melirik ke arah pintu.
Dan di sana — di ambang pintu besar itu — berdiri seseorang yang membuatku benar-benar kehilangan warna hidup.
Ayahku.
Dua pria berbadan besar memegang lengannya, paksa, kasar.
Matanya merah, wajahnya luka, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Ayah..." bisikku nyaris tanpa suara.
Adrasta menyeringai kecil.
"Sekali kamu menolak... aku pastikan ini terakhir kali kamu lihat dia hidup."
Deg.
Aku menoleh menatapnya dengan mata berair. Tidak percaya dia sebegitu sadisnya.
Dan dia... hanya menatapku datar.
Sementara jarinya mengetuk meja dengan sabar.
"Hitungan ketiga, Adrasta."
"Satu..."
Tangisku pecah.
"Dua..."
Tubuhku lemas.
"Tiga..."
Aku meraih pena itu.
Dengan tangan paling gemetar sepanjang hidupku...
Aku tandatangani.
Menyerahkan hidupku.
Menjual kebebasanku.
Mengunci diriku sendiri... dalam penjara bernama Arzandra Adrasta.
Dan saat kuangkat wajah — aku melihat senyum itu.
Senyum iblis yang akhirnya mendapatkan mangsanya.
Tapi sebelum aku bisa menarik napas lega...
Adrasta berbisik pelan. Mengiris nadi terakhir harapanku.
"Oh ya, aku lupa bilang sesuatu, Rania."
"Aku nggak pernah percaya pernikahan tanpa bukti kepemilikan."
Mataku menyipit. "Maksudmu?"
Dia menoleh ke arah asistennya.
"Lewatkan malam ini," perintahnya dingin.
"Lakukan persiapan."
Persiapan apa?
"Asistenku akan mengantarmu ke klinik besok pagi."
Dadaku makin sesak.
"Klinik apa...?"
Senyumnya melebar sadis.
"Untuk pasang chip pelacak di tubuhmu."
Dan dunia benar-benar runtuh saat aku sadar...
Aku bukan hanya menikah dengan monster.
Aku sedang dimiliki utuh oleh pria paling berbahaya di negeri ini.
Dunia terasa berhenti berputar.
Miliknya? Apa itu artinya… budak? Boneka? Atau sekedar pion dalam permainan gilanya?
Aku menelan getir di tenggorokan. Tenggorokan yang terasa kering seolah menelan bara api. Pilihan macam apa ini? Pilihan yang bahkan bukan benar-benar pilihan. Karena apapun jawabanku… aku tetap kalah.
Aku bisa saja menolak. Tapi aku tahu persis konsekuensinya.
Keluargaku. Ibuku. Adikku. Hidup mereka akan tamat dalam sekejap hanya karena ulah ayah yang bodoh dan serakah itu.
Tapi menerima?
Itu artinya aku menyerahkan seluruh harga diriku… pada pria sekejam Arzandra Adrasta.
"Satu malam," lanjutnya, senyumnya tipis penuh jebakan. "Untuk memutuskan. Datang padaku… atau bersiap kehilangan segalanya."
Dan saat itu, aku benar-benar paham…
Dunia ini memang tidak pernah adil untuk orang kecil sepertiku.
Terutama… ketika lawanmu adalah Arzandra Adrasta.