Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 TIDAK MENDAPATKAN UANG
Masalah ini terus memburuk. Suamiku, yang dulu selalu mendukungku, kini mulai terpengaruh omongan orang tuanya. Dia mulai membatasi pengeluaranku, mulai memintaku untuk lebih “bijaksana” dalam membelanjakan uang. Itu membuatku merasa seperti anak kecil yang harus meminta izin setiap kali ingin membeli sesuatu.
Aku tahu, di mata mertuaku, aku tidak pernah cukup baik. Apa pun yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.
Dan itu membuatku merasa terjebak. Aku punya semua yang aku inginkan, tapi kenapa rasanya seperti aku tidak memiliki apa-apa?
Di saat seperti ini, aku hanya bisa berpikir bahwa hidupku seharusnya lebih dari ini. Aku ingin bebas. Aku ingin hidup tanpa merasa terus-menerus dinilai atau diawasi.
Tapi bagaimana caranya? Mungkin, aku harus mulai memikirkan caraku sendiri untuk mengambil kendali atas hidupku, tanpa harus terus-menerus tunduk pada aturan mereka.
Malam itu, aku duduk di ruang tamu, menunggu Danu suamiku pulang dari kantor. Aku sudah mempersiapkan kata-kata yang akan aku sampaikan dengan hati-hati. Rasanya ini adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan kendali atas hidupku.
Saat Mas Danu masuk ke kamar, terlihat wajah tampanya lelah dengan dasi yang sudah dilonggarkan, aku langsung bangkit. “Mas, kita perlu bicara,” kataku dengan suara yang aku buat seserius mungkin.
Mas Danu menatapku sekilas sambil melepaskan jasnya. “Ada apa, Ca? Bisa nanti aja? Aku capek.”
Aku menggeleng. “Ini penting, Mas. Nggak akan lama.”
Dia menghela napas, lalu duduk di sofa. “Oke, apa?”
Aku duduk di sampingnya, mencoba menatap matanya dengan penuh keyakinan. “Aku mau minta, mulai sekarang, biar aku aja yang atur keuangan rumah tangga kita.”
Mas Danu langsung mengerutkan kening. “Apa maksud kamu, Ca? Keuangan kita selama ini baik-baik aja.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. “Mas, aku tahu aku selama ini boros, tapi aku bisa belajar, kok. Aku cuma mau punya kendali lebih besar atas pengeluaran kita. Aku tahu kebutuhan kita apa aja, aku yang lebih sering di rumah. Jadi, wajar kalau aku yang atur semuanya, kan?”
Mas Danu menatapku dengan tajam, sorot matanya dingin. “Caca, kamu tahu aku nggak bisa setuju. Kamu sering menghabiskan uang untuk hal-hal yang nggak penting. Kalau aku kasih kamu kendali penuh, apa jaminan kamu nggak akan lebih boros lagi?”
“Mas!” Aku merasa panas di dada, tapi aku menahan nada suaraku. “Aku nggak suka dibilang boros terus. Aku istri kamu, aku tahu apa yang terbaik buat kita. Lagian, aku cuma mau kita hidup nyaman tanpa perlu ribet soal ini.”
Dia menggeleng tegas. “Aku nggak akan berubah pikiran, Caca. Selama ini aku atur semuanya untuk memastikan kita nggak ada masalah keuangan di masa depan. Kalau kamu mau sesuatu, bilang aja. Tapi aku yang tetap pegang kendali.”
Aku terdiam, merasa seperti dipukul telak. Wajahku panas karena malu dan marah bercampur jadi satu. Dia tidak percaya padaku. Lagi-lagi aku merasa seperti anak kecil yang dianggap tidak mampu.
Danu bangkit dari sofa, mengambil jasnya kembali. “Aku nggak mau bertengkar soal ini, Ca. Kamu istirahat aja, aku masih ada pekerjaan.”
Dia meninggalkanku di sana, duduk dengan rasa kecewa yang menghantam keras. Aku tahu, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Tapi malam itu, aku sadar kalau jalan untuk mendapatkan apa yang aku mau tidak akan semudah yang aku bayangkan.
Pagi itu, aku datang ke rumah Mas Bayu dengan niat sederhana—meminta sedikit uang. Aku sudah lelah berdebat dengan suamiku soal pengeluaran. Kalau suamiku nggak mau bantu, aku tahu Mas Bayu pasti bisa.
Ketika sampai, aku melihat pintu depan terbuka. Aku langsung masuk tanpa ragu. "Mas Bayu di mana?" tanyaku pada Mbak Dina yang sedang menyapu ruang tamu.
Mbak Dina menoleh, memasang senyum tipis yang terasa menusuk. "Mas Bayu lagi di kamar mandi. Ada perlu apa, Ca?"
Aku menghela napas, mencoba bersikap ramah meskipun aku sudah tahu ini akan sulit. "Aku cuma mau ketemu Mas Bayu sebentar."
Dia menaruh sapunya dan berjalan mendekat. "Kalau ada apa-apa, bisa bilang ke aku dulu, kan?"
Aku memutar mata, merasa kesal. "Nggak perlu, Mbak. Aku cuma mau minta uang sedikit buat kebutuhan pribadi. Mas Bayu nggak akan keberatan kok."
Senyum Mbak Dina menghilang. Dia menatapku dengan sorot mata tajam. "Caca, kamu kan udah punya suami yang mapan. Kenapa masih minta uang ke Mas Bayu?"
Aku mendengus, merasa darahku mulai mendidih. "Mbak, ini urusan aku sama Mas Bayu. Aku adiknya, dan dia selalu bantu aku. Lagian, uang segitu nggak akan bikin dia rugi."
Mbak Dina menyilangkan tangan di dada, wajahnya tegas. "Masalahnya bukan soal uang, Ca. Kamu udah dewasa, udah punya keluarga sendiri. Kamu nggak bisa terus-terusan meminta Mas Bayu. Apalagi cuma buat hal-hal yang nggak penting."
Aku melangkah maju, menahan diri untuk tidak berteriak. "Mbak nggak usah ikut campur, deh. Mas Bayu itu kakak aku, bukan suami Mbak doang. Aku bebas minta tolong ke dia kapanpun aku mau."
Mbak Dina tetap tenang, tapi nadanya mulai mengeras. "Aku nggak ikut campur, Caca. Aku cuma nggak mau Mas Bayu terus-terusan dimanfaatkan. Dia punya keluarga yang harus diprioritaskan sekarang."
Aku tertawa sinis, merasa benar-benar dipermalukan. "Keluarga? Maksud Mbak, Mbak Dina sendiri? Jangan sok penting, deh. Aku ini keluarganya dari dulu, sebelum Mbak ada di hidupnya!"
Suasana semakin panas. Aku mendengar langkah kaki Mas Bayu yang datang dari belakang. Dia terlihat bingung, menatap kami berdua. "Ada apa ini? Kok ribut-ribut pagi-pagi?"
Aku langsung menoleh padanya, berharap dia membelaku. "Mas, aku cuma mau minta uang sedikit. Tapi Mbak Dina malah marah-marah dan ngelarang aku!"
Mas Bayu menghela napas panjang, jelas terlihat lelah dengan situasi ini. "Caca, kamu tahu aku selalu bantu kamu. Tapi Dina benar. Kamu sekarang udah punya suami. Harusnya kamu bisa urus kebutuhan kamu sendiri."
Aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. "Mas, serius? Mas lebih dengerin dia daripada adik sendiri?"
Mas Bayu menatapku dengan penuh penyesalan. "Ini bukan soal dengerin siapa, Ca. Aku cuma nggak mau kamu terlalu bergantung sama aku. Kamu harus belajar mandiri."
Aku merasa hancur. Tapi aku tidak ingin memperlihatkannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik dan keluar dari rumah mereka. Di dalam hati, aku bersumpah, ini tidak akan berakhir di sini.
Setelah kejadian itu, aku merasakan amarah yang semakin membara. Rasanya seperti dikhianati oleh keluarga sendiri—kakak yang seharusnya selalu ada untukku, sekarang malah membela istrinya.
Mas Danu juga tidak jauh berbeda. Dia lebih memilih mendukung Mbak Dina daripada aku, yang sudah jadi istrinya.
Aku semakin membenci Mbak Dina, dan perasaanku terhadap suamiku pun mulai berubah. Dia tidak lagi memihakku, dan itu membuatku merasa seperti kehilangan semua yang pernah aku miliki. Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi.
Aku mulai merencanakan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bisa membalaskan dendamku. Aku tidak bisa hanya diam dan membiarkan mereka semua bahagia sementara aku merana.
Aku harus menemukan cara untuk membalaskan kekesalan yang aku rasakan. Aku akan memberikan kakakku seorang perempuan baru, yang lebih baik dari Mbak Dina, agar dia bisa merasakan kesengsaraan yang aku rasakan.
Aku tahu itu mungkin kejam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan—dikhianati, tidak dihargai, dan ditinggalkan.
Aku sudah cukup sabar, dan sekarang adalah waktunya untuk mengambil kendali. Aku tidak akan membiarkan diriku terus-menerus berada di bawah bayang-bayang keluarga yang tidak mengerti aku.
tambah dongkol aja Ama mereka.
bantu ngga.
mudah2an mereka bertiga dpt balesanya
blm sadar jga y,ngga minta maaf Ama Dina.
tuh mantan suami Dina kpn dapet karmanya.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya